Chapter 29 - Rumah di Tepi Laut

Martin menghentikan laju mobilnya di satu ruas jalan yang sepi, di kawasan Jakarta Utara sisi paling barat. Jalan itu berada di atas tebing setinggi lima tujuh meter, menghadap ke arah laut. Dengan sebuah teropong, detektif polisi tersebut mengawasi sebuah rumah yang ada di bawah sana.

Rumah itu sendiri terlihat biasa-biasa saja. Sebuah rumah semi-permanen yang dilingkari pagar kawat dan beratapkan seng. Sebuah tiang berdiri tegak di sisi kiri bagian depan rumah tersebut, tiang dengan bagian paling atasnya mirip antena televisi zaman dahulu itu sepertinya sebuah alat penangkap sinyal.

Rumah itu terlihat sepi dari aktifitas penghuninya.

Apa yang menjadi pusat perhatian Martin Hasibuan adalah tumpukan tiga buah kontainer yang tersusun beberapa langkah saja di depan rumah tersebut—dua kontainer bersisian di bawah, satu kontainer lainnya berada di atas, tepat ditengah-tengah dua kontainer yang di bawah.

Martin mencoba mengawasi keadaan di sekitar.

Sama, beberapa bangunan lain yang ada di dekat rumah tersebut pun terlihat lengang, hanya deburan ombak memecah di tepian pantai saja yang terdengar berkesinambungan, dan sesekali pekik camar hadir mengubah nada yang monoton.

Teropong ia taruh ke kursi di samping kiri, ganti kini ia meraih sebuah map berwarna coklat muda.

Satu per satu, lima lembar foto berukuran 8R—satuan ukuran kertas setara 20,3 cm x 25,4 cm—yang ada di dalam map tersebut diteliti lagi oleh Martin, sesekali pandangannya beralih dari foto-foto di tangannya itu ke rumah dan kontainer yang ada di bawah sana.

Pada salah satu lembaran foto memperlihatkan satu sosok yang berkemungkinan adalah seorang wanita yang sedang menggiring seekor hewan besar. Gambar itu diambil mungkin ketika sosok mirip perempuan itu akan membawa hewan besar masuk ke dalam rumah semi-permanen. Hal ini didukung dengan arah kepala hewan besar itu sendiri, jejak kaki di pasir, juga kondisi pintu rumah yang terbuka lebar. Salah satu pintu kontainer pun dalam keadaan terbuka. Bila dilihat dari posisinya, itu adalah kontainer yang ada di bawah sisi kanan.

Martin menyipitkan pandangannya, dan berharap ia bisa melihat lebih jelas lagi foto itu. Tapi percuma saja lantaran foto tersebut diambil dari jarak yang cukup jauh. Martin memperkirakan, mungkin hewan besar yang digiring sosok di dalam foto adalah seekor singa.

Tapi, ada yang aneh dengan singa tersebut. Hanya saja, Martin tidak bisa melihat keanehan itu lebih jauh lagi karena foto itu sendiri terlihat blur, lagipula dari latar belakang gambar di dalam foto jelas itu diambil pada malam hari.

Brengsek!

Seolah-olah orang yang mengambil foto ini ogah-ogahan dalam melakukan tugasnya.

Martin meraih lagi teropong di kursi sisi kiri, mengeker ketiga kontainer di dekat rumah itu. Pasti di dalam ketiga kontainer di sana hewan besar itu disembunyikan, pikirnya. Bukan hal yang mustahil jika di dua kontainer lainnya akan ada hewan besar serupa.

Lima menit kemudian, Martin kembali membawa mobilnya menyusuri jalan beraspal sembari memikirkan langkah selanjutnya yang harus ia lakukan. Menyelidiki rumah semi-permanen dan tiga kontainer itu sekarang juga, atau lebih baik menunggu langit sedikit gelap, dengan demikian mungkin akan lebih mudah baginya untuk menyusup?

Malam sebelumnya, seorang anggota penyidik telah melakukan pengintaian terhadap rumah semi-permanen yang tadi. Setelah mengambil beberapa bukti berupa foto—yang kini ada di atas bangku di samping kiri Martin Hasibuan—anggota penyidik itu pun akhirnya menyampaikan hal ini kepada Surya Admaja, dan seterusnya sang komandan meminta Martin untuk menyelidiki hal tersebut.

Sialan! Martin mendengus kencang sembari mengarahkan mobilnya berbelok ke kiri. Tugasku sudah berganti, dari seorang detektif yang menangani pembunuhan kini aku menjadi seorang penyelidik hewan ilegal, umpatnya dalam hati.

Brengsek!

Martin memutuskan untuk melakukan penyelidikan ke rumah semi-permanen itu sekarang juga. Jadi, ia memacu mobilnya lebih cepat lagi. Pada satu persimpangan, Martin berbelok ke kanan, seterusnya meninggalkan jalan beraspal dan memasuki jalan beton yang terhampar di sepanjang pantai tersebut.

Mobil jenis SUV berwarna abu-abu yang dikendarai oleh Martin itu berhenti sedikit mepet ke dinding tebing. Sepasang matanya liar memerhatikan setiap pergerakan yang ada di sekitar kawasan tersebut.

Tidak banyak yang bisa diamati oleh Martin Hasibuan, selain empat lima orang nelayan yang sepertinya baru saja merapat dan sedang menyeret keranjang rotan berisi ikan-ikan hasil mereka melaut di satu dermaga kecil di sisi kiri dari posisi Martin berdiri.

Sang detektif meneruskan langkah. Lima belas meter ke depan, barulah Martin mencapai pintu pagar kawat dari rumah yang ia selidiki di atas sana tadi.

Ada seorang gelandangan tua yang meringkuk di sudut kanan pagar tersebut. Bersandar ke dinding tebing. Martin mendekati pria tua berpakaian lusuh dan kumuh itu. Bahkan, Martin dapat mencium bau tak sedap yang menguar dari tubuh si gelandangan.

"Oi, Pak Tua!" Martin menyentuh kaki si gelandangan dengan ujung sepatunya. "Bangunlah!"

Gelandangan tua menggeliat, mengucek mata. Namun, begitu tatapannya tertuju pada lencana Kepolisian yang ada di pinggang kanan orang yang membangunkan tidurnya itu, sontak si pria tua merangkak dengan sangat cepat. Ia lari tunggang langgang meninggalkan Martin yang mengernyitkan dahi kebingungan.

"Jangan tangkap saya, Pak…!" suara parau pria tua terdengar seiring langkah kakinya yang berserabutan.

"Gelandangan sinting!" dengus Martin sembari bertolak pinggang memandang sang gelandangan menjauh.

Tadinya, Martin membangunkan gelandangan itu bermaksud untuk bertanya satu dua hal tentang rumah semi-permanen di balik pagar kawat. Mungkin saja gelandangan tua itu sudah sering tidur di sudut kanan pagar, di bawah tebing itu. Jadi, dia mungkin mengetahui siapa-siapa saja yang ada di dalam rumah tersebut.

Sayangnya, pria tua itu mungkin berpikir Martin Hasibuan adalah polisi yang sedang merazia gelandangan seperti pria tua itu sendiri. Jadilah Martin hanya bisa mendesah pendek sembari geleng-geleng kepala.

Perhatian Martin kembali tertuju pada rumah di balik pagar, lalu pada pintu pagar. Ternyata pintu pagar itu dalam keadaan dirantai dan digembok.

Brengsek! Andaikan saja aku membawa alat pemotong…

Martin memeriksa ke sudut kanan di mana tadi gelandangan tua itu tidur, lalu ke sudut kiri. Sama saja. Tidak ada jalan masuk. Satu-satunya cara, adalah dengan memanjat pagar tersebut.

Hanya setinggi kepala, pikir Martin sembari mengawasi keadaan. Kurasa, aku bisa memanjat pagar ini.

Setelah memastikan tidak akan ada yang melihat apa yang akan ia lakukan, Martin Hasibuan pun mulai memanjat. Mudah saja bagi si detektif polisi melakukan itu semua. Tidak sampai hitungan satu menit, ia sudah berada di balik pagar.

Sekali lagi Martin memandang ke belakang, mengawasi keadaan. Lalu, ia mencabut senjata api di balik punggungnya, menyiagakan senjata itu seiring langkahnya menyusuri sisi samping kanan rumah semi-permanen tersebut.

Setidaknya ada dua jendela di sisi samping kanan itu. Martin mendekat dengan hati-hati ke jendela terdekat. Jendela dari kayu itu dalam keadaan tertutup. Meski begitu, Martin masih bisa mengintip ke bagian dalam rumah lewat kisi-kisi jendela walau celah yang ada tidak memungkinkan untuk dia mengawasi lebih leluasa.

Ada dua figur wanita yang dapat dilihat oleh Martin, bahkan ia mendengar suara percakapan kedua wanita di salam, tapi tidak begitu terdengar jelas.

TO BE CONTINUED ...