Chapter 33 - Chimaira

"Kau dengar itu Merryath?" ujar Pharas. "Aka Manah lebih suka membela pelacurnya itu."

"Sangat jelas!" dan kembali Merryath tertawa-tawa.

"Aku tidak akan terpancing oleh kata-katamu itu, Pharas," Eredyth tertawa halus mendengar itu.

"Ayolah," Arya melangkah mendekati Pharas. Saat ia melewati tubuh pria yang terikat itu, ia menyeringai. "Kalian sama pentingnya bagiku."

"Kau percaya ucapannya itu?" Pharas melirik lagi pada Merryath.

"Meragukan," sahut Merryath.

"Dokter Arya?" ujar Martin menantang tatapan Aka Manah. "Ternyata dugaanku benar. Kau bahkan bersekongkol dengan orang-orang ini. Bajingan!"

"Oops…" Merryath bangkit dari kursinya. "Ternyata ada yang mengenalimu, Akvan."

Aka Manah menyeringai, dua tangan berada di sisi pinggang saat menatap Martin Hasibuan.

"Akvan?" ulang Martin. "Siapa Akvan? Dia bukan Akvan. Dia Arya. Aku tahu dengan pasti!"

"Benarkah?" Merryath tertawa lebih keras.

"Detektif Martin," ujar Aka Manah. "Kau benar-benar suka mencari penyakit," satu tangannya terjulur, mencengkeram dagu Martin. "Kenapa wajahmu bengkak dan lebam begini? Apakah Pharas yang telah melakukannya? Aah…" Aka Manah melirik pada Merryath. "Kurasa Merryath lah yang melakukannya."

"Kau keberatan?" Merryath menyeringai dengan tatapan manja kepada Aka Manah.

"Siapa kau sebenarnya, Dokter Arya?" ujar Martin Hasibuan dengan kekesalan yang nyata terhadap sosok sang dokter tersebut. Martin merasa pria itu sengaja mempermainkan dirinya. "Beri tahu aku!"

"Kau akan mengemis demi nyawamu?"

"Cuih!" Martin meludahi wajah Aka Manah.

Buk!

Detektif polisi itu melenguh pendek sebab saat itu juga Merryath melayangkan tinju ke perutnya. Martin terbatuk-batuk, ia merasakan perutnya begitu kejang. Paling tidak, pukulan wanita itu barusan memperparah luka di dalam perutnya itu.

Wajah Martin semakin memerah, menggelembung menahan sakit yang teramat. Urat-urat darah di pelipisnya seolah bergerak-gerak halus.

Aka Manah hanya tersenyum tipis menanggapi apa yang telah diperbuat oleh Martin. Pharas mendekati pria itu, lalu menyerahkan sebuah sapu tangan.

"Terima kasih," ujar Aka Manah menerima sapu tangan itu dan kemudian membersihkan air ludah yang menempel di wajahnya.

"Lebih baik aku mati daripada harus mengemis nyawa pada kalian!" ujar Martin, dan ia harus mengerahkan tenaga ekstra untuk bisa berbicara seperti itu mengingat kondisi tubuhnya sendiri yang sudah di ambang batas pertahanannya.

"Yaa," Aka Manah mengangguk, lalu melemparkan sapu tangan bekas membersihkan wajahnya itu begitu saja ke sisi kiri. "Aku pun tidak berencana untuk memberi tahu padamu, Detektif Martin."

Aka Manah lalu melirik pada Merryath, juga Eredyth. Seolah paham, dua wanita itu segera keluar dari dalam ruangan besar tersebut.

"Kau lebih baik mati dalam keadaan penasaran saja!" sahut Eredyth pada Martin saat akan memutar langkahnya menuju pintu berdaun ganda itu.

Tentu saja Martin tidak mengenali sosok Eredyth kini sebab sebelumnya mereka bertemu di rumah Dokter Arya dan kala itu Eredyth menggunakan wujud dari istri sang dokter.

Aka Manah terkekeh sembari bertolak pinggang. "Kau pasti bingung, kan? Wanita itu," ia menunjuk punggung Eredyth, "adalah wanita yang sama yang kau temui pagi tadi di rumahku."

Martin Hasibuan menatap Aka Manah dengan saksama. Sulit baginya mempercayai ucapan pria itu barusan.

"Yang benar saja!" dengus Martin. "Kau ingin mempermainkan pikiranku, hah?"

"Well, mungkin," Aka Manah mengendikkan bahu. Lalu melirik pria yang satu lagi yang tadi datang bersamanya. "Tadi itu, dia menggunakan wujud dari istriku—yaa, maksudku istri dokter itu. Dan sekarang, dia menggunakan wujud anak perempuannya."

"Kau pikir aku akan mempercayai ucapanmu itu?" Ya, terdengar mengada-ada, pikir Martin Hasibuan. "Apa kalian juga akan berkata bahwa kalian berasal dari dunia lain, begitukah? Menyedihkan!"

Pria yang satu lagi itu mendekat. Sosoknya terlihat tinggi besar dengan kepala botak.

"Sebenarnya…" ujar Aka Manah pada Martin. "Itu terserah kepadamu saja."

Aka Manah mundur beberapa langkah, ia berdiri di samping Pharas. Satu tangannya memeluk pinggang ramping wanita tersebut.

Pharas mengerling pada laki-laki itu namun hanya ditanggapi dengan seringai kecil saja di sudut bibir Aka Manah.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Martin pada pria tinggi besar.

Pintu besar satu-satunya itu kembali terbuka bersama kemunculan Eredyth dan Merryath. Hanya saja, di tengah-tengah dua wanita itu berdiri ada satu sosok besar lainnya. Dan di saat Martin Hasibuan mencoba melirik ke arah pintu itu, pupil matanya membesar dengan cepat.

Bahkan, ada kengerian yang terlihat di bola mata sang detektif polisi.

Ya, makhluk yang berada di antara Eredyth dan Merryath itulah yang membuat Martin merasakan tengkuknya menjadi dingin dengan tiba-tiba.

Makhluk besar itu memang memiliki tubuh seperti seekor singa jantan namun dengan ukuran yang lebih besar dari seekor singa dewasa pada umumnya.

Yang membuat penampilan makhluk itu begitu menyeramkan di mata Martin adalah kenyataan bahwa makhluk itu memiliki dua kepala. Satu kepala memang mirip seperti kepala seekor singa, sedangkan kepala lainnya justru sangat mirip dengan kepala seekor kambing yang lengkap dengan dua tanduk di kepalanya itu.

Tidak itu saja. Bahkan, sang detektif polisi bisa melihat jelas bahwa makhluk tersebut memiliki ekor yang ternyata berupa seekor ular besar bermata merah. Seolah-olah makhluk itu terdiri dari tiga hewan berbeda yang dijadikan satu.

"Siapa kalian sebenarnya?!" Martin berteriak histeris. Ketakutan yang sebelumnya masih bisa ia tahan-tahan kini seolah tak terkendali lagi. "Makhluk apa yang kalian bawa itu, hah? Apa tujuan kalian?!"

Duak!

Lagi-lagi Martin dibuat melenguh pendek, kali ini oleh pria tinggi besar. Bahkan, Martin sampai menyemburkan darah segar dari mulutnya. Dan sebagian mengenai wajah dan tubuh pria tinggi besar.

Martin merasakan pandangannya tak lagi bisa diandalkan, berkunang-kunang. Tulang dadanya patah akibat pukulan pria besar itu barusan.

"Kau sebaiknya diam saja," ujar pria besar sembari mencengkeram dagu si detektif polisi, "makhluk rendahan!"

Eredyth dan Merryath membawa makhluk serupa singa itu ke sisi kanan dari posisi tergantungnya Martin Hasibuan, berhenti dua langkah saja di samping pria itu.

"Duduk!" titah Merryath pada makhluk serupa singa tersebut.

Makhluk itu pun mengikuti perintah Merryath. Satu kepala mengaum lemah, satu kepala lagi mengembek pelan. Dan ekor yang mirip ular besar itu menggeliat-geliat dengan kepala tegak dan berdesis-desis.

"Akvan," ujar pria besar berkepala botak itu kepada Aka Manah. Ia tidak menghiraukan wajah dan bagian depan pakaiannya yang basah oleh darah. "Kau yakin aku harus menggunakan wujud laki-laki ini?"

"Kenapa, Bardhom? Kau tidak percaya pada penilaianku?"

"Kenapa kita tidak menyerang langsung? Membantai makhluk-makhluk rendahan ini?"

"Kau tahu kita harus mempersiapkan segalanya demi menyambut pasukan yang lebih banyak lagi, bukan?"

"Kurasa aku seorang saja susah lebih daripada cukup untuk melenyapkan manusia."

Aka Manah tertawa-tawa menggelengkan kepala, sementara tangannya yang melingkar di pinggang ramping Pharas berpindah ke bokong wanita tersebut.

Pharas menyadari kejahilan tangan Aka Manah, namun ia membiarkannya saja.

TO BE CONTINUED ...