Chapter 25 - Perilaku yang Aneh

Martin mengetuk pintu mahoni itu sampai beberapa kali dan barulah seseorang membukakan pintu itu dari dalam.

Sosok Dokter Arya menyambut kedatangan kedua detektif tersebut dengan wajah yang jauh lebih bersahabat. Hal ini membuat Martin bertanya-tanya dalam hati, ia melirik Clara di sampingnya.

Clara juga menangkap kesan yang sama pada diri sang dokter. Aneh sekali, pikirnya. Atau semua yang terjadi subuh tadi itu adalah bentuk keprofesionalan semata dari dokter tersebut?

"Aah, ternyata kalian berdua," ujar Arya dengan ramah. "Detektif Clara, dan Anda? Maaf, kita belum sempat berkenalan."

"Yeah, itu benar," sahut Martin. "Saya Martin Hasibuan."

"Pagi, Dok," sapa Clara.

"Baiklah. Ada yang bisa saya bantu?" tanya sang dokter.

Seseorang menghampiri sang dokter dari arah belakangnya. Seorang wanita setengah baya dengan masih memakai piyama, sama persis dengan yang dipakai sang dokter sendiri.

"Siapa pagi-pagi seperti ini mengganggu sarapan kita, Arya?" tanya wanita tersebut dengan suaranya yang melengking.

Pandangan kedua detektif tertuju pada wanita di belakang sang dokter. Arya tersenyum.

"Abaikan saja," ujar Arya pada kedua detektif polisi di hadapannya itu. "Dia istriku. Lalu, apakah kalian ke sini bermaksud untuk menyelidiki pasien saya itu, lagi?"

"Bisa dibilang seperti itu—"

"Tidak," Clara menyikut rusuk rekannya. "Ada yang ingin kami tanyakan menyangkut mobil SUV yang terdafar atas nama Anda, Dok."

"Aah, mobil itu," Arya mengangguk-angguk.

"Boleh kami masuk?" tanya Clara.

"Silakan, silakan."

Martin dan Clara pun memasuki rumah tersebut. Mereka dipersilakan duduk pada set kursi mewah di ruang tamu. Arya duduk di seberang mereka terpisah oleh meja kaca persegi.

"Kalian mau sarapan atau hanya sekadar ingin menikmati secangkir kopi?"

Kedua detektif sama melirik wanita setengah baya yang baru saja berujar dengan nada sarkas itu. Jelas sekali ada hal yang membuat wanita dengan rambut nyaris memutih di kepalanya itu bersikap kasar.

Mungkin penyebabnya karena kedatangan mereka yang mungkin dianggap mengganggu ketenangan tuan rumah yang bertepatan dengan waktu sarapan mereka. Atau mungkin ada penyebab lain? Pikir Clara.

"Segelas air putih mungkin akan lebih baik," sahut Martin.

"Menyusahkan saja!" dengus wanita itu dan lalu berlalu dari hadapan semua orang.

"Jangan dimasukkan ke hati," ujar Arya sembari terkekeh pelan. "Di hari yang lain, dia selalu bersikap lembut, percayalah."

"Anda tidak memiliki pembantu?" tanya Martin, Arya menggeleng. "Di rumah sebesar ini?"

"Kami tidak memiliki bayi atau anak kecil," kata sang dokter. "Lalu untuk apa?"

"Bukankah Anda memiliki seorang putri? Di mana dia?"

"Apa sekarang hari libur?" ujar Arya bertanya balik pada detektif laki-laki itu.

Martin menyeringai, lalu menggeleng. Sementara Cara memerhatikan kondisi di dalam rumah tersebut.

"Dia sudah berangkat ke kampusnya."

"Aah…" Martin mengangguk-angguk.

Wanita setengah baya itu muncul lagi di ruang tamu dengan membawa dua buah gelas berisi air minum, ia tidak menggunakan nampan untuk membawa kedua gelas tersebut.

Ini sedikit aneh, pikir Clara.

Setelah menghidangkan air minum itu kepada Clara dan Martin, wanita setengah baya langsung berlalu tanpa sepatah kata pun, kecuali gestur tubuhnya yang masih sama terhadap kedatangan kedua detektif tersebut.

"Maaf, Dok," ujar Clara setelah sosok wanita setengah baya itu tak lagi terlihat. "Apa yang membuat istri Anda bersikap seperti itu?"

"Kalian tahu," ujar sang dokter sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Dia menjadi seperti itu karena kami kehilangan mobil."

"Jadi?" sahut Martin pula.

Dokter Arya mengangguk. "Benar," ujarnya, "SUV itu dicuri seseorang."

"Apakah itu benar?" tanya Clara dengan kening mengernyit. "Masalahnya, subuh tadi kita masih bersama Anda, Dok."

"Itu benar."

"Jam berapa Anda mengetahui jika SUV itu hilang?"

"Sekitar jam empat atau jam lima, entahlah," kata Arya pula. "Saya tidak tahu pasti. Istri saya yang pertama menyadari jika mobil itu tidak lagi ada di garasi."

"Apa itu tidak aneh bagi Anda sendiri?" tanya Martin. "Orang seperti Anda, saya yakin, sangat aware dengan waktu."

Itu benar, pikir Clara. Tidak mungkin sekelas dokter seperti Arya tidak memperhatikan waktu dengan baik. Seperti tidak masuk akal saja.

"Apa yang bisa saya katakan?" Arya tertawa ringan. "Kalian mencuri waktu istirahatku subuh tadi, kalian ingat?"

"Maaf soal itu."

"Ya, ya… tidak masalah. Lagipula, kalian hanya menjalankan tugas."

"Jam berapa Anda sampai di rumah?" tanya Clara Dimitrova.

"Kurang dari pukul empat," jawab sang dokter, "saya rasa."

Lagi-lagi jawaban yang tidak meyakinkan, pikir Clara. Ada sesuatu hal yang tidak mengena di sini.

"Lalu, kenapa Anda tidak melaporkan hal ini kepada pihak Kepolisian?"

"Untuk apa?" kata sang dokter seolah tidak peduli sama sekali jika kendaraannya itu dicuri orang.

"Well, untuk apa lagi?" sahut Clara yang semakin yakin ada sesuatu yang disembunyikan sang dokter dari mereka berdua. Juga, tentang sikap istrinya tadi itu. "Tentu saja untuk menangkap pelakunya, dan mendapatkan mobil anda kembali."

Arya tertawa lagi mendengar hal tersebut.

"Kenapa Anda tertawa?" tanya Martin. "Apakah kehilangan barang berharga seperti mobil Anda itu adalah sesuatu yang lucu?"

"Hei," ujar Clara pada sang rekan. "Tenanglah."

"Menyebalkan!" dengus Martin.

"Tidak mengapa," kata sang dokter terhadap sikap dan ucapan detektif laki-laki tersebut. "Saya hanya tidak mau dipusingkan dengan hal-hal sepele seperti itu."

"Sepele?" ulang Martin dengan mendelik tajam pada sang dokter. Ada apa dengan pria yang satu ini?

"Percaya atau tidak," jawab Arya, "karena hal inilah istri saja menjadi ketus semenjak subuh tadi kepada saya… kepada kalian berdua."

Tetu saja, dengus Clara dalam hati. Jika aku yang berada di posisi istrimu, aku pun akan bersikap sama.

Menggelikan!

"Lalu, apakah kalian sudah menemukan mobil saya itu?"

"Memangnya Anda pikir kenapa kami sampai bisa tahu dan mendatangi Anda di rumah ini?"

"Martin!" sahut Clara Dimitrova. "Jaga emosimu!"

"Bagus kalau begitu," ujar sang dokter, masih dengan ketenangan serupa. "Selamat! Kalian ternyata cepat juga."

"Tidak perlu menyindir kinerja kami seperti itu!" dengus Martin Hasibuan.

"Martin!" Clara menyentuh bahu sang rekan.

"Sudahlah," Martin berdiri. "Tidak ada gunanya kita berlama-lama di sini."

"Silakan," sahut sang dokter. "Pintu ada di sebelah sana."

Clara Dimitrova pun berdiri. "Maaf, Dok," ujarnya sementara Martin sudah berada di dekat pintu. "Selanjutnya, kami akan menyerahkan hal ini pada Divisi Lantas. Mohon Anda bekerja sama dengan mereka nanti."

"Tidak masalah."

"Permisi."

"Silakan."

Clara keluar demi menyusul Martin. Arya berdiri, lalu melangkah menuju pintu depan tersebut. Ada seringai di sudut bibir sang dokter saat mengawasi Clara Dimitrova yang sedang menyusul Martin Hasibuan di luar pagar halaman rumahnya.

Arya menutup pintu itu. Lantas menuju ke ruang tengah di mana sang istri sudah menunggunya sedari tadi.

"Kau bersikap sangat kasar, Eredyth."

"Mereka tidak pantas," sahut wanita setengah baya yang dipanggil Eredyth tersebut. "Lagipula, kenapa tidak kau lenyapkan saja mereka berdua, Akvan?"

TO BE CONTINUED ...