Chereads / Di Balik Cermin / Chapter 12 - Hilang Kembali

Chapter 12 - Hilang Kembali

Langit, itu salah.

Pikiran Langit terus meneriaki hal itu terus-menerus. Dia membaringkan kepalanya di atas meja, mendengarkan dengung suara-suara berisik di dalam kelas.

Dia baru saja memejamkan mata, tapi yang dia lihat di dalam sana adalah tubuh Awan yang tergeletak tidak berdaya di sebuah gang. Langit seketika itu juga membuka matanya lebar-lebar dan duduk menegang. Itu pasti halusinasi, pikir Langit. Bayangan ketakutannya di mana Awan tidak berada dalam jangkauan Langit. Tapi bagaimana bisa dirinya tiba-tiba membayangkan seperti itu.

Langit membereskan barang-barang di mejanya dan memasukkan asal ke dalam tas.

"Mau ke mana Langit?" tanya Faiz tiba-tiba mencegat Langit yang hendak pergi setelah memanggul tasnya.

Langit berdecak tak sabar. "Aku ingin pergi mencari Awan."

"Bel pulang masih lama, Langit."

"Aku nggak peduli." Langit mengabaikan panggilan Faiz di belakangnya dia terus berlari ke belakang sekolah melewati celah di pagar yang rusak. Tidak terlalu peduli apakah orang akan melihatnya kabur, Langit tetap berlari menuju gang di sekitar sekolah.

Langit tahu bahwa bayangan akan Awan yang selintas datang di dalam pikiran Langit, adalah hal yang tidak bisa di percaya. Tapi dengan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi, Langit hanya bisa berharap dan mencoba.

Kakinya menapak pada tanah becek yang mengotori celana hitamnya, mata Langit berkeliling mencari sesuatu yang bisa ia temukan. Langit mencari dan menjelajah, walaupun dia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya dia cari.

Di saat Langit menunduk dia mendapati sesuatu yang familiar tepat di bawah kakinya, sebuah foto. Langit mengambilnya dan mengusap dengan telapak tangannya menyingkirkan bercak tanah dari permukaan. Tidak salah lagi, itu adalah foto dirinya dan Awan waktu kecil dulu dan Langit menemukannya di sini tepat di mana Awan menghilang.

Langit dengan tidak sabar meraih ponselnya menekan nomor yang selalu berada di atas, Langit menunggu, dia sekarang mengerti butuh dua kali untuk menelpon pada Awan. Ketika Langit memanggil ke dua kalinya, Awan dengan segera mengangkatnya.

"Halo, Langit?" Jantung Langit berdebar kencang hingga rasanya ingin meloncat dari tenggorokannya. Langit selalu berdoa bahwa di sana kakaknya akan baik-baik saja.

"Apa yang terjadi pada kamu, di dalam gang di dekat sekolah itu?" tanya Langit langsung dengan tidak sabar, salah satu kakinya bertumpu di kaki lain mengetuk-ngetuk tanah basah, tangan kanan memijat pangkal hidungnya menunggu.

Awan diam menarik rasa cemas di dalam pikiran Langit. "Jawab Awan, mungkin Aku bisa memukanmu dengan cepat."

"Bagaimana kamu tahu Aku pernah berada di sana?" tanya Awan.

"Aku menemukan sebuah foto, Aku tahu itu milikmu. Jawab Awan, bagaimana kamu bisa ada di sana?"

"Seseorang menarikku ke sana, mereka memukuliku tanpa alasan, Aku pingsan. Saat Aku sadar mereka sudah nggak ada. Aku melihat diriku pada cermin di sana, Aku muak dan merasa kotor jadi Aku memukulnya sampai pecah. Aku sudah berada di sini."

Setiap kata yang terlontar dari mulut Awan Langit dengar dengan baik, dia merasakan dadanya seolah dicengkeram dengan kuat dan telinganya rasanya berdengung tidak percaya.

"Apa lagi yang mereka lakukan?" tanya Langit terdengar bergetar pada suaranya. Matanya menjadi panas dan gelisah di tempatnya berdiri. Namun, di banding itu semua kalimat Awan selanjutnya justru menghancurkan Langit hingga berkeping-keping dalam bentuk penyesalan dan amarah.

"Mereka memperkosaku." Sambungan telepon mati detik itu juga.

Dunia Langit runtuh, dia merasakan retakan tak kasat mata menyayat dadanya. Dunianya yang penuh warna luntur menyisakan abu-abu pekat yang mulai mengotori kehidupannya.

Kaki Langit layaknya sebuah jelly yang akan meluncur bebas ke tanah dengan lemas. Napas Langit seolah direnggut paksa dari hidupnya. Langit masih membeku di tempatnya berdiri bagai puluhan paku menancap kuat di kaki.

Semua sudah terjadi, waktu tidak bisa dia putar ulang. Yang Langit bisa lakukan hanya menyesali ketidakhadirannya untuk mencegah hal buruk yang akan terjadi pada Awan pupus. Sirna.

Bagaimana bisa dirinya tidak merasakan apa yang dirasakan kembarannya sendiri yang sedang menderita. Saudara macam apa dirinya ini.

Mata Langit memburam, beberapa tetes air jatuh ke tangannya yang masih mengambang memegang selembar foto lusuh dirinya dan Awan, Langit mendongak ke atas untuk memastikan hujan turun. Tapi ternyata tidak ada gerimis yang datang, hanya air yang keluar dan turun dari matanya.

Oh!

Langit mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangan, tidak dia sadari telah meluncur dari balik kelopak matanya.

Detik itu juga mata Langit terpaku pada sebuah cermin yang berdiri kokoh di antara tumpukan sampah. Dia sedikit bergidik saat mengingat kembali perkataan Awan yang baru saja dia dengar. Mungkinkah cermin ini yang Awan maksud?

Langit menarik napasnya dan menghembuskannya dengan kasar. Dia melangkah mantap menuju ke sana matanya tidak lepas dari cermin itu, dengan napas Langit yang memburu.

Tapi bahkan Langit belum sampai di depan cermin, langkahnya terhenti di kacaukan oleh suara dering ponselnya yang masih dia genggam di tangan.

Langit dengan cepat melihatnya untuk mendapati nomor Faiz yang tertera di sana. Untuk sekali pandangan Langit memandang cermin itu kembali dan mengalihkan fokusnya pada panggilan telepon.

"Halo,"

"Langit?"

Suara terengah-engah terdengar dengan jelas  di ujung sana. "Ada apa, Faiz? Kamu di mana?"

"Langit? Aku—," Faiz menelponnya tampak seperti dia sedang ketakutan.

"Ada apa?" Tanpa sadar Langit berteriak cemas.

"Aku, Aku hampir bunuh diri dari gedung sekolah."

"Jangan bercanda sekarang, Faiz," sentak Langit tidak sabar.

"Gimana bisa Aku bercanda tentang kematian, Bodoh," teriak Faiz yang tampak frustasi. "Satu langkah lagi Aku pasti akan mati, kalo Aku nggak sadar."

"Apa yang kamu bicarakan." Langit menatap liar ke segala arah ketika dia merasakan hal familiar yang terjadi pada Faiz.

"Aku membicarakan omong kosong," kata Faiz sarkastik.

"Gimana itu bisa terjadi?"

"Kalau Aku tahu Aku nggak akan menelpon kamu." Faiz yang Langit kenal tidak pernah marah seperti ini. Itu artinya dia memang tidak baik-baik saja.

"Kamu di mana?"

Namun tidak ada jawaban, Langit melihat ponselnya yang ternyata telah mati. Langit dengan cepat berlari untuk kembali ke sekolah, tidak peduli kelas masih berlangsung atau telah berakhir. Langit tidak sadar dia sudah sangat lama berada di sini.

Orang-orang berhamburan keluar dari sekolah, bel telah berbunyi nyaring. Langit dengan cepat berlari menerobos kerumunan. Dia mengabaikan orang-orang yang tidak sengaja dia tabrak, pikirannya sudah kacau sejak dia mengetahui kebenaran tentang Awan. Langit merasakan firasat buruk melingkupinya.

"Langit?" Suara Michelia yang memanggil di belakang punggungnya, menghentikan langkah Langit. Dia berbalik, untuk mendapati Michelia yang berdiri kaku dengan mata yang memerah.

"Bukan sekarang, Lia."

Michelia mulai berkata dengan gemetar. "Aku melihat Faiz temanmu, sepupuku."

"Apa?" Langit maju satu langkah, mendekati Michelia untuk mendengarnya lebih jelas di balik getar suaranya.

"Ini mungkin tidak masuk akal bagimu, tapi Aku melihatnya sendiri dia menghilang. Dia menghilang seperti tersedot masuk ke dalam cermin yang berada di gudang."

Kaki Langit menjadi lemas. Ada apa ini?