Selamat Membaca.
Awan melihat sekeliling kelas, punggungnya menegang bertatapan dengan banyak pasang mata mengarah padanya. Dia tidak pernah merasa begitu terpojok di bandingkan hari ini, Awan bahkan tidak tahu apa yang salah.
"Bilang saja Michelia, tidak perlu takut," kata gurunya meyakinkan. Michelia melirik Awan, air matanya sudah menggenang dengan isak tangis pelan keluar dari celah bibirnya. Dua tahun pertemanan tidak pernah sekalipun Awan melihat Michelia menangis, tapi sekarang dia menangis di depan Awan, di depan orang banyak.
"Awan," katanya terputus. "Dia melakukan sesuatu padaku, di bawah meja."
Mata Awan melebar tidak percaya. "Lia, melakukan apa? Aku melakukan apa?"
"Diam, Awan. Biarkan Michelia berbicara." Gurunya memeloti Awan dan mengalihkan pandangannya kembali ke pada Michelia yang kali ini menunduk mengamati jemarinya.
"Tangannya mencoba masuk-," Bahkan belum selesai Michelia berbicara semua orang di kelas menyoraki Awan dengan kencang.
Awan melihat Michelia dengan marah, Awan tidak percaya dengan sahabatnya yang dia kenal begitu lama, dan sekarang Michelia memfitnah dirinya dengan apa yang tidak pernah Awan lakukan. "Apa-apaan ini Lia? Aku sejak tadi diam saja? Aku bahkan nggak pernah berpikir untuk melakukan tidakan kotor seperti itu."
Bukannya pembenaran yang Awan terima, tapi tangisan Michelia yang membuat Awan semakin terpojok. Dia tidak mengerti bagaimana bisa Michelia bisa melakukannya.
"Sudah jelas Awan bersalah, Aku melihatnya sendiri." Teriakkan entah dari mana, membangkitkan sorakan tidak senang lainnya yang terlontar untuk Awan.
"Aku tidak melakukannya, Bu. Tolong percaya. Dia sahabatku, mana mungkin Aku melakukannya," kata Awan putus asa. Dia kembali menatap Michelia yang masih menunduk dan berkata selembut mungkin padanya. "Lia, Aku nggak melakukannya. Tolong jangan berbohong."
"Jadi, Aku berbohong?" Michelia berteriak mendongak menatap Awan dengan marah, matanya berkilat di tutupi air mata yang kembali mengalir. Awan ternganga, dia sebenarnya tidak bisa melihat Michelia menangis karena dirinya. Tapi, Michelia berbohong.
"Tenang Michelia, Ibu akan segera menghukumnya."
Teriakan semakin menjadi, Awan tidak bisa membela dirinya. Suaranya tenggelam untuk di dengar. Rahang Awan menegang, matanya ia tutup dengan erat.
"Awan, Ibu menghukummu. Keluar dari kelasku, poinmu Ibu kurangi lima puluh. Kita lihat apakah kamu bisa keluar sampai lulus atau sekolah akan mengeluarkamu sesegera mungkin," kata gurunya tajam.
"Poin? Apa maksud Ibu?" tanya Awan bingung di tengah ke kacauan yang terjadi.
"Biar Aku yang mengusirnya keluar, Bu." Tangan Awan di tarik kasar keluar dari kelas. Tapi Awan masih bisa melihat sekilas, seringai yang timbul seperkian detik dari raut wajah Michelia.
***
"Kamu bodoh?" Pertanyaan retoris keluar dari mulut Sain Antariksa. Matanya berkilat menatap tajam Awan dengan ketidaksenangan yang tidak dia coba tutupi.
Awan mengacak rambutnya dia merosot di dinding pembatas di lantai paling atas sekolah. Napasnya masih memburu, karena di tarik paksa dengan cepat hingga dia bisa sampai di sini. "Aku nggak melakukannya pada Michelia," kata Awan parau.
"Kamu nggak denger perkataanku saat kamu tiba di sini. Inilah akibatnya, kamu bodoh."
"Aku nggak tau," kata Awan menyelesaikan perkataanya dengan lelah. Semuanya tampak aneh bagi Awan, begitu pun dengan Sain yang tiba-tiba menghilang di tahun pertama sekolah dan ternyata dia berada di sini dan 'menyambutnya' ketika Awan terdapar di sini saat itu.
"Kamu sebelum datang ke sini, kamu itu bajingan."
"Apa?" Awan terperangah dengan kata-kata kasar yang terlontar dari bibir Sain. Dia memang membenci Sain, dan Sain membencinya jadi untuk apa Sain membawanya ke sini.
"Aku bilang kamu itu bajingan," kata Sain enteng.
Awan berdecak, tidak pernah ada larangan bagi dirinya untuk membenci Sain. Itu mungkin hal yang wajib dilakukan. Dia berdiri menjulang di hadapannya dan menatap Awan dengan menyipit. "Jadi, Aku yang ada di sini sebelumnya adalah orang yang tidak baik?"
"Iya, kamu benar-benar baji—,"
Awan menendang tulang kering Sain di depannya dengan keras, dia hampir selalu kehabisan kesabaran jika berada bersama Sain yang mulutnya tidak bisa dikontrol.
Sain tampaknya tidak merasakan kesakitan sama sekali dia malah menyeringai menatap Awan. Jadi Awan berbicara, "Kamu tahu di mana dia?"
"Dia lenyap saat kamu datang lebih dulu kemari, begitupun sebaliknya jika dia datang lebih dulu ke dunia nyata kamu yang akan lenyap."
Awan mengangguk mengerti dan merasakan tenggorokannya mengering mendengar itu, dia membiarkan pertanyaan-pertanyaan lain menggantung di pikirannya. "Jadi, bagaimana kamu bisa di sini?"
"Aku terjebak di sini. Mengikuti permainan mereka sambil mencari tahu jalan keluarnya," kata Sain bosan.
"Bagaimana?"
"Bagaimana apa, bodoh?" potong Sain cepat. Dia berdiri bertumpu di salah satu kakinya dengan tangan menyilang di depan dada.
Awan menghembuskan napas kasar dan menatap Sain serius. "Kamu bisa sampai di sini. Bagaimana?"
Sain berpaling dari Awan, laki-laki itu memilih duduk di sebelahnya. "Aku membolos jam pelajaran matematika, lalu disuruh membersihkan toilet. Karena ada serangga di kaca, Aku memukulnya hingga kaca retak, lalu Aku sudah berada di sini."
"Menarik sekali," kata Awan bosan.
"Memang itu yang terjadi."
Awan menoleh menatapnya. "Apa Aku bilang bahwa Aku nggak percaya?"
Awan menarik lututnya menempel di dada dan menenggelamkan kepalanya di sana. Lelah, dia lelah. Hidupnya serasa jungkir balik hanya kurang dari satu minggu.
"Lalu kenapa kamu di sini? Saat itu kamu tidak ingin berbicara, kan. Jadi, mulai bicara."
Awan tersentak, jantungnya seakan ingin lompat dari tenggorokannya. Dia mencoba mengalihkan pikirannya pada kejadian buruk kala itu. Tapi apa daya semua kejadian setiap detailnya langsung saja merangsek ke permukaan untuk Awan ingat dengan baik. Awan merasa mual membayangkan kejadian kotor itu, dia rasanya ingin mengeluarkan semua isi perutnya saat ini juga.
Awan tidak menjawab, membiarkan pertanyaan itu menggantung. Sain juga tidak mendorong untuk Awan mengatakannya. Meraka diam dalam keheningan, hanya Awan yang mencoba untuk tenang dengan dirinya sendiri untuk tidak meringkuk semakin dalam.
Ponsel di saku celana Awan bergetar, dia merogoh dengan asal saat dia melihat siapa yang menelpon. Awan tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum suatu pengalihan di saat-saat seperti ini, dia dengan cepat menjawab dan menempelkan ponsel di telinganya
"Halo, Langit?" Awan merasakan gerak Sain di sebelahnya, dia melirik Sain yang menatap penasaran padanya. Sain mungkin tidak mengetahui fakta ini.
"Apa yang terjadi pada kamu, di dalam gang di sekat sekolah itu?" tanya Langit cepat terdengar tidak sabar.
Awan menegang dalam pertanyaan Langit, senyumnya luntur dan membentuk garis lurus. Tidak, Awan selalu ingin lari dari percakapan tentang ini. Dia ingin lupa sekali lagi, hilang ingatan. Dan merasa hampa.
"Jawab Awan, mungkin Aku bisa memukanmu dengan cepat." Kalimat terakhir seperti cahaya di di kegelapan bagi Awan tapi dia tidak bisa mengatakannya. Awan tidak mengerti pada Langit yang sejak lama membencinya, tiba-tiba membantunya.
"Bagaimana kamu tahu Aku pernah berada di sana?" tanya Awan, dan menyadari suaranya sendiri menjadi dingin.
"Aku menemukan sebuah foto, Aku tahu itu milikmu. Jawab Awan, bagaimana kamu bisa ada di sana?"
Awan tahu dia tidak bisa berbohong pada Langit yang ini, walaupun Awan mengerti dia tidak memiliki hubungan apapun padanya terlepas seberapa mirip dia dengan Langit. Akhirnya Awan mengatakannya, dia ingin kembali walaupun Awan sangat enggan membuat sebuah luka baru di atas luka yang bahkan belum mengering. "Seseorang menarikku ke sana, mereka memukuliku tanpa alasan, Aku pingsan. Saat Aku sadar mereka sudah tidak ada. Aku melihat diriku pada cermin di sana, Aku muak dan merasa kotor jadi Aku memukulnya sampai pecah. Aku sudah berada di sini."
Awan merasakan pandangan tajam dari Sain tapi dia mencoba mengabaikannya. Awan sendiri tidak tahu mengapa dirinya tetap diam di sini sementara Sain mendengar semuanya.
"Apa lagi yang mereka lakukan?" tanya Langit terdengar bergetar pada suaranya.
Awan merasakan panas pada matanya. "Mereka memperkosaku."
Awan dengan cepat menutup panggilannya, dia kembali menenggelamkan kepala di dalam lututnya, bibirnya bergetar yang Awan coba tutup dengan rapat. Dia malu mengatakan itu pada Langit dan apalagi di depan Sain yang Awan tidak mengenalnya dengan baik.
Tapi kali ini Awan memilih untuk tidak peduli. Dia memejamkan matanya erat-erat dan menangis tanpa suara. Di saat ketidakpedulian Awan pada sekitar, dia merasakan rasa hangat membungkus dirinya.
Lemah, kamu lemah. Pikir Awan untuk dirinya sendiri.
Terima kasih telah membaca.