Chereads / Di Balik Cermin / Chapter 17 - Trauma

Chapter 17 - Trauma

Awan berpaling dari buku bacaannya, untuk melihat Michelia datang dan duduk di sebelahnya. Dia tampak menatap Awan malu-malu, tangannya bergerak untuk menyampirkan beberapa helai rambutnya ke belakang. Awan menunggu untuk mendengar apa yang ingin Michelia katakan. Dia bersandar di pohon menyamankan posisinya.

"Awan, tentang beberapa hari lalu. Aku ingin meminta maaf." Michelia berkata sangat pelan hingga Awan harus mendengarnya dengan benar. Awan menyadarkan dirinya beberapa kali di dalam kepala bahwa yang duduk di sebelahnya ini bukanlah sahabatnya. Tapi tetap saja sangat sulit, di mana tahun-tahun yang dia ingat di sekolah Michelia selalu ada dan menemaninya apalagi sekarang dia duduk di sebelahnya dengan wajah penyesalan. Walaupun dia tahu fitnah yang di tuduhkan oleh Michelia sangat membuatnya kecewa dengan tuduhan yang kotor.

Awan menutup bukunya, menaruhnya di rerumputan di sebelahnya. Dia meletakkan titik fokus pada Michelia, mengangkat alis dan ingin mendengar kelanjutan yang Michelia akan katakan padanya.

"Aku sangat menyesalinya dan nggak bermaksud kayak gitu. Aku minta maaf, Awan." Mata Michelia berair, Awan sama sekali tidak bisa melihat sahabatnya menangis.

"Jangan menangis Lia, kamu sudah mengakui kesalahanmu. Itu sudah cukup," kata Awan pengertian dan tersenyum tipis.

"Kamu memaafkanku?" tanya Michelia penuh harap, dia bergeser untuk lebih dekat pada Awan hingga Awan bisa merasakan panas tubuh Michelia di sisinya.

Senyum kembali mekar di bibir Awan, lantas mengangguk kecil. Michelia tampak senang, dia segera melompat memeluk Awan, kulit tangan dingin Michelia bersingungan dengan leher Awan yang terbuka membuatnya langsung tersentak dalam duduknya. Mata awan melebar, ketakutan yang baru mengedap di dasar kembali naik ke permukaan hingga bayangan sentuhan-setuhan bagaimana tangan kotor wanita itu ikut mengotori tubuh Awan, bagaimana wanita yang memperkosanya merobek setiap sisi paling rentan dirinya dengan baik. Melontarkan penghinaan-penghinaan yang bahkan tidak sanggup Awan dengar. Bagaimana dirinya di tekan, disayat, dipukul, dan disumpal dengan sesuatu menjijikan dari bagian wanita itu. Hingga Awan benar-benar terhina dan akan terus teringat mimpi buruk itu di sisa hidupnya yang buruk.

Awan dengan kasar mendorong Michelia, ketakutan terlukis dengan jelas di wajah Awan, menyeretnya terus menerus tanpa lelah. Tidak ada Michelia di depannya hanya ada wanita berambut berantakan, lipstik pudar dengan baju terbuka yang menyeringai.

"Apa kamu menolak? Jelas kamu menyukainya, dasar." Wajahnya di dorong, pangkal pahanya sakit. Dia sangat membenci wanita itu.

Bayangan itu berputar dalam pikiran Awan, hingga mengerjap saat Michelia menyentuh lengannya. Wajahnya mengabur dari ilusi mengerikan Awan menjadi Michelia yang sedang menatapnya khawatir.

Jantung Awan memompa cepat, bibirnya bergetar dan Awan menggigitnya dengan kuat. "...Nggak seharusnya laki-laki nangis." Kalimat Ayahnya terngiang dalam pikiran Awan.

"Apa yang terjadi, Awan?" Michelia mendekat menggenggam pergelangan tangan Awan.

Awan menepisnya secara refleks. "Jangan sentuh,... Maaf."

Dia tidak bisa terus di sini, Awan bangkit berdiri dan pergi kemanapun tempat di mana dia hanya sendiri.

***

"Awan?" Panggilan dari seseorang mengusik ketenangan Awan dalam melangkah menuju kelas setelah dia menghabiskan satu jam penuh mengasihani dirinya di kelas kosong terbengkalai. Suara yang jarang dia dengar kembali memanggilnya dan membuat Awan terpaksa menghentikan jalannya dan menoleh dan menatap lelaki di sampingnya dengan lelah.

"Awan? Kamu kenal Aku, kan?" tanya laki-laki itu menunjuk wajahnya sendiri. Awan cukup lelah hanya untuk berpikir mengenai orang ini. Dia mencubit pangkal gidungnya ketika kepala Awan terasa berdenyut.

"Nggak, bisakah Aku pergi?" tanya Awan, berharap dia bisa kembali ke kelasnya dengan cepat.

"Aku Faiz. Teman Langit, ingat?" Laki-laki itu menatap Awan penuh harap.

Awan meringis, sudah berapa lama dia melupakan Langit?

"Aku nggak tau siapa kamu, tolong biarkan Aku pergi."

"Nggak, Awan. Aku tau kamu berbeda dari orang-orang ini."

"Aku nggak mengenalmu, tolong biarkan Aku pergi."

"Tolong berhenti, sakit! Tolong Aku mohon! Aku salah apa padamu?"

Ketakutan kembali memukul Awan tepat di wajahnya, Awan berlari kemana saja di mana kaki membawanya. Dia tidak peduli apapun lagi sekarang, dan juga tidak ada yang peduli bagaimana dia memohon untuk berhenti.

Tenggorokan Awan terasa seperti tercekik dan seolah-olah jantungnya akan melompat ke kerongkongan, Mata Awan menatap liar menjelajah di mana dia bisa bersembunyi dari siapapun. Kakinya membawa dia ke tempat semula pada ruang kosong yang pengap dan penuh debu. Awan memeluk lututnya di sudut ruang dan jauh dari pandangan. Tidak ada yang akan tahu bahwa dia sepengecut ini dan penakut ini. Awan membenci dirinya sendiri, walaupun setiap hari dia menggosong permukaan kulit lebih dari seharusnya dia lakukan. Namun semuanya tidak cukup, noda itu akan tetap ada dan terus ada.

Awan menekan telapak tangannya ke mulut, menghentikan isakan menjijikan yang keluar dari mulutnya.

Ini memalukan.

Pintu di buka sangat pelan, Awan semakin beringsut ke dinding agar seseorang yang masuk itu tidak mengetahui eksistensi Awan. Langkah kaki mendekat ke arahnya, tidak bisakah orang meninggalkan dia sendiri untuk kali ini saja.

Awan mendongak untuk melihat siapapun yang mengusik bagian dari momen memalukan dirinya.

Ya, itu pasti selalu Sain.

Sain tidak mengatakan apapun dia ikut menghempaskan tubuhnya di sebelahnya dan Awan memilih untuk memandang lurus ke depan mengabaikan Sain dan menganggap hanya ada dirinya sendiri di sini.

"Dengan waktu yang sebentar, Aku bisa membuat sepanjang hidupmu mengingat tentang ini." Wanita itu meludah. Pisau tipis yang berada di genggaman tangannya menyayat sekitar pinggang Awan. Di mana Awan meronta terhalang pria yang memegangi tangannya. "Atau bagaimana bosku membuatmu lupa untuk ke dua kalinya?"

Hingga pada detik di mana Awan berharap dia mati saat itu juga.

Keheningan tidak selalu membuat Awan merasa aman, kepalanya terasa ingin meledak dengan suara-suara yang selalu ingin dia lupa. Awan menekan mulutnya, dia mual, merasa jijik dengan dirinya sendiri. Memangnya apa dosaku hingga Aku menerima ini? pikir Awan.

Air mata Awan sudah tumpah sejak tadi, tidak peduli lagi bagaimana harga dirinya hilang di depan Sain dan dia berharap Sain berbicara apapun padanya, Awan tidak tahan mendengar suara dalam ingatannya yang berlomba-lomba untuk dia ingat. Jam-jam yang dia lalui hari-hari sebelumnya sangat berat baginya, di mana dia harus melupakan semuanya yang berhubungan dengan mimpi buruk itu. Walaupun terkadang dia harus melukai dirinya sendiri, menambah luka yang sudah lebih dulu tertoreh sebelumnya.

"Keluarkan ponselmu kita bisa main Fruit Ninja atau Angry Birds sekarang." Akhirnya Sain membuka suara dalam sekejap bisikan di dalam kepala Awan menghilang.

Senyum kecil Awan mekar, tidak habis pikir Sain mengajaknya bermain permainan kekanakan itu. Dia mengusap air matanya dengan keras menciptakan jejak merah di pipi. Dia menyisir sekali rambutnya yang menempel di kening dengan jemarinya.

"Aku punya nggak aplikasi," kata Awan dengan suara serak, dia merogoh ponsel hitamnya di saku.

"Aku mana tau kamu punya atau nggak," balas Sain cepat.

"Bukan, maksudku Aku nggak punya aplikasinya." Awan menoleh ke arah Sain, hidungnya berkerut melihat ujung bibir Sain yang merah dan mengeluarkan darah serta pipinya sedikit membiru. "Kamu kenapa?"

"Berantem. Kamu nggak tau orang-orang di sini semuanya brengsek kecuali Aku?"

Awan menggeleng tangannya terulur di depan wajah Sain, mata mereka bertemu dalam ajang saling menatap di mana Awan bisa melihat iris hitam Sain yang perlahan menggelap dari sebelumnya, mata Awan beralih ke tangannya sendiri yang sedang menjelajah. Jemari dingin Awan mengelus pelan pipi Sain yang membiru lalu dengan perlahan turun ke sudut bibirnya yang berdarah. Dia bisa merasakan hembusan lembut napas Sain membelai pergelangan tangannya, hingga dalam sekali sentakan tangan Awan melayang dan memukul bibir Sain dengan cukup keras.

Sain tersentak dan memegangi bibir yang baru saja di pukul oleh Awan. "Sakit, apa-apaan tadi?"

Awan tertawa. "Kamu bilang Aku brengsek. Padahal kita sendiri sudah tahu bahwa kamulah yang brengsek. Bukannya nama tengahmu, Sain Bastard Antariksa."

Sain tercengang matanya melebar menatap tak percaya pada Awan. "Sejak kapan kamu bisa menggunakan kata-kata itu, untuk mengejekku?"

Sekejap saja pipi Awan terasa panas, dia berkedip beberapa kali. "Sejak Aku berteman denganmu."

Sain menyeringai badannya condong ke arah Awan. "Jadi kita teman?"

Awan menjawab dengan mengangkat bahu acuh, tidak ingin membuat Sain senang dengan dia membalas kata-katanya.

Dada Awan menjadi lebih lega dari sebelumnya, hingga dia bisa meluruskan kaki yang sejak tadi menghimpit dadanya.

"Kita nggak jadi main game?" Awan bergidik ketika Sain berbisik tepat di telinganya membuat Awan tidak perlu berpikir lagi mendorong kepala Sain jauh dari dirinya.

Tawa Sain bergema di ruangan, dia semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Awan membuat bahu mereka saling menekan.

Awan menggeleng kecil. "Kita seharusnya di kelas. Di sini ada sistem poin, kan?"

Sain mendengus, dia semakin menumpukkan berat badannya di pundak Awan. "Poin itu sampai mencapai batas 300, Aku sudah menghabiskan 198. Kalo guru ingin mengurangi, silakan kurangi. Aku nggak peduli."

"Kamu akan dikeluarin dari sekolah dan kamu tahu, cuma Aku di sini yang—,"

"Kamu juga harus keluar, kenapa juga cuma Aku? Lagipula untuk apa dunia bodoh ini harus pakai poin, ketika pelanggaran itu enak banget di lakuin," potong Sain.

"Berat, Riksa." Awan mendorong kasar Sain menjauh dari dirinya. "Poinku sudah di potong 50 oleh Lia."

"Aku sudah bilang jangan dekati Michelia. Kamu nggak tahu dia itu licik dan punya sifat setan." Sain kembali menyandar pada Awan, yang kali ini hanya pasrah.

Awan merasakan kemarahannya datang saat Sain menjelekkan sahabatnya. "Dia sahabatku."

"Memang, tapi bukan Michelia yang ini."

"Tetap aja, dia sahabatku. Susah rasanya untuk menjauhi dia, apalagi Aku sangat menyesal sudah mendorongnya tadi padahal dia nggak tau apa-apa." kata Awan jujur.

Sain menegakkan badannya. "Kamu nggak perlu menyesal, dia bukan Michelia yang kamu kenal."

Awan menghembuskan napas berat, dia menjadi sangat merindukan Michelia dan bertanya-tanya apakah Michelia mencari dirinya di sana yang menghilang tiba-tiba. "Kamu nggak akan mengerti."

"Kamu menyukainya?" tanya Sain tiba-tiba merubah alur pembicaraan.

"Iya," jawab Awan langsung.

Sain tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia berdiri mengibas-ngibas celananya untuk menghilangkan debu. Lalu menatap Awan dengan ekspresi yang tidak bisa Awan baca. "Gimana kalo kita pulang aja?"

"Kita ke kelas, Aku sudah meninggalkan banyak pelajaran akhir-akhir ini."

"Oke." Sain berbalik berjalan ke ambang pintu yang tertutup. Kening Awan sedikit berkerut melihat perubahan Sain yang tiba-tiba.

"Jangan banyak berkerut, kamu udah tua makin tua."

Awan, salah. Tidak ada yang berubah dari Sain. Sifatnya tetap saja miring.

***

"Kamu selalu gagal!" teriak suara nyaring seorang wanita yang berdiri di jendela.

"Aku sudah berusaha. Maafkan Aku," mohon salah seorang gadis bersimpuh di bawah kaki wanita itu.

"Kita hanya menunggu bulan itu tiba sebentar lagi, tapi kamu mengacaukan semuanya. Tidak bisa di percaya Aku masih membiarkan kamu untuk bernapas." Dia menggeram dengan amarah mendidih. Kakinya yang memakai sepatu berlapis emas menekan kepala gadis yang bersimpuh itu.

Gadis itu tersentak dan menggigit bibirnya kuat menahan tangis dengan badannya yang bergetar hebat. "Maafkan Aku. Aku mohon, maafkan Aku."

Wanita itu tertawa melengking. "Aku sepertinya sangat baik pada orang-orang. Lihat saja nanti sebulan ke depan apakah kamu masih memiliki kepala menempel atau tidak?"

Wanita itu melepaskan tekanannya dia menendang kuat gadis itu tanpa kasihan. "Pergi dari sini, kamu mengotori sepatuku dengan kesialanmu."

Gadis itu dengan gemetar langsung berdiri, dia membungkuk terlalu banyak dan berjalan dengan terseok-seok keluar dari ruangan temaram itu dengan cepat.

Ketakutan selalu menempel erat di setiap hari-harinya mulai dari sekarang. Nerakanya telah tiba sejak portal itu telah terbuka.

Terima kasih telah membaca.