"Sial, Awan," Sain terengah-engah, menatap Awan sejenak. "Kamu terlihat sangat sempurna."
Mata Awan mengintip dari balik kelopak matanya yang sayu, lalu bulu mata panjang itu berkibar terbuka memperlihatkan lebih jelas iris kecokelatannya yang menggelap.
Sain menarik tangannya, dia menyisir rambut Awan kebelakang yang menghalangi wajahnya. Bekas luka jahitan di kening Awan, menjadi ciri khas hingga menarik perhatian Sain untuk menyapu jarinya ke permukaan kening Awan itu.
"Riksa, apa yang kamu lakukan? Ini salah, kita laki-laki," Awan berujar nampak susah payah di bawah kungkungan Sain.
Sain tidak menjawab, dia tahu bahwa yang dikatakan Awan adalah kebenarannya.
"Riksa, apakah sesama teman melakukan ini?" tanya Awan dengan matanya yang besar nampak meyakinkan dirinya sendiri. Sain meringis, betapa kebohongan itu sangat manis yang siap keluar dari ujung lidahnya.
"Apakah partner melakukan ini juga?" tanyanya sekali lagi.