Chapter 28 - Perhatikan Matamu!

"Kasus ini benar-benar memusingkan kepalaku."

Martin Hasibuan tersenyum mendengar keluh kesah dari mulut Clara Dimitrova.

"Bukan hanya di negara kita saja, Clara. Di belahan Bumi lain keadaannya juga sama. Bahkan sekelas negeri Paman Sam saja, mereka masih belum bisa mengungkap siapa dalang di balik pembunuhan-pembunuhan sadis itu. Jadi, jangan terlalu kau pikirkan, atau ini semua hanya akan merusak pikiran dan tubuhmu."

"Pintar sekali," Clara mendengus, dan Martin pula terkekeh pelan. "Kurasa, kau lebih baik menjadi seorang psikiater saja daripada harus menjadi partner-ku."

"Jangan menyindirku seperti itu," Martin menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu tatapanya terhenti di dada wanita di sampingnya itu yang terlihat membusung tinggi. Ia menyeringai. "Lagian, kau pusing mungkin karena belum tidur sekejap pun."

"Yeah, right," ujar Clara. "Terima kasih atas perhatianmu, Martin. Dan siapa itu yang tadi datang menggangguku?"

"Ayolah!" Martin terkekeh lagi. "Bagaimana kalau kita mencari sebuah losmen? Kurasa kita akan sempat."

"Martin..." Clara melirik sang rekan.

"Kenapa? Aku hanya menawarkan bantuan—yaa, mungkin saja kau butuh pijatan di kepala, atau bahu dan punggungmu. Iya, kan?"

"Kenapa tidak sekalian saja kau sebut payudaraku, juga bokongku, hemm?"

Martin tertawa lebih lebar, mengangguk-angguk. "Kalau kau tidak keberatan."

"Cih!" Clara membuang pandangannya ke samping, lalu bertopang dagu. "Cepat atau lambat, kau akan dituntut cerai oleh istrimu itu. Pasti!"

Lagi-lagi Martin Hasibuan menanggapi ucapan sang rekan dengan tawa.

Selang sepuluh menit kemudian, mobil yang dikendarai oleh Martin Hasibuan memasuki pelataran parkir di halaman depan dari sebuah Markas Kepolisian. Keduanya segera turun dan langsung menuju ke bagian Divisi Investigasi.

Beberapa petugas kepolisian menyapa pada Martin Hasibuan dan Clara Dimitrova saat mereka berpapasan dengan keduanya di dalam markas tersebut.

Martin berhenti di depan sebuah pintu kaca yang berhiaskan logo dari divisi itu sendiri. Ia melirik ke belakang sebelum mengetuk pintu tersebut, tersenyum dengan gelengan kepala ringan sebab Clara terlihat setengah tidak bersemangat.

"Bersemangatlah rekan," ujar Martin pada Clara. "Angkat dagumu, busungkan dadamu."

"Terima kasih," Clara Dimitrova mendengus lemah. "Kau sangat membantu sekali."

Martin tertawa tanpa suara mendengar sindiran sang rekan sebelum akhirnya mengetuk pintu kaca tersebut.

Seorang pria yang sedang mengamati berkas-berkas di tangannya melirik ke arah pintu kaca yang diketuk oleh Martin.

"Masuk!"

Pria berusia empat puluh lima tahun itu duduk di balik meja satu-satunya yang ada di rungan tersebut. Di atas meja ada sebuah plank nama bertuliskan: Surya Admaja.

Martin dan Clara pun masuk ke dalam ruangan itu. Sementara Martin langsung menghampiri salah satu kursi yang ada di depan meja tersebut, Clara pula memilih duduk di salah satu set sofa yang ada di samping kanan ruangan.

"Pagi, Pak," sapa Martin, lalu duduk di atas kursi itu.

"Pagi Martin," balas Surya Admaja. "Bagaimana, apa yang kalian dapat dari dokter itu?" lalu tatapannya tertuju pada Clara yang duduk bersandar di sofa. "Kamu terlihat pucat, Clara. Sepertinya kamu membutuhkan vitamin."

"Benar sekali," sahut Martin sembari tersenyum lebar melirik Clara. "Bagaimana jika vitaminnya dimasukkan dengan semacam alat suntikan, hemm?"

"Bicara seperti itu lagi, jangan salahkan peluru senjataku bersarang di kepalamu, Martin."

"Kejam sekali," Martin terkekeh, lagi.

"Apa saya melewatkan sesuatu?" tanya Surya Admaja sambil melirik kedua anak buahnya bergantian.

"Sepertinya Anda harus mencuci otak anggota Anda yang satu itu, Pak Admaja," ujar Clara yang tentu saja ditujukan kepada Martin.

Lagi-lagi pria itu hanya menanggapi dengan tawa. "Aku hanya memberikan usul, tidak lebih."

"Kalian itu…" Surya Admaja tersenyum geleng-geleng kepala, lalu meletakkan berkas-berkas di tangannya ke atas meja. "Sudahlah. Jangan kekanak-kanakan."

"Kau dengar baik-baik itu, Martin." Clara tersenyum lebar seolah mendapat dukungan dari Surya Admaja yang merupakan komandan dari keduanya.

"Lalu?" tanya sang komandan, tatapannya tertuju pada Martin.

Martin mendesah pendek. "Dokter Arya mengatakan kalau mobil itu dicuri seseorang dari garasinya, antara pukul empat sampai pukul lima subuh. Dan dia sengaja tidak melaporkan hal ini pada pihak kepolisian. Dasar orang kaya!"

Martin terlihat cukup kesal di ujung ucapannya.

"Hanya itu?"

Martin mengendikkan bahu. Pandangan sang komandan kini tertuju pada Clara.

"Sulit untuk mengatakan jika pencurian mobil itu berhubungan dengan kasus yang kita tangani," ujar Clara.

"Hemm…" Surya Admaja menyandarkan punggungnya, satu tangan berada di atas meja, bergerak-gerak pelan menepuk permukaan meja. "Sayang sekali. Padahal, tadinya aku berpikir pasti ada kaitannya mengingat bahwa mobil itu ditemukan remuk di dalam saluran air, dan itu hanya satu jam saja jaraknya dari terakhir kali kalian berdua berada di rumah sakit itu."

"Ya," Clara mengangguk setuju.

Meski ragu, namun sesungguhnya Clara merasakan jika hal tersebut memanglah ada kaitannya. Hanya saja, ia belum dapat membuktikan keterkaitan tersebut.

"Saya juga merasakan demikian, Pak."

"Bagaimana dengan pasien…" sang komandan melirik lagi berkas-berkas di atas meja, "yang bernama Ardha Candra itu?" tanyanya kepada Clara. "Ada perkembangan?"

"Kabar terakhir dari rumah sakit," jawab Martin, "dia sudah meninggalkan kamarnya pagi ini."

"Kamu bisa menyelidikinya lebih lanjut, Clara?"

"Bisakah Martin saja yang menangani?" usul Clara pula.

"Aku bisa saja melakukan itu," ujar Martin, lalu berpaling pada sang komandan. "Tapi…"

"Aku telah meminta Martin untuk mengurus sesuatu, Clara," kata sang komandan. "Jadi?"

Clara mendesah panjang, tubuhnya terasa semakin lemah saja. Aku harus mendapatkan waktu istirahat, secepatnya, pikirnya.

"Sepertinya saya tidak punya pilihan. Baiklah," ujar Clara. "Tapi, bisakah saya melakukan ini nanti saja, Pak?"

Kening sang komandan mengernyit dengan sebelah alis terangkat memandang anak buahnya tersebut.

"Saya butuh tidur. Hemm, mungkin dua jam saja, cukup."

Martin tertawa pelan mendengar itu.

"Yeah," Clara mendengus kepada sang rekan. "Terima kasih sudah mengangguku."

"Sudahlah," ujar sang komandan, kemudian. "Lakukan saja apa yang menurutmu yang terbaik, Clara. Yang jelas, selambat-lambatnya, malam ini saya sudah menerima laporanmu."

"Baik, Pak."

"Sekarang, kalian keluarlah. Aku ingin menyelidiki berkas ini lebih lama lagi."

Martin dan Clara pun berdiri sebelum akhirnya berlalu dari ruangan tersebut.

"Apa kau mau kuantar sampai ke apartemenmu?" tanya Martin pada sang rekan di tengah langkah mereka menuju ke pelataran parkir.

Clara Dimitrova menyeringai kecil. "Tentu saja. Bukankah kau yang sudah membuatku dalam keadaan seperti sekarang ini, hemm?"

Martin Hasibuan terkekeh sembari mengangguk-angguk. "Baiklah, Nona Detektif."

"Sialan!"

Kenyataannya, Martin hanya mengantarkan Clara sampai di gerbang apartemen di mana Clara tinggal sebab keperluan mendesak lain yang harus dilakukan oleh pria tersebut. Jadi, ia tidak bisa mengantarkan Cara sampai di depan pintu kamarnya, walaupun hal ini sedikit menggelitik keinginannya.

"Baiklah, Clara. Istirahatlah yang cukup, kurasa laki-laki itu tidak bisa pergi jauh."

"Thanks."

Dan Clara pun langsung memutar tubuh. Martin masih belum menjalankan mobilnya, satu senyuman tersungging di sudut bibirnya kala mengawasi punggung wanita berambut pendek itu menjauh. Lebih tepatnya, ia mengagumi lenggok dari bokong Clara Dimitrova.

"Perhatikan matamu, Martin!"

"Sialan," gumam Martin setengah tak terdengar. "Bagaimana dia bisa tahu?"

Selanjutnya, dengan tertawa-tawa pelan Martin meninggalkan gerbang depan apartemen tersebut bersama mobilnya yang meluncur tanpa halangan di jalan beraspal tersebut.

***

TO BE CONTINUED ...