Selamat Membaca.
"Kamu lagi mikir apa, Langit?" tanya Renjana yang merupakan ibu Langit dengan lembut.
Mata Langit naik melirik ibunya yang ikut makan, duduk di hadapannya. Langit gelisah sejak dia berada di meja makan, dia ingin sekali mengatakan tentang apa yang terjadi terhadap Awan. Tetapi lidah Langit terasa kelu dan kaku menolaknya untuk bergerak selangkah maju. Dia takut hal-hal di luar logika ini tidak dapat dicerna dengan baik oleh ibunya dan menganggapnya hanya sebuah omong kosong.
Langit menggeleng kecil sebagai jawaban, tapi ibunya tentu tidak akan diam begitu saja menerima jawabannya.
"Memikirkan apa?" tanya Renjana lagi.
Langit tersenyum tipis. "Nggak ada, Bu."
Langit melihat senyum mekar di wajah ibunya. Yang Aku pikirkan bukan berita baik, pikir Langit. Ibunya tersenyum rahasia sambil mengangkat alisnya untuk bertanya.
"Memikirin pacar?" Langit tersedak makanannya dia dengan cepat meraih segelas air dan meneguknya hingga tandas. Tangannya meraih saputangan dan mengelap mulutnya yang basah.
'Aku memikirkan anakmu yang lain, Ibu.'
"Bukan, Bu. Aku nggak punya pacar," jawab Langit canggung, dia ingin cepat lari ke kamar dan menelpon kakaknya segera dari pada harus membahas hal ini.
"Jadi?" Ibunya tersenyum menggodanya dengan tatapan penasaran.
"Nggak ada yang Aku pikirkan. Cuma Ibu, terlalu banyak tugas di sekolah yang diberikan secara serentak akhir-akhir ini," bohong Langit sejauh ini dia tidak pernah memikirkan tugas sekolah sekeras ini.
"Benar? Nggak ada yang lain?"
Langit menjawab dengan anggukan yakin, lidahnya sangat gatal ingin memberi tahu. Dia kembali melirik Renjana dan dengan yakin dia mulai berkata, "Ibu, kakak hilang."
Suara denting sendok terhenti seketika, Renjana menatap Langit dengan ekspresi yang tidak dapat Langit terka. Memang tidak tahu dengan pasti kapan tepatnya mereka tidak membawa percakapan mengenai Awan lagi, tapi walau begitu hari-hari Langit terasa penuh dengan Awan yang ingin dia bagi pada ibunya hanya agar Renjana mendengar tentang Awan walau satu kali.
"Awan?" tanya Renjana.
"Iya, menghilang begitu saja." Langit sekali lagi ragu apakah dia akan memberi tahu ibunya bahwa dia telah mencari Awan ke sana ke mari.
"Apakah dia yang memberitahu, Langit?" tanya Renjana hati-hati. Langit mengerutkan alisnya mencerna pertanyaan ibunya dengan baik, dia mendesah berat ketika dia mengerti siapa yang Renjana maksud.
"Ayah? Aku mengetahui sendiri, Bu."
"Langit sudah mencari?"
Langit mengangguk, dia merasa sedikit tidak suka melihat ketenangan Renjana, dia tidak tahu apakah nanti ibunya akan mempercayainya tentang bagaimana Awan menghilang. Langit kembali membuka suara. "Aku dan ayah sudah mencari di mana-mana."
"Kamu melanggar janji, Langit."
Langit menatap ibunya dengan mata berkedut dari sekian banyak hal yang bisa Renjana ucapkan dia tidak seharusnya membicarakan hal itu sekarang. "Janji?"
"Benar, kamu mengikari janji yang kamu buat untuk tidak menemui Awan."
Kemarahan Langit timbul, matanya tidak lepas menatap ibunya yang sekarang menyadarkan punggung di kursi. "Apa yang Ibu maksud? Awan, kembaranku hilang. Bagaimana Aku bisa diam aja dan terus terikat oleh janji bodoh itu."
"Langit, nggak seharusnya kata-kata itu keluar," Renjana berkata pelan hampir berdesis. Tatapan keibuannya luntur menyisakan raut datar di wajahnya.
Langit menatap Renjana sekali lagi dengan kekecewaan murni. Suara derit kursi yang bergesekan dengan lantai memecah api kemarahan yang Renjana lontarkan padanya, kemudian Langit meninggalkan meja makan dan masuk ke kamarnya.
***
Langit tidak pernah mengira hidupnya benar-benar berantakan sejak dia bahkan belum menginjakkan kakinya di bangku sekolah menengah pertama. Semuanya hancur seolah seseorang menyiram seember cat berwarna abu ke sekujur hidupnya. Langit tidak tahu bagaimana takdir mempermainkannya sedemikian rupa. Mendorongnya ke dalam jurang hampa, tanpa warna. Pikiran Langit terlalu tumpul saat itu mengira pertemuannya dengan Awan setelah sekian lama akan membawa dia pada masa-masa sebelum badai itu datang.
Nyatanya semua itu mimpi yang terlalu lama dia kembangkan di dalam pikirannya.
Karena hidup, tidak pernah sesederhana itu.
Langit memperhatikan dengan seksama nomor telepon yang terpampang di layar ponselnya. Dia hanya perlu menekan satu kali untuk terhubung pada panggilannya. Namun, sekali lagi keraguan kembali membungkusnya. Pada akhirnya Langit mengeser jempolnya untuk membuka kontak lain dan menelponnya hingga sambungan ke dua kali terjadi dia baru menempelkan ke telinganya.
"Ada apa?" Suara di ujung sana terdengar lelah, tidak seperti yang pernah Langit dengar sebelumnya. Ada tarikan napas panjang dan embusan berat di sana.
"Kamu kenapa?" Langit balas bertanya, dia langsung mendudukkan tubuhnya untuk mendengar lebih jelas.
"Aku di tempat asing, gimana kira-kira?" katanya sarkastik.
Langit memijat pangkal hidungnya dan melihat kembali ke layar ponsel untuk memastikan yang dia telpon adalah seorang Faiz. "Kamu tau, Faiz? Orangtuamu mencarimu ke mana-mana, mereka menelpon polisi."
Langit mendengar Faiz menghela napas di ujung sana. "Kamu harus menghentikannya, Langit. Itu sama sekali nggak berguna."
"Aku harus menghentikannya bagaimana, Faiz? Jika Aku menghentikan apa yang orangtuamu lakukan, seharusnya kamu juga sudah ada di sana? Tante sangat sedih."
"Aku ingin pulang," kata Faiz dengan suara rendah. Langit juga merasakan rasa sedih mendengar sahabatnya seperti ini, tapi semua daya sudah dia coba. Namun hasilnya nihil. Namun yang tersisa dari Langit hanya keyakinannya untuk terus mencoba.
"Aku akan membawa kamu pulang," kata Langit mantap.
Langit mendengar Faiz mendengus. "Jangan membuat janji untuk hal yang kamu tau nggak akan bisa kamu lakuin."
Langit merasakan kemarahan dengan cepat timbul di dalam dirinya mendengar perkataan Faiz. "Kenapa kamu mejadi sangat putus asa? Bagaimana bisa Aku membawamu pulang kalau kamu seperti ini. Kamu mengira Aku bersenang-senang di sini sementara kamu dan Awan berada di tempat asing sendirian? Tolong jangan seperti itu, Faiz. Kamu hanya perlu yakin, jangan menyakiti dirimu sendiri." Langit tidak tahu dia telah menahan napas begitu lama, dan kembali melanjutkan dengan bisikan, "...dan Aku."
Sebelum Faiz sempat membuka mulutnya, Langit kembali melanjutkan dengan suara rendah. "Hanya tunggu Aku."
Kemudian Langit memutuskan sambungannya, dia kembali menenggelamkan tubuhnya di balik selimut. Dadanya terasa sesak dengan perkataannya sendiri, dia menggigit bibirnya erat menahan suara yang keluar. Sebuah rasa lain timbul seolah mencekiknya erat, itu hanyalah perasaan di mana Langit takut semua ucapannya tidak dapat di penuhi.
Membuat harapan baru pada Awan dan Faiz. Namun Langit selalu mendengungkan tiap baris doa di dalam hatinya agar harapannya bukan hanya menjadi wacana yang tak pernah terwujud, namun mewujudkannya menjadi nyata bukan hanya sekedar asa.
Seketika itu juga Langit bangkit duduk, dan memejamkan matanya sebentar menahan pening yang menyerang tiba-tiba. Dia mengingat sesuatu pada buku yang dulu pernah dia baca bersama Awan ketika mereka masih kecil. Katakanlah bahwa Langit harus mencoba semuanya walaupun itu di mulai dari buku anak-anak.
"Mirror and Blood"
Terima Kasih Telah Membaca.