"Genggam erat pisau ini di tanganmu." Suara tajam menghentikan gerakan Awan untuk meletakkan pisau di atas meja. Ketakutan hebat menciptakan tubuhnya bergetar, dia berdiri menegang menatap pisau itu tepat di genggaman tangannya. "Genggam bagian yang tajam."
"Tapi—,"
"Aku bilang genggam, lukai tanganmu. Hasilkan darah yang banyak untukku." Suara itu kali ini terdengar nyaring pada ruang kamar yang tertutup.
Awan menarik napas susah payah. Dia takut sekali dan ingin melarikan diri dari sini. Awan menelan ludah mengamati bagaimana monster itu menyeringai ketika dia menggenggam dengan erat pisau itu di tangannya, dia terengah-engah menahan sakit seolah pisau itu membelah dirinya. Darah menetes keluar, mengotori lantai berbalut karpet berbulu tetes demi tetes.
Monster itu menggenggam erat pergelangan tangannya dengan geraman marah. "Jangan biarkan tetes terbuang sia-sia, kamu akan menghancurkan ritualku."
Awan menahan tangis yang hendak lolos dari celah bibirnya. Pisau jatuh dari genggaman tangan menyisakan denyut menyakitkan di telapak tangan Awan.
Semua demi Langit. Awan mengingatkan hal itu terus-menerus di dalam pikirannya untuk tetap bertahan dalam waktu lama.
"Jangan harap kamu bisa mengeluh," bentaknya membuat Awan tersentak. Tangan Awan di tarik dan di tempelkan kasar ke permukaan cermin untuk mengolesi darah yang keluar dengan rasa sakit yang semakin menyengat hingga Awan akhirnya berteriak keras karena tidak dapat menahannya lagi. Dia meraung memenuhi ruangan dengan suara kesakitannya. Pipinya telah basah dengan lelehan air mata yang tidak mampu lagi Awan bendung.
"Sakit? Dengan hal inilah hidupmu dapat berguna. Bahkan Langit lari dari dirimu dan malu mempunyai kembaran seperti kamu. Dasar."
Setelah fisiknya dilukai, Awan merasakan hatinya ikut disayat membuat dia tidak ingin membuka matanya lagi. Semuanya terasa memburam seketika.
"Aku lupa memberitahu, sebelumnya cermin itu telah di siram dengan cairan jeruk nipis dengan sedikit garam," dia tertawa kencang. Awan terjatuh meringkuk di lantai menekan kedua tangannya ke telinga dengan putus asa menghalau suara itu masuk ke pendengarannya.
Tawa itu berhenti tetapi tidak cukup membuat Awan melepaskan tangannya yang penuh darah dari sisi kepala sampai dia mendengar bisikan dari monster itu. "Tidak perlu alasan untuk membuatmu menderita."
***
Awan terbangun dengan napas terengah-engah, dia seketika melihat ke tangannya yang bersih tanpa noda maupun bekas luka. Dia mendesah lega, tetapi ketakutan itu tetap ada membuatnya menggigil ketika mengingat kembali mimpi buruk itu yang seakan nyata. Awan tidak tahu apakah itu adalah bagian masa lalunya yang dia lupakan atau hanya bunga tidur yang kebetulan buruk.
Awan melihat jam yang masih menunjukkan tengah malam dan dia langsung mendesah berat karena tidak dapat mencoba kembali tertidur terbayang mimpi mengerikan itu. Mengapa bisa dia sampai memimpikan hal kejam seperti itu? Tubuh Awan di mimpi itu seperti di masa dia masih sekolah menengah. Awan menggeleng kepalanya untuk melupakan hal itu, tetapi nihil bayangannya semakin jelas dari waktu ke waktu. Dia menekan matanya dengan tangan dingin tetapi yang Awan lihat di kegelapan matanya hanya seringai orang itu.
Awan mendengar suara ponselnya berdering, dia membuka matanya dengan lemah meraih ponsel dan menekan untuk dia jawab kemudian menempelkannya ke telinga.
"Buka pintu rumahmu." Lalu sambungan terputus. Awan terdiam beberapa saat mencerna dengan baik apa yang baru saja terjadi saat Sain tiba-tiba menelponnya. Dia mengacak rambutnya dan menarik napas lembut menenangkan pikirannya yang sempat kacau.
Awan dengan perlahan bangkit berdiri dan mulai berjalan ke lantai bawah untuk membuka pintu.
Tetapi ini tengah malam.
Ketika pintu di buka dia mendapati Sain berdiri tepat di hadapannya, menggunakan kaus tipis yang kusut dan celana pendek, rambutnya berantakan seperti dia baru saja bangun dari tidur. Jangan lupakan tanpa alas kaki dan berdiri di depan pintu rumah orang lain pada tengah malam.
"Apa yang kamu lakukan, Riksa?"
Sain mengusap belakang lehernya dan maju mendekati Awan. "Aku nggak bisa tidur dan kamu mimpi buruk. Jadi aku kemari."
Mata Awan melebar memandang Sain tak percaya. Bagaimana dia bisa tahu?
"Bagaimana kamu tau?" tanya Awan setengah menyipit, dia melihat ke balik punggung Sain dan tidak menemukan motornya. Bagaimana kamu datang ke sini? Di mana motormu?"
Sain berdecak di tempatnya. "Banyak sekali pertanyaannya." Sain datang ke arahnya dan melingkari tangan panjangnya di sekitar bahu Awan dan menyeretnya masuk ke dalam rumah setelah kembali menutup pintu. "Kamu seharusnya membiarkan Aku masuk dulu."
Awan membiarkan Sain menyeretnya kembali ke kamar karena dia masih setengah bingung dengan kedatangan Sain yang tiba-tiba.
Setelah Awan mengunci kamarnya dan duduk di sudut ranjang dia kembali menatap Sain yang telah berbaring terlentang di kasurnya. "Jadi?"
"Hm?"
"Bagaimana kamu bisa ada di sini?"
"Rumahku hanya beberapa langkah dari sini," katanya enteng.
"Apa? Aku nggak pernah tau, di mana?"
"Di sebelah rumahmu."
Awan menghela napas, bagaimana dia bisa begitu buta dan tidak memperhatikan sekitar. Dan dia mengingat di tahun-tahun pertama sekolah sebelum Sain menghilang dia sering melihat Sain berada di mana-mana pada sekitar rumahnya mengganggu Awan, tetapi Awan tidak mengira dia adalah tetangganya.
"Bagaimana kamu tahu tentang mimpiku?" tanya Awan sekali lagi.
Sain mengangkat tangannya dan meletakkan telapak tangan besarnya tepat di dada Awan yang berdetak halus. "Kita terhubung."
"Jangan bercanda, aku lelah."
"Nggak ada yang melarang kamu untuk berbaring." Dengan gerakan cepat dia menarik Awan hingga berbaring berdesakan di sebelahnya.
Tangan Awan tanpa sadar menekan dada Sain yang tidur miring menghadapnya. Dia sedikit tidak nyaman dengan kedekatan ini, bagaimana tidak? Hidung mereka hampir bersentuhan. Awan merasakan jantungnya semakin berdetak cepat. Merasa dia tidak bisa bernapas dengan benar dan tenggorannya Awan tercekat hingga dia kehilangan kata-katanya.
"Aku nggak bercanda, Awan," bisiknya membuat Awan bergidik.
Mata Awan tidak pernah lepas memandang iris hitam Sain. Dia merasakan tangan Sain menjalar di punggungnya kemudian berhenti untuk melingkari sekitar pinggangnya.
Waktu seolah berhenti, mereka diam hanya untuk saling memandang. Kebekuan membungkus Awan erat namun tidak dengan pipinya yang menghangat.
"Nggak perlu takut dengan mimpi itu, karena ada aku yang akan datang menghapusnya dari otak kecilmu," kata Sain lembut. Awan menegang saat tangan hangat Sain menyentuh langsung ke kulitnya ketika baju Awan sedikit tersikap di bagian bawah.
Mata Awan turun melihat hidung tinggi Sain dan kembali turun mengamati bibir penuh itu yang sedikit terbuka.
Awan merasakan hembusan napas berat di hadapannya. Dia tidak tahu mengapa dirinya melihat laki-laki lain seperti ini. Tampak sangat salah.
"Riksa," panggil Awan dengan suara serak. Hanya dengan itu, wajah Awan maju memiringkan sedikit untuk menempelkan bibirnya pada Sain dan mengawasi bagaimana mata Sain melebar di hadapannya.
Apa yang kamu lakukan, Awan?