Chapter 31 - Threesome?

Martin mengernyitkan kening. Kambing? Untuk apa? Kalau memang hewan-hewan buas itu kelaparan, tentu kambing-kambing itu bisa mereka jadikan santapan.

Atau aku yang sebenarnya tidak memahami keadaan?

Brengsek! Aku benci pekerjaan ini!

"Kau dengar itu?" ujar wanita di atas meja. "Para chimaira itu pasti merasa terganggu."

"Sudah kubilang, tidak ada seorang pun di luar. Kalau kau tidak percaya, kenapa tidak kau saja yang memeriksa sendiri, hemm?"

"Hello ladies," Martin memutuskan untuk masuk ke dalam bangunan itu. "Apa aku mengganggu kalian?" tanyanya tanpa menodongkan pistol.

Wanita yang sedang membelakangi pintu sedikit kaget, namun kagetnya segera menghilang begitu ia melihat seorang pria berdiri beberapa langkah di belakangnya. Wanita itu terlihat cuek saja atas kehadiran pria berpistol tersebut.

"Kau lihat, kan?" Wanita berpakaian ala kantoran menunjuk ke arah Martin. "Instingku tidak pernah salah."

"Terserah!" dengus wanita yang hanya memakai bra berwarna oranye itu sembari melangkah santai ke sisi kanan ruangan.

Martin merasa sedikit kesal sebab kehadirannya seperti tidak ditanggapi serius oleh dua wanita tersebut.

"Wow, ladies, kalian dingin sekali."

"Kau mau disambut bak seorang raja?" tanya wanita di sisi kanan. Ia sedang bersandar dengan satu kaki ke dinding, dua tangan berlipat di dada. "Kau tidak pantas!"

"Benarkah?" Martin terkekeh, dan maju dua langkah.

"Apa tujuanmu datang ke tempat ini?" tanya wanita yang duduk di atas meja.

"Kurasa dia seorang polisi." Tatapan wanita di samping kanan tertuju pada lencana Kepolisian di pinggang pria tersebut.

"Ya, aku bisa lihat itu," wanita berpakaian ala kantoran itu turun dari atas meja. Menatap Martin dari atas kepala hingga ke ujung kaki. "Kau bermaksud menyelidiki kami? Tempat ini?"

"Tentu saja, memang itu tujuanku." Martin kembali mengedarkan pandangannya. Menelisik setiap sudut ruangan. "Bisa kalian beri tahu padaku, apa yang kalian lakukan di sini?"

"Bukan urusanmu!"

"Begitu, ya?" Martin terkekeh lagi. "Baiklah. Sayangnya, aku sempat memeriksa tiga kontainer di luar sana. Mau kalian distribusikan ke mana hewan-hewan langka itu, hemm?"

"Jadi, kau sudah tahu isi kontainer-kontainer itu, ya?" wanita di sisi kanan menyeringai.

"Tahu sepenuhya? Mungkin tidak," ujar Martin. "Paling tidak, aku cukup tahu apa yang dilakukan orang-orang seperti kalian berdua. Untuk itulah aku menyelidiki hal ini. Dan ya," Martin memandang tajam pada wanita di dekat meja. "Ini urusanku."

"Cih!" wanita berapakaian ala kantoran membuang pandangan ke kanan. "Kau kurang kerjaan, ya?"

"Terserah kalian mau bilang apa," tukas Martin pula. Satu tangannya berada di pinggang. "Yang jelas, kami sudah menyelidiki tempat ini semenjak beberapa hari yang lalu. Jadi, kalian mau menjelaskannya di sini, sekarang. Atau, aku harus menyeret kalian berdua ke kantor polisi?"

"Untuk takaran seorang manusia, kau benar-benar terlihat sombong."

"Begitu, ya?"

Martin terkekeh lagi, mengangguk-angguk sembari mengusap dagu. Lekuk tubuh wanita berbaju kantoran itu cukup memanjakan matanya, begitupula dengan wanita yang hanya mengenakan bra oranye di sisi kanan itu.

"Lalu kalian ini apa?" Martin melanjutkan ucapannya. "Bidadari, begitukah?"

"Hu-uh, lucu sekali," wanita di kanan tertawa cekikkan. "Kau pikir makhluk surgawi yang satu itu mau turun ke Bumi dan lalu berbicara padamu yang hanya seorang manusia, begitu?"

"Kau sangat cantik," Martin menatap wajah wanita di sisi kanan, "tapi sayang, tidak saja sikapmu dingin, lidahmu juga begitu pedas."

"Kau keberatan?" balas wanita itu menantang tatapan si detektif polisi.

"Dua lawan satu? Hemm… kita bisa melakukannya di satu kamar yang bagus, nanti," Martin terkekeh dan mengusap-usap dagunya selagi memandang kedua wanita itu bergantian. "Threesome? Sepertinya menggoda. Ini pengalaman baru buatku."

Wanita di sisi kanan tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan pria berpistol tersebut. Sementara rekannya hanya menyeringai halus dengan bola matanya yang indah begitu tajam menatap Martin.

"Bagaimana denganmu?" tanya wanita di kanan pada wanita di depan meja. "Bukankah kalian para Alkonost cukup menyukai pria yang berani?"

"Bukannya justru tipe-tipe seperti dia ini adalah kesukaan kalian?" balas wanita di depan meja. "Seorang pelaut yang pemberani."

"Hei, hei… kalian mengabaikanku!" ujar Martin. "Aku bukan seorang pelaut, aku seorang detektif polisi. Bagaimana jika kalian menyerah saja dengan baik-baik? Mungkin keinginan kalian untuk—yaa… bersenang-senang bersamaku akan aku kabulkan. Kalian bersedia?"

"Kau percaya diri sekali, Bung!" ujar wanita di kanan, dan lagi-lagi ia tertawa terpingkal-pingkal.

"Apa yang bisa aku katakan?" Martin tersenyum lebar sembari mengembangkan dua tangan setinggi dada.

"Kalau aku jadi kau," ujar wanita yang berdiri sekitar tujuh langkah di depan Martin. "Aku akan pergi sekarang juga dari sini, dan tidak akan pernah kembali lagi."

"Wah, wah, wah… apakah aku harus menganggap ucapanmu itu sebuah ancaman?" Martin menyeringai lebih lebar sembari mengangkat senjata api di tangannya. "Kalian seharusnya sadar akan posisi kalian sekarang ini."

"Kau mau mencoba?" lagi-lagi wanita di kanan terkikik seolah ia tidak gentar sama sekali dengan apa yang dimiliki pria tersebut.

"Boleh saja," balas Martin.

"Kau pikir benda di tangan kananmu itu bisa menghentikan kami?" ujar wanita di depan meja.

"Seperti yang aku bilang," kata Martin, "kalian boleh mencobanya. Tapi kusarankan kalian menyerah saja baik-baik dan memberi tahu siapa dalang dari semua ini padaku. Sayang sekali jika tubuh kalian yang elok harus tertembus peluru. Bukankah lebih baik ditembus sesuatu yang lebih menyenangkan?"

"Kau yang akan menyelesaikan ini?" tanya wanita di depan meja pada rekannya di sisi kanan. "Atau aku yang harus turun tangan?"

Wanita di kanan tertawa cekikkan lagi. "Aku saja," jawabnya. "Kalau bulu-bulu indahmu sampai berguguran, Aka Manah bisa-bisa murka kepadaku."

"Brengsek!" dengus wanita di depan meja sembari menyeringai.

"Kalian berdua benar-benar tidak punya perasaan, ya?" Martin tersenyum hambar. "Kalian tahu… di lain kesempatan, sikap kalian yang mengabaikan keberadaanku ini pasti sudah kubalas—setidaknya, dengan satu kecupan di bibir kalian masing-masing. Tapi sekarang, aku punya kepentingan lain. Jadi…"

"Kau yakin?" Wanita di kanan melangkah santai mendekati Martin.

"Hei," sahut si detektif. "Lebih baik kau jangan mencoba merayuku. Berhenti mendekat, dan berbaliklah agar aku senang memborgol tanganmu! Kau juga!" tunjuk pria itu pada wanita di depan meja.

"Kenapa?" tanya wanita di kanan yang sama sekali tidak menghentikan langkahnya. "Kau takut?"

"Oh, shit!" Martin tergagap dan langsung mengacungkan pistolnya pada wanita di kanan.

Wanita itu memang tersenyum manis—sangat-sangat manis, namun apa yang membuat Martin terkejut adalah ketika bola mata wanita di kanan itu tiba-tiba berubah bentuk dan warna dalam sekejap—seperti bola mata pada jenis hiu pasir.

Hanya saja, gerakan Martin kalah cepat dari langkah wanita tersebut. Martin baru saja akan menodongkan pistol ketika wanita itu sudah berada sangat dekat dengan dirinya. Hanya terpaut sejengkal saja.

Buk!

Martin melenguh tertahan, tubuh membungkuk, bola mata membesar sesaat demi menyaksikan tinju tangan kanan wanita tersebut sudah lebih dulu mengenai rusuknya. Hanya sepersekian detik, lalu tubuh pria itu terlempar jauh ke kiri. Menghantam dinding dengan keras, lalu jatuh terempas ke lantai.

"Dasar bodoh!" kikik wanita yang mampu membuat pria seperti Martin terlempar dalam sekali pukulan.

***