Flashback
Katakan pada Langit sekali lagi bahwa suasana pagi ini sama sekali tidak serupa dengan apa yang terjadi dengan suasana dalam diri seorang Langit. Putihnya awan di atas sana seolah mentertawakan dirinya yang kotor tanpa ia sadari sebelumnya. Kotor dalam arti harfiah. Ban motornya yang tiba-tiba kempes sehingga berjalan mencari kendaraan umum membawa ketidak beruntungan Langit hari ini.
Seragam putih abunya terdapat cukup banyak bercak lumpur hasil karya mobil yang melaju kencang di jalanan penuh dengan genangan air, Langit tidak punya cukup waktu untuk menghindar. Sebelah sepatunya pun hilang setelah menjadi pengganti batu untuk melempar mobil yang berpura-pura tidak terjadi sesuatu dan malah makin menancap gasnya.
Ketidaklengkapan berpakaian Langit bukan sebuah alasan ia sekarang berdiri di sebelah tiang bendera sambil memegang buku. Luasnya waktu luang Langit tidak membuatnya ingat untuk mengerjakan tugas sekolah ketika di rumah. Langit malah menyibukkan dirinya bermain game online hingga lupa waktu.
Langit akui bahwa dirinya memang nakal dan gemar sekali membolos di saat jam belajar sedang berlangsung. Tapi untuk kali ini Langit enggan sekali beranjak dari tiang bendera. Pekerjaan rumahnya terlalu gampang butuh waktu lima menit untuk mengerjakannya setelah itu bukunya ia gunakan untuk melindungi kepala dari teriknya sinar matahari pagi.
Langit bisa saja langsung masuk ke dalam kelas tapi sesuatu dari dalam dirinya meminta ia untuk tetap berdiam sebentar disini. Walaupun tiang bendera tidak cukup untuk menutupi laju sinar matahari, dan hanya cukup untuk mengeringkan pakaian Langit yang sedikit lembab.
Mata coklat gelapnya menelusuri sekitar lapangan yang lengang. Sebenarnya dari awal Langit sudah menjadi pusat perhatian, namun Langit tetap Langit ia tidak akan peduli.
"Woy bro!" Suara teriakan terdengar entah dari mana. Langit menulikan telinganya, berpura-pura tidak mendengar. Orang tidak waras mana yang berteriak-teriak di tengah lapangan, membuat polusi udara saja bagi Langit. Ia merasa bukan dirinya yang orang itu maksud, jadi Langit tidak peduli dan meilih untuk diam.
Namun suara itu semakin lama semakin mendekat. Hingga Langit dapat melihat seseorang yang menghampiri dirinya, namun ia tidak bisa melihat siapa yang datang dengan jelas karena sinar matahari menghalangi.
"Woy bro! Aku panggil kamu." Langit tahu bahwa dirinya yang di panggil kali ini. Ia berpura-pura tidak melihat saja, lihat ke arah lain asal jangan ke arah makhluk sok kenal ini. Ingatan Langit bagus, namun sependek pertemanan Langit ia belum pernah mendengar suara laki-laki seperti ini. Apalagi mencoba berakrab ria dengannya, orang ini mungkin tidak mengenal dirinya yang tidak suka berdekatan dengan orang lain.
Keterdiaman yang tiba-tiba terjadi dari bibir laki-laki itu membuat pandangan Langit bergulir ke depan. Tidak ada sinar matahari pagi yang menghalangi penglihatan, ia bisa melihat dengan jelas laki-laki yang mengusik tenangnya. Laki-laki itu terpaku, tepat dihadapan Langit. Dan Langit membeku tak dapat berkata.
Desiran di dalam dada Langit bergemuruh seiring cepatnya laju detak jantung dirinya. Ada hening yang menemani mereka dalam kebekuan yang terjadi. Pikiran Langit seolah di tarik dalam momen penuh tawa masa kecilnya dan tangis yang menyayat hati Langit sedemikian rupa. Dimana sang hero direnggut dari kehidupannya dan seolah semesta membawa hero kembali padanya.
Tanda bekas jahitan di kening dan mata coklat cerah di depannya yang selalu penuh warna sekarang tampak kelabu menyimpan luka, seberapa banyak orang itu mencoba menutupinya, Langit akan tau.
"Kok muka kita mirip? Aku baru pertama kali lihat orang yang mirip Aku." Bagai sebuah jarum yang tepat menusuk dada Langit. Ia hanya diam membiarkan rindu merayap keluar. Banyak tanya yang muncul dalam pikiran Langit namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari celah bibirnya.
Orang itu mengamati Langit dan matanya jatuh pada nama yang terbordir di baju Langit. "Langit?"
Ada diam yang kembali merayap di sekitar. Udara yang melayang di antara mereka terasa hampa bagi Langit yang diam-diam dia hirup dengan kuat, hanya sebuah asa yang di tunggu dalam setiap detik yang melaju.
"Aku di suruh temanku ke sini. Katanya Aku mirip kamu." Orang itu menyisir poninya yang mengenai mata ke belakang dan Langit makin melihat dengan jelas bekas luka di keningnya.
"Namamu?" Untuk pertama kalinya Langit mengeluarkan sepatah kata, pada orang ini.
"Awan."
Awan mengedipkan matanya saat melihat reaksi Langit ketika mendengar namanya. Dalam seperkian detik mata Langit melebar, namun kembali normal. Ingin rasanya bagi Langit untuk menerjang Awan, memberikan pelukan kuat untuk menyampaikan betapa ia merindukannya. Dan berteriak pada Awan bahwa dia adalah Langit, adiknya. Langit merasa ada sesuatu yang salah di sini.
"Apa kita pernah ketemu?" Langit kembali bersuara dengan tanpa sadar nadanya berubah dingin. Ia mencoba meyakinkan dirinya.
"Belum. Tapi nama kita hampir mirip ya, kalo di gabung jadi mirip nama ayahku," Awan tersenyum tulus hingga mampu membuat Langit makin tenggelam dalam kubangan rindu yang seolah mencekik. Merobek kembali luka yang telah lama tertutup dengan susah payah.
Seperti dalam sebuah sinetron di televisi Langit tidak bisa percaya hal seperti ini terjadi padanya. Awan adalah satu-satunya orang yang tidak pernah berbohong padanya, jadi Langit percaya ini benar terjadi. Namun sudah sekian tahun mereka tak berjumpa, yang Langit dapatkan sekarang adalah sebuah rasa sakit yang menikam dadanya dari sebuah pengharapan.
"Langit, apa kamu mau pakai sepatu Aku? Aku lihat kamu sepertinya kepanasan." Langit diam saja namun saat tahu bahwa Awan berjongkok untuk membuka sepatunya, Langit benar-benar tidak suka akan hal ini. Seolah membuat fakta baru yang tidak bisa Langit dapatkan.
Maka tanpa menyambut sepatu yang disodorkan Awan, Langit pergi begitu saja meninggalkan tanya di pikiran Awan.
***
"Jangan-jangan dia kembaran kamu yang hilang." Faiz menepuk bahu Langit seolah untuk menyadarkan. Ia lalu kembali fokus membubuhkan warna pada gambarannya yang terlihat abstrak.
"Emang sinetron. Hidupku nggak sedrama itu." Langit terkekeh sambil mewarnai gambar wajah di buku gambar dengan warna merah muda.
"Kembaranmu memang hilang Langit, terus dia tiba-tiba muncul di depanmu dengan nama yang sama. Terus otaknya agak ke geser jadi lupa dengan adiknya yang tersayang ini." Faiz berbicara dengan nada mengejek.
"Kamu selain ember ternyata samudera juga ya. Karena kebanyakan nonton sinetron jadi daging tuh sinetron dalam otak. Dia itu kebetulan aja sama, nggak ada yang bisa nyamain dengan kakak."
"Iya tahu, banggain aja tuh pahlawan mu. Aku doain kamu biar cepet ketemu Awan, Aku pengen main bekel lagi kayak dulu," Faiz, hanya tertawa kecil setelah mengatakan itu.
Langit diam saja namun dalam hatinya ia mengaminkan kata-kata Faiz barusan. Namun dengan kehadiran Awan yang tadi membuat rindu Langit sedikit tersalurkan. Jika tadi Langit kehilangan kontrol diri, ketika melihat Awan, Langit pasti Akan langsung memeluknya dengan kuat dan memaki pria tua itu yang telah memisahkan mereka.
Langit mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca. Manik coklat gelapnya dapat melihat Awan berjalan dari kantin menuju kelasnya. Mata Langit tidak lepas memperhatikan gerak-gerik Awan. Dan Langit semakin yakin akan pemikirannya.
"Faiz, kamu benar. Dia memang Awan." Faiz yang mendengarnya tersenyum lebar.
Bersambung...