Chapter 38 - Melupakan Segalanya

"Atau kau bisa meminta informasi tentang laki-laki itu pada Bardhom."

Eredyth menghentikan langkahnya, memutar tubuh dan mendelik kepada Aka Manah yang menyeringai halus.

"Apa maksudmu itu?"

"Well," Aka Manah terkekeh sembari mengusap-usap pahanya sendiri, "Bardhom sekarang menggunakan wujud detektif polisi itu. Seperti yang sebelumnya kita sepakati, bahwa mungkin saja akan ada informasi lebih banyak di dalam kepala detektif tersebut. Apa aku salah?"

Eredyth mendengus kencang lalu bertolak pinggang seolah ingin menantang Aka Manah.

"Salah!" ujar wanita tersebut.

"Salah?"

"Kenapa tidak sedari tadi menyarankan hal ini kepadaku? Maksudku, ketika kita masih berada di gudang itu, hemm?"

"Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menguasai pikiran dari tubuh yang kau gunakan itu?" Aka Manah balik bertanya kepada Eredyth.

"Kau…!" Eredyth menunjuk-nunjuk Aka Manah.

Meskipun ia merasa dipermainkan oleh Aka Manah, namun Eredyth tidak menampik apa yang diucapkan laki-laki tersebut.

Ya, mereka setidaknya butuh waktu satu jam untuk bisa mendapatkan semua memori dari otak manusia yang mereka makan. Tapi itu mungkin berbeda bagi Iblis sekelas Aka Manah sendiri.

"Menyebalkan!" dengus Eredyth sembari membanting tangannya seolah memukul udara kosong. "Ikuti aku!" titah wanita itu pada dua pria muda sembari memutar langkah. "Aku bawa keduanya. Jangan kau protes!"

Aka Manah tertawa-tawa. "Lakukan saja sesukamu, Eredyth. Dan kembalilah sebelum siang berganti malam."

"Brengsek!"

Aka Manah dan Pharas sama menyeringai mendengar makian dari mulut Eredyth. Dan sebentar saja Eredyth dan dua pria muda telah menghilang dari pandangan Aka Manah dan Pharas.

"Dan sekarang, hanya tinggal kita berdua saja, Pharas."

Aka Manah semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh wanita yang berpakaian ala wanita kantoran itu.

"So?"

Pharas terpekik kecil dan menahan tawa ketika Aka Manah dengan tiba-tiba saja membenamkan wajah di dadanya yang menggelembung padat.

***

Teman yang hendak ditemui oleh Ardha Candra adalah seorang wanita yang sedang hamil. Saat melihat Ardha Candra duduk di salah satu bangku yang ada di trotoar di depan halaman rumahnya, wanita hamil itu tersenyum lebar.

"Hei, Ardha. Sudah lama menunggu?"

"Enggak," pria itu berdiri. "Baru lima menitan saja."

"Mari, silakan masuk."

Ardha Candra mengikuti langkah si wanita hamil. Sementara itu, Clara Dimitrova memarkir mobilnya cukup jauh dari posisi rumah yang dimasuki oleh kedua orang tersebut, ia mengintai dengan teropong di tangannya.

Begitu dua orang itu menghilang ke dalam rumah, Clara membawa mobilnya lebih mendekat ke rumah tersebut.

"Silakan duduk," wanita hamil itu menunjuk kursi yang ada di ruang tamu.

"Terima kasih."

Wanita tersebut lantas langsung menuju ke dapur. Tidak sampai dua menit ia kembali dengan membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat segelas air minum. Ia menghidangkan minuman itu kepada Ardha Candra.

"Silakan diminum."

Ardha Candra tersenyum dan mengangguk. Wanita itu duduk berhadapan dengan tamunya itu.

"Aku senang melihat kamu lagi, Ardha."

"Terima kasih."

"Kau tahu, semua hal berubah semenjak kamu mengalami kecelakaan itu dan mengalami koma."

"Ya, kupikir juga begitu." Tapi yang dipikirkan Ardha Candra justru makhluk jejadian setengah biawak yang pernah menyerang dirinya di sebuah kamar di rumah sakit.

"Dan aku minta maaf…" wanita itu menekur.

"Untuk apa?"

"Karena aku hanya sekali saja menjengukmu di rumah sakit itu."

Ardha Candra tersenyum. "Tidak jadi soal. Toh, tidak ada yang bisa kau lakukan dengan kondisiku yang sedang koma, bukan?"

"Ya, kamu benar."

"Aku lihat kau sedang hamil, sudah berapa bulan?"

"Aah…" wanita itu tersenyum seraya mengelus perutnya yang terlihat membesar. "Iya, sudah memasuki bulan keenam. Kau tahu, aku akhirnya menerima lamaran laki-laki itu."

"Aah, begitu… Selamat, ya. Aku harap kamu akan melahirkan bayi yang sehat."

"Aamiin, terima kasih."

"Terus terang, kedatanganku ingin meminta bantuan darimu."

"Bantuan?" ulang wanita itu. "Bantuan seperti apa?"

"Pekerjaan."

"Pekerjaan?"

Ardha Candra mengangguk. "Setelah semua yang terjadi padaku kini, aku sudah tidak lagi memiliki hasrat untuk kembali ke perusahaan yang lama. Aku ingin memulai dengan mencari pekerjaan baru, awal yang baru dan melupakan semua yang pernah aku miliki."

"Maaf jika aku bertanya soal ini," ujar si wanita hamil. "Bukankah kau salah satu direksi dari perusahaan itu, Ardha? Aku yakin, kau pasti masih memiliki pengaruh di sana."

"Kurasa tidak, Yen."

"Kenapa?" tanya wanita hamil bernama Yeni itu. "Apa aku melewatkan sesuatu di sini?"

Ardha Candra tersenyum tipis, namun di mata Yeni itu terlihat sangat-sangat pahit.

"Jangan bilang ini semua berawal dari kekasihmu itu?"

Pria itu mendengus pelan, tapi itu sudah cukup bagi Yeni untuk mengetahui jawabannya.

"Pantas saja!" ujar Yeni seolah-olah ia sedang menahan kekesalannya sendiri pada satu hal.

"Kenapa?" tanya pria itu.

"Beberapa minggu setelah kamu berada dalam kondisi koma, aku sempat melihat wanita itu sedang berduaan dengan seorang pria di sebuah kafe ternama. Pada awalnya, kupikir mungkin dia sedang bersama koleganya, tapi ada yang aneh… mereka terlihat begitu mesra layaknya sepasang kekasih."

"Ya, seperti itulah yang terjadi sesungguhnya…"

Tentu saja yang dimaksud oleh Ardha Candra adalah alasan di balik mengapa ia sengaja menghabiskan waktunya bermabuk-mabukkan pada malam itu sebelum terjadi kecelakaan nahas tersebut.

"Ternyata perkiraanku benar."

"Apakah kau sempat—ya…" Ardha Candra mengendikkan bahu. "Menyelidiki mereka?"

Yeni tersenyum hambar dan menggeleng kecil. "Kau kan tahu bahwa aku tidak suka ikut campur urusan orang lain."

"Ya, seperti yang diharapkan."

"Jadi?"

"Wanita itu—atau kau boleh menyebutnya sebagai mantan kekasihku, dia berselingkuh dengan laki-laki yang tidak lain adalah salah seorang dari direksi di perusahaan di mana aku bekerja sebelumnya."

"Aah…"

Jelas sudah bagi Yeni kenapa semua itu terjadi pada Ardha Candra. Termasuk, soal Ardha Candra yang mabuk berat di malam yang nahas itu. Ini diketahui Yeni dari keterangan para polisi bahwa kecelakaan itu terjadi karena kondisi Ardha Candra yang sebenarnya tidak memungkinkan ia untuk mengemudi.

"Benar-benar perempuan yang tidak punya harga diri."

"Sudahlah," ujar Ardha Candra. "Tidak ada gunanya juga kita membahas wanita itu. Biarkan saja dia dengan kesenangannya. Aku tidak ingin lagi mengingat dia."

"Ya, kurasa kau benar."

"Lalu, bagaimana dengan permintaanku?"

Yeni menghela napas dalam-dalam. "Sepertinya kau benar-benar sedang membutuhkan pertolongan, ya?"

Ardha Candra mengendikkan lagi bahunya. "Seperti yang kau lihat…" ia mengeluarkan ponsel tuanya dan memperlihatkan hal itu kepada Yeni. "Bahkan aku terpaksa menggunakan handphone tua ini, Yeni."

Yeni tersenyum antara merasa kasihan dan menahan tawa secara bersamaan demi melihat ponsel yang bisa dikategorikan barang antik di tangan Ardha Candra tersebut.

"Kau terlihat sangat bangkrut, kawan."

"Ya, begitulah."

"Tapi, maafkan aku…" sekali lagi Yeni menghela napas dalam-dalam seraya mengelus-elus perutnya. "Semenjak menikah dan hamil, aku tidak lagi bekerja di tempat yang sama, Ardha."

"Begitu, ya?"

"Maafkan aku."

*

TO BE CONTINUED ...