Chapter 36 - Pengintaian

Sudah beberapa jam lamanya Clara Dimitrova berada di dalam mobil jenis minibus berwarna hitam itu. Namun, ia tidak menemukan hal mencurigakan dari rumah yang sedang ia intai tersebut. Rumah Ardha Candra.

Rumah itu terlihat sepi walaupun Clara tahu pasti penghuninya sedang berada di dalam. Hanya saja, tidak ada aktifitas dari Ardha Candra yang bisa dikategorikan sebagai suatu tindakan yang mencurigakan.

Clara hanya sempat melihat pria itu sekali saja keluar dari dalam rumahnya dengan membawa dua kantong sampah, dan menempatkan sampah itu ke dalam tong sampah yang ada di trotoar depan rumah. Setelah itu, tidak ada lagi aktifitas sang penghuni di luar rumah.

Tentu saja dua kantong sampah yang terihat ringan itu tidak bisa dicurigai. Paling tidak, Clara tahu bahwa hampir setengah tahun rumah itu tidak dihuni disebabkan Ardha Candra yang harus dirawat di rumah sakit karena koma akibat kecelakaan yang ia alami. Sudah barang tentu banyak sampah yang harus dikeluarkan dari dalam rumah tersebut.

Hal ini sedikit membuat si detektif wanita menjadi sedikit bosan. Terlebih lagi, beberapa pesan singkat yang ia kirimkan pada Martin Hasibuan lewat ponselnya belum dibalas sama sekali.

Sang detektif wanita menimang-nimang ponsel di tangannya, tatapannya tertuju pada nomor kontak di layar ponsel. Sesaat ia berpikir untuk menghubungi saja rekannya tersebut sebab tidak biasanya Martin tidak membalas pesannya. Hanya saja, disebabkan Martin sedang dalam penyelidikannya sendiri tentu saja Clara tidak ingin mengganggu lebih jauh penyelidikan sang rekan dengan menelepon langsung.

Pada akhirnya, Clara meletakkan lagi ponselnya itu di kursi samping kiri dan meraih teropong berukuran kecil di atas kursi yang sama.

Sama. Kondisi rumah yang berjarak sekitar lima puluh meter dari keberadaan mobilnya itu masih terlihat lengang.

Sementara itu, di dalam rumah yang sedang diintai oleh sang detektif wanita, Ardha Candra sedang duduk bersandar di atas sofa ruang tengah dengan hanya mengenakan celana pendek dan secangkir kopi di tangan kirinya.

Tatapan pria itu memang tertuju ke arah televisi yang menyiarkan berita tentang cuaca yang akhir-akhir ini tidak bisa diprediksi dengan baik. Hanya saja, pikiran pria itu tidak tertuju pada isi berita tersebut.

Ada banyak hal yang terpikirkan dan yang harus dilakukan Ardha Candra demi menyokong kehidupannya yang bisa dibilang kehidupan yang baru. Mencari pekerjaan baru, misalnya.

Untuk kembali ke perusahaan yang dulu tempat di mana ia bekerja sebagai salah satu direksinya, Ardha Candra sudah kehilangan hasrat.

Mungkin bertanya pada salah seorang kenalan adalah langkah awal untuk memulai semua ini, pikirnya. Lagipula, ia pernah sekali dua ke rumah temannya tersebut, dan berharap saja sang teman mau membantunya nanti, meskipun ia dan sang teman tidak terlalu akrab selama ini.

Ardha Candra melirik jam dinding di atas televisi. Pukul dua siang. Lebih baik bersiap-siap dari sekarang, pikirnya, sebab orang yang akan ia tuju nanti tinggal di kawasan Jakarta Selatan sedangkan Ardha Candra sendiri tinggal di Jakarta Utara.

Segera ia bangkit, mematikan televisi, lalu menuju dapur dan ke kamar mandi. Setelah mencuci muka sekadar mendapatkan kesegaran, Ardha Candra pun berganti pakaian.

Di dalam kamarnya, Ardha Candra berdiri bertolak pinggang memandang ponselnya yang telah rusak di atas pembaringan. Lalu ia teringat bahwa ia punya sebuah ponsel lainnya yang telah lama tidak ia pakai.

Bergegas pria itu menyambar ponsel di atas pembaringan dan langsung menuju meja rendah di bawah televisi. Ia membuka beberapa laci, dan akhirnya menemukan ponsel yang ia cari.

Ponsel itu boleh dibilang sudah ketinggalan zaman dna masih menggunakan keypad. Itu juga sebabnya ponsel tersebut tidak pernah lagi dipakai oleh Ardha Candra.

Semoga saja masih berfungsi dengan baik, harap pria itu di dalam hati.

Ardha Candra lantas mengeluarkan SIM-card dari dalam ponsel yang rusak. Ia memeriksa SIM-card itu, memang agak sedikit karatan di bagian lempengan tembaga yang menutupi mikro-cip pada SIM-card tersebut.

Ia menggosok-gosok pelan bagian yang berkarat dengan lembaran tisu di atas meja. Dan kemudian memasukkan SIM-card ke dalam ponsel tua.

Ardha Candra tersenyum di kala ponsel tua itu menyala. Beruntung, masih ada dua bar baterai yang tersisa dari ponsel itu.

Hal pertama yang dilakukan oleh Ardha Candra adalah menghubungi call-center untuk memastikan ponsel tua tersebut masih berfungsi dengan baik.

Detik selanjutnya senyum pria itu semakin lebar.

Yup! Masih berfungsi dengan baik, gumamnya dengan senang di dalam hati.

*

Clara Dimitrova langsung memperbaiki posisi duduknya dengan cepat ketika ia melihat Ardha Candra keluar dari pintu depan rumah.

Sepertinya pria itu akan pergi ke satu tempat, pikir sang detektif wanita.

Posisi rumah pria itu tidak terlalu jauh dari jalan utama, dengan hanya berjalan kaki saja ia sudah mencapai persimpangan dalam waktu kurang dari tiga menit. Tanpa diketahui oleh pria itu sama sekali, Clara Dimitrova menguntit langkahnya dari kejauhan.

Ardha Candra langsung menuju sebuah halte yang ada di sisi kanan dari persimpangan itu untuk menunggu taksi. Bagaimanapun, untuk menuju ke kawasan Jakarta Selatan ia masih memiliki uang lebih untuk itu.

Tidak butuh waktu lama, sebuah taksi berwarna biru muda menghampiri halte tersebut. Ternyata ada seorang penumpang dan penumpang itu turun di halte di mana Ardha Candra menunggu.

Ardha Candra segera menghampiri begitu penumpang tersebut keluar dan membayar ongkos taksinya.

"Anda bisa mengantarkan saya ke Jakarta Selatan?"

Si pengemudi taksi mengangguk. "Silakan," ujarnya mempersilakan Ardha Candra untuk masuk.

Setelah itu, taksi pun bergerak meninggalkan halte tersebut dan Clara Dimitrova tetap membuntuti kendaraan tambang itu dari jarak yang cukup.

***

"Hemm… rumah yang bagus," ujar Pharas sembari melangkah santai dari satu ruangan ke ruangan lainnya demi menelisik seisi rumah milik Dokter Arya itu. Dua tangan dilipat ke dada. "Besar dan tenang."

"Kalau kau punya gelar dan pekerjaan seperti pemilik rumah ini, kau juga akan memiliki kekayaan yang sama."

"Begitu?" Pharas melirik pada Aka Manah.

Aka Manah lalu membawa Pharas dan Eredyth naik ke lantai atas. Sesampainya di ruang tengah yang luas mereka disambut oleh dua pria muda.

"Tuan," kedua pria muda itu sama membungkukkan tubuh mereka kepada Aka Manah.

"Apakah ada yang datang menyelidiki rumah ini sepeninggal kami pergi?" tanya Eredyth pada kedua pria muda itu.

"Tidak," ujar seorang yang di kanan. "Tidak seorang pun."

"Itu bagus," sahut Aka Manah. "Berarti mereka tidak lagi mencurigai pemilik rumah ini."

Tentu saja yang dimaksud oleh Aka Manah tersebut adalah sang dokter yang wujudnya kini digunakan oleh Aka Manah sendiri.

Pharas terus melangkah menuju satu set sofa mewah di tengah-tengah ruangan yang luas, lalu mengempaskan bokongnya begitu saja ke atas sofa lembut yang berwarna coklat keemasan.

TO BE CONTINUED ...