Terima kasih telah membaca.
Ketika kesadaran perlahan muncul pada Awan. Di tempat terakhir kesadarannya direnggut paksa, dan di tempat ini ia terbangun dengan di hadapkan pada rasa sakit yang begitu menyiksa batin dan fisiknya. Sebuah gang kecil jauh dari keramaian, tempat yang cocok untuk menyiksa. Tidak akan ada yang tahu, bahkan ketika dia berteriak dengan kencang.
Awan melihat ke sekeliling dan tidak menemukan orang-orang yang menyiksanya tadi. Sudah berapa lama dia pingsan? Lorong yang redup di antara bangunan tinggi membuat Awan merasa kecil dan sesak. Dia tidak tahan berada di sini terlalu lama.
Awan ingin lari, tapi tubuhnya terasa hancur berkeping-keping.
Ketika Awan ingat kejadian yang baru menimpa dirinya seketika air matanya meleleh. Awan jijik hingga rasanya ingin muntah dan menenggelamkan dirinya pada genangan air yang paling dalam. Laki-laki pun bagi dirinya tak apa menangis, ketika tak tahu lagi bagaimana harus menyalurkan emosi. Awan harus apa setelah ini, sulit rasanya berpura-pura kembali. Awan sudah terlalu biasa dalam kepalsuan di seluruh dunia kelabunya. Jadi untuk kali ini seharusnya bukan masalah lagi bagi dirinya. Seharusnya.
Awan berusaha berdiri dari posisinya yang tertidur. Sakit. Rasa sakit semakin menusuk membuatnya hampir kehilangan fokus. Ketika Awan mulai dapat berdiri dengan baik, ia melangkah dengan menyeret kaki. Nyeri semakin menusuk pada pangkal paha dan pinggangnya ketika dia melangkah mendekati tasnya yang berada di samping tempat sampah.
Ini keterlaluan. Mereka keterlaluan. Setelah melukai fisiknya, harga dirinya pun direnggut paksa. Satu-satunya yang ia syukuri adalah mereka menyakiti orang yang salah. Mereka bahkan tidak mengenal dengan ben ar wajah korbannya. Walaupun terlihat kembar, bukannya dirinya jelas berbeda. Awan ingin cepat-cepat pulang, menangisi semestanya yang menghitam.
Awan sedikit menunduk mengambil tas. Ia melihat cermin yang cukup besar dengan lebar dan tinggi seukuran dirinya bersandar pada tembok. Cermin itu masih terlihat baru, ukiran kayu bermotif bunga mawar bercat emas dan merah tua pada bingkainya. Terlihat janggal berada di gang sempit di sisi tong sampah. Pemiliknya mungkin sengaja membuangnya.
Pantulan dirinya di cermin membuat Awan tampak menyedihkan. Seragam kejuruannya sudah lecek bercampur tanah. Darah pada pipi dan sudut bibirnya. Awan muak. Pada dirinya. Pada mereka.
Tangannya terayun meninju cermin itu tepat di pantulan wajahnya. Sakit. Biarkan cermin itu ikut hancur seperti hidupnya. Yang walaupun sudah di satukan kembali, tidak akan pernah sama lagi. Sekarang Awan akan membiarkan hidupnya mengalir seperti darah yang keluar dari tangannya.
Awan memejamkan matanya erat, menetralkan emosi. Ia tidak ingin emosi menguasai dirinya. Awan mengeratkan genggaman pada tas dan menghembuskan napas.
Mata coklat cerahnya terbuka bersiap kembali menjadi Awan seperti biasa. Menganggap semuanya baik-baik saja, dan tak pernah terjadi apapun. Mengubur semuanya di pikirannya yang paling dalam, Awan tidak ingin dendam mengambil alih kehidupannnya. Ia akan memakai topeng yang lebih tebal. Tapi, tunggu!
Ada yang salah dalam penglihatan Awan, dimana cermin itu?
Jantung Awan berpacu, kakinya menjadi lemas ketika ia tahu dimana kakinya berpijak sekarang. Kenapa dirinya berdiri di tempat yang tinggi di atas tembok balkon pembatas gedung sekolahnya di lantai tiga. Awan hampir oleng ke depan dengan angin yang deras datang dari belakangnya. Satu langkah saja ke depan tubuhnya bisa hancur menghantam tanah.
Awan perlahan turun, dengan tubuh yang gemetar. Ia terduduk lemas. Meremat rambutnya, Awan berteriak hingga tenggorokannya terasa sakit. Sehancur apapun hidup Awan ia tidak akan membunuh dirinya sendiri. Tidak akan pernah. Dia hanya ingin menghilang sebentar saja, bukan mengakhiri hidupnya.
"Ini mustahil," lirih Awan, masih linglung dengan apa yang terjadi pada dirinya.
"Kenapa?" Suara seseorang masuk ke indera pendengaran Awan. Awan langsung menoleh ke asal suara dan langsung di hadapkan pada Langit yang berdiri di depannya. Awan hanya bisa menggeleng. Tidak, Langit tidak seharusnya melihat dia seperti ini.
Awan perlahan bangkit berdiri seketika kepalanya berdenyut dan langsung ia bersandar pada tembok yang terasa hangat di tangannya. Awan ingin pergi tapi dia tidak mampu, jadi ia hanya berdiri diam melihat Langit yang kali ini terlihat janggal.
"Kenapa? Sakit?" Langit menyeringai tangannya bersedekap di depan dada. Hal itu membuat Awan mengerutkan dahinya dan menatap Langit aneh. Awan hanya diam tenggorokannya masih sakit saat dia berteriak barusan.
"Kenapa nggak jadi lompat tadi? Aku nungguin loh, pengen liat kamu hancur di bawah sana," katanya dengan nada humor. Ada apa dengan Langit. Sebenci apapun Langit terhadap Awan, dia tidak pernah memperlakukan Awan seperti ini sebelumnya.
"Kamu kenapa Langit?" tanya Awan dengan suaranya yang serak. Awan tidak tahan berdiri, dia merosot duduk.
"Kamu yang kenapa?" Langit malah balik bertanya dengan bosan.
Awan sekali lagi diam, tidak tahu apa yang terjadi kepada Langit.
Langit akhirnya memecah keheningan. Dengan suara yang dingin Langit kembali berbicara. "Makanya kalo sekolah tuh buat belajar, bukan buat berantem. Seneng banget liat kamu susah."
Awan tercengang dengan kata-kata Langit. Menusuk tepat ke hati Awan. Membuat hidupnya sekali lagi goyah. Langit pergi begitu saja setelah mengatakan itu. Sekarang Awan benar-benar sendiri. Tidak, Awan masih punya sahabatnya Michelia. Dia harus menemuinya.
Awan mencari ponselnya di dalam tas dan menemukannya. Dia langsung menghubungi
Michelia. Satu kali panggilannya tidak terjawab, lalu untuk ke dua kalinya Michelia menjawab dengan nada yang malas.
"Lia, kamu sibuk?"
'Iya.' Panggilan langsung dimatikan oleh Michelia padahal biasanya dia tidak pernah seperti itu. Ada apa dengan orang-orang ini?
Langit memejamkan matanya mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan sakit. Yang hancur berkeping-keping. Mungkinkah kejadian ini adalah cara Tuhan membalas semua kesalahan Awan di masa lalu yang tidak dia ingat dengan jelas. Yang dia lupakan begitu saja. Namun mengapa pembalasan ini datang bertubi-tubi. Lalu kejadian apa yang baru dia alami ketika dirinya yang sedang berada di gang yang sepi dalam sekejab dia menutup mata, Awan sudah satu langkah lagi menuju kematian. Seolah dia berada di dunia lain. Awan sebenarnya berharap bahwa ini hanyalah mimpi ketika dia membuka mata maka semua penderitaan ini berakhir. Awan mencobanya, ia membuka mata namun tidak terjadi apapun.
Awan mencoba untuk terakhir kali. Memejamkan mata lebih lama, Awan menahan membuka mata untuk sementara waktu ketika dia mendengar langkah kaki datang ke arahnya. Apakah itu Langit yang kembali datang? Atau Awan sudah berada di tempat yang seharusnya dia harapkan?
Awan membuka matanya lebar, namun langsung dikejutkan oleh seseorang yang telah lama tidak dia lihat berdiri menjulang di hadapannya. Sedang menatap ke arahnya.
"Kamu?"
Terima Kasih banyak telah membaca.