Begitu berada di luar bangunan utama rumah sakit tersebut, Ardha Candra bergegas menuju satu pojokan yang ia lihat, deretan mesin ATM—masih dalam lingkungan rumah sakit.
Saat layar pada mesin ATM itu menampilkan jumlah saldo yang ia miliki di tabungannya, Ardha Candra hanya bisa melenguh pendek.
Brengsek!
Tersisa kurang dari lima puluh ribu rupiah saja saldo yang ia miliki. Dan tentunya jumlah itu tidak bisa ia tarik.
Benar-benar menyebalkan!
Sepertinya ucapan makhluk bersayap kemarin itu benar adanya, pikir Ardha Candra.
Dan setelah itu, ia pun berlalu dari sana. Setidaknya, ia masih memiliki beberapa ratus ribu rupiah di dalam dompetnya. Lebih dari cukup bagi Ardha Candra menggunakan uang tersebut untuk membayar ongkos taksi menuju rumahnya yang sedikit ia rindukan.
Perjalanan menuju sebuah komplek perumahan di Jakarta Utara pagi itu cukup melelahkan, setidaknya bagi si pengemudi taksi, dan ya Ardha Candra hanya bisa pasrah duduk bersandar di kursi belakang menunggu terurainya kemacetan.
Apa yang bisa ia lakukan? Nyaris tidak ada, kecuali mengutuk keadaan lalu lintas yang semrawutan itu. Lagipula, ini bukan hari libur.
"Mau saya nyalakan musik?" Sang supir menoleh ke belakang, ia menemukan kejenuhan di wajah penumpangnya.
"Tidak usah." Ardha Candra menolak dengan sopan, lagipula ia sedang tidak punya mood untuk mendengarkan musik.
"Bagimana dengan radio?"
Sang penumpang menghela napas dalam-dalam. "Apakah mobil ini barang curian?"
Sang pengemudi taksi tersenyum menggeleng.
"Lakukan saja yang menurut Anda baik," kata Ardha Canda.
Dan menyalalah radio taksi tersebut. Disebabkan sang penumpang sedang tidak ingin mendengarkan musik, pengemudi taksi itu pun mencari-cari saluran yang menyiarkan berita.
Beberapa saluran radio memberitakan hal yang sama, berita tentang pembunuhan sadis yang akhir-akhir ini sedang marak terjadi di berbagai tempat di belahan dunia, termasuk di Indonesia.
"Dunia semakin lama semakin kacau," ujar si pengemudi taksi.
Kemacetan sedikit terurai, taksi itu pun bergerak dengan pelan.
Ardha Candra tidak terlalu menggubris suara manja seorang wanita yang membacakan berita lewat siaran radio tersebut. Ada hal yang lebih penting baginya untuk dipikirkan: Bagaimana kondisi rumahnya sekarang semenjak ia tinggal karena kecelakaan itu? Lima bulan tidak ditempati, tidak ada yang mengurus, tentu semua perabotan sudah berdebu.
Aah, mungkin saja wanita itu suka berkunjung, dan kemudian berbaik hati membersihkan rumah tersebut, pikir Ardha Candra.
Tapi rasanya itu tidak mungkin.
"Nyawa manusia sudah nggak ada harganya sama sekali," si pengemudi taksi masih saja mengoceh.
Mau tidak mau, Ardha Candra terpaksa mendengar keluh kesah laki-laki sepantaran dirinya tersebut.
"Begitu mudahnya seseorang membunuh orang lain. Bahkan sampai dikuliti segala… astaga, sepertinya orang yang membunuh itu lebih kejam dari iblis."
"Sejak kapan pembunuhan sadis itu terjadi?" tanya Ardha Candra.
"Hemm, kalau tidak salah, semenjak dua bulan yang lalu. Saya sampai nggak enak makan saat melihat video korban yang pertama kali beredar di sosial media."
Yaah, zaman sekarang, pikir Ardha Candra, orang-orang cenderung tidak menghargai norma-norma yang ada, apalagi yang berhubungan dengan si korban. Padahal, bisa saja pihak keluarga korban akan semakin bersedih hati jika nanti mereka melihat video itu. Tentu, ini bukanlah jenis kenangan yang ingin mereka simpan di dalam kepala.
Ya, kecuali kau seorang psikopat.
"Benar-benar sadis," ujar si pengemudi taksi.
"Yang namanya pembunuhan," sahut Ardha Candra, "seperti apa pun itu, tetap saja sadis. Karena sudah tega merenggut nyawa orang lain."
"Banyak rumor beredar, semua ini disebabkan oleh satu sekte sesat."
"Sekte?"
Si pengemudi mengangguk. "Gerombolan pemuja setan—atau apalah gitu namannya, saya sendiri nggak terlalu mengerti hal-hal begituan."
Mungkin saja, pikir Ardha Candra. Hanya saja, sampai sejauh ini ia tidak pernah mendengar bahwa ada pemuja setan yang sampai melakukan pembunuhan. Menguliti orang? Yang benar saja!
Well, kecuali pada cerita-cerita tertentu, seperti film dan novel horor contohnya.
Tapi, siapa yang bisa tahu? Mungkin saja ritual mereka sudah berada di level yang berbeda.
"Kalau hanya sebuah sekte," kata Ardha Candra, "saya rasa pihak yang berwajib pasti sudah bisa mengungkap para pelaku tersebut."
Tapi sebenarnya Ardha Candra ingin berkata bahwa itu semua kemungkinannya bukan dilakukan kelompok-kelompok sekte ataupun oleh manusia. Ya, pasti kawanan makhluk setengah biawak yang kemarin itu menyerang dirinya di kamar rumah sakit.
Hanya saja, Ardha Candra masih belum bisa membuktikan semua itu dengan cara yang lebih baik. Jadi, untuk sementara ia tidak menyinggung hal tersebut.
"Tapi kenyataannya, sampai sekarang polisi belum bisa menemukan para pelaku itu."
Tentu saja, bodoh!
Ardha Candra mendengus pelan. Kalau tidak begitu, tidak mungkin dibilang kasus yang masih menjadi misteri oleh wanita bersuara manja di radio itu.
Lima belas menit kemudian, taksi itu akhirnya sampai di depan rumah Ardha Candra. Laki-laki itu turun, lalu membayar ongkos sesuai dengan angka yang tertera pada argo taksi tersebut.
"Terima kasih," ujar si pengemudi taksi. "Lebih baik jangan keluar malam dulu."
Ardha Candra hanya sunggingkan senyum, lalu melangkah memasuki pekarangan rumah berukuran sedang itu.
Benar sekali, laki-laki itu mendesah pendek. Rumput-rumput di halaman depan itu sudah memanjang liar. Berbagai jenis tanaman bunga terlihat kusam. Semua jendela dan pintu dalam keadaan tertutup ratap. Ardha Candra tidak bisa mengingat dengan jelas, apakah ketika terakhir kali rumah ini ia tinggalkan memang dalam keadaan jendela tertutup? Tidak sama sekali.
Tapi ia tidak lupa di mana menyimpan kunci cadangan.
Ardha Candra menelisik beberapa pot bunga yang ada di samping dinding depan di bawah jendela.
Yup!
Ia menemukan sebuah anak kunci di sana.
Di dalam rumah pun keadaannya tidak jauh berbeda. Laki-laki itu mengempaskan napasnya dengan panjang.
Permukaan meja, set sofa itu, lemari hias… rata-rata sudah berdebu. Lebih-lebih di permukaan lantai.
Jelas sekali tidak seorang pun yang pernah memasuki rumah tersebut selama Ardha Candra terbaring koma di rumah sakit.
Ia melemparkan saja jasnya ke atas set sofa di ruang tengah begitu saja, sembari melanjutkan langkahnya menuju dapur, ia menyalakan lampu lewat tombol kecil yang tertanam di dinding setiap ruangan.
Untung saja listrik masih tersedia dengan baik di rumah tersebut. Setidaknya, laki-laki tersebut bisa mengingat bahwa sehari sebelum kecelakaan ia sempat mengisi token listrik untuk rumahnya.
Ardha Candra sedikit bisa tersenyum ketika membuka kulkas. Ia menemukan beberapa jenis minuman dalam botol di salah satu rak kulkas tersebut. Beberapa buah-buahan yang setengah membeku. Dan sepotong besar kue tar.
Tapi, apakah kue tar itu masih layak untuk dikonsumsi?
Ia memutuskan untuk mencolek sedikit bagian dari kue tar itu, lalu mencicipinya. Ia mengendikkan bahu. Masih terasa enak, pikirnya.
TO BE CONTINUED ...
Please, show me your support _^