Chapter 24 - Benang Merah

Seolah seorang yang tidak punya tujuan khusus, Ardha Candra memeriksa semua ruangan di dalam rumahnya tersebut sembari membereskan barang-barang yang berserakan.

Satu jam kemudian, ia telah selesai berbenah di semua ruangan yang ada. Termasuk, piring dan gelas yang ada di wastafel, serta peralatan masak lainnya.

Tubuh laki-laki itu bermandikan keringat, membasahi kemeja di badannya. Ardha Candra mendesah panjang melepas kelegaan di depan kulkas yang pintunya terbuka lebar. Satu tangannya berada di atas pintu tersebut.

Merasa semua hal telah ia bereskan, Ardha Candra pun melangkah menuju kamar mandi.

Butuh waktu lebih dari setengah jam bagi Ardha Candra berada di dalam kamar mandi, bukan saja ia mandi membersihkan tubuhnya yang kotor berdebu itu tapi juga bercukur.

Ia keluar dari dalam kamar mandi dalam keadaan yang sudah bersih dan rapi, kecuali rambut yang sedikit gondrong, tapi itu bisa diakali dengan pomade.

Ardha Candra tidak langsung menuju kamar untuk berpakaian, ia menuju kulkas di dapur. Meraih sisa kue tar yang entah dari kapan berada di dalam kulkas itu, juga sebotol minuman energi.

Dengan hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya, Ardha Candra mengempaskan bokongnya ke atas sofa dan menyalakan televisi.

Tayangan di televisi sedang menyiarkan wawancara khusus dengan pihak kepolisian, berita soal pembunuhan sadis. Ardha Candra menukar saluran televisi, tapi hampir semua menayangkan soal berita tersebut. Akhirnya ia pasrah saja, sembari menikmati kue tar dan minuman energi itu ia sesekali menyimak berita yang disampaikan seorang wanita di layar televisi tersebut.

Andaikan saja Ardha Candra mau sedikit fokus pada saluran-saluran televisi yang ia gonta-ganti itu, tentulah ia akan menjadi tahu alasan mengapa Dokter Arya tidak datang tadi pagi menemuinya di kamar perawatan rumah sakit itu. Salah satu saluran berita yang dilewati oleh Ardha Candra memperlihatkan tayangan sebuah kendaraan berat yang sedang mengangkat sebuah SUV hitam dari dalam saluran air.

Sayangnya, Ardha Candra punya banyak hal yang harus ia pikirkan untuk sekarang. Laki-laki itu mencoba menyusun tujuannya, rencana untuk berlibur ke gunung atau ke tepian pantai yang sepi yang sempat ia pikirkan sewaktu berada di rumah sakit itu sepertinya harus tertunda. Ia sudah tidak memiliki uang untuk itu.

Dan aku juga membutuhkan ponsel…

Brengsek!

***

Clara Dimitrova baru saja akan memejamkan matanya di atas pembaringannya yang empuk saat pintu apartemennya diketuk-ketuk seseorang dari luar.

Brengsek! Apa tidak bisa membiarkanku istirahat barang sekejap?

"Clara? Buka pintunya!"

Dengan hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis, Clara turun dari atas ranjang, dan melangkah menuju pintu depan.

Dari suara laki-laki yang menyahut namanya itu, Clara sudah mengenali sosok tersebut. Dengan santai Clara membuka pintu begitu saja.

"Apa kau tidak bisa membiarkanku istirahat sebentar saja?"

Laki-laki itu sedikit terperangah melihat tubuh indah yang nyaris telanjang di hadapannya tersebut.

"Wow," laki-laki yang tidak lain adalah rekan detektif dari Clara sendiri terkekeh sembari mengusap dagu memandangi setiap lekuk tubuh Clara. "Sambutan yang epik sekali."

Clara mendengus menahan tawa. "Masuklah."

"Jangan tidur melulu, ada hal yang harus kita selidiki."

"Tidur melulu bagaimana?" balas Clara sembari melangkah. "Aku baru saja akan memejamkan mata dan kau sudah menggedor-gedor pintu sialan itu."

"Maaf, maaf," kekeh detektif laki-laki tersebut. "Mana pakaianmu? Kita harus pergi sekarang."

"Menyebalkan!" Clara lantas kembali memasuki kamarnya. "Apa kau sedang memerhatikan bokongku?"

Laki-laki itu tertawa lagi. "Sulit untuk tidak memandang bokongmu yang indah itu, Clara."

"Otakmu harus dibersihkan!"

"Hei, ayolah. Kita ini kan partner." Laki-laki itu berdiri di ambang pintu, bersandar di salah satu sisinya sembari pandangannya jelalatan menjamah tubuh indah sang rekan.

"Itu benar," sahut Clara sembari memilih pakaian dari dalam lemari. "Hanya partner. Kau berharap lebih?"

Clara melirik lagi sang rekan sembari memakai celananya. Sang rekan semakin tertawa renyah, lebih-lebih melihat posisi Clara yang setengah menungging saat memakai celana.

"Kalau kau tidak keberatan," ujar laki-laki itu dan kembali mengusap-usap dagunya.

"Yang benar saja!" dengus Clara. "Atau kau mau dibunuh oleh istrimu itu? Silakan saja!"

"Oops…" detektif laki-laki itu mengangkat kedua tangannya. "Kenapa harus membawa-bawa istriku segala?"

Clara tertawa halus dan geleng-geleng kepala. "Sudahlah," ujarnya sembari memasangkan baju ke tubuhnya. "Lalu, kenapa kau tidak membiarkanku beristirahat?"

"Kau tahu dokter yang kemarin menghalang-halangi penyelidikan kita?"

"Dokter Arya?"

"Ya, itu," angguk laki-laki tersebut. "Jam enam pagi tadi seorang polantas menemukan jejak kecelakaan di dekat sebuah jembatan, setelah menyelidiki lebih jauh dia menemukan sebuah mobil jenis SUV hitam di dalam saluran air."

"Mobilnya dokter itu?"

Laki-laki itu mengangguk lagi. "Setelah menyelidiki nomor plat kendaraan tersebut, memang, terdaftar atas nama dokter itu sendiri."

"Apa yang terjadi pada dokter itu?" tanya Clara.

Clara sudah selesai mengenakan pakaiannya, lalu meraih atribut detektifnya dan juga sebuah senjata api. Senjata itu ia selipkan ke pinggangnya.

"Bukankah seharusnya dia sudah berada di rumahnya, aku sempat melihat dokter itu bersama mobilnya subuh tadi."

"Well… belum ada kabar sama sekali."

"Lambat sekali!" dengus Clara memprotes kinerja kepolisian dalam mengusut hal sesederhana itu.

Setelah memakai sepatunya, Clara Dimitrova pun akhirnya mengajak sang rekan meninggalkan apartemennya tersebut.

"Lalu, kenapa harus kita yang ke sana?" tanya Clara saat mereka berdua berada di dalam lift.

"Komandan curiga mungkin ini ada hubungannya dengan penyelidikan yang samar terhadap pasien dokter itu sebelumnya."

"Hemm…" Clara melipat tangan ke dada, menekur. Sepertinya memang ada benang merahnya, pikirnya. "Jadi, ke mana dulu tujuan kita?"

"Ke rumah dokter itu."

"Baiklah."

Lift berhenti dan pintu itu terbuka, keduanya segera melangkah keluar dari dalam lift.

***

Mobil yang dikendarai oleh detektif laki-laki itu berhenti di depan sebuah pagar rumah. Rumah itu sendiri terlihat cukup besar.

"Kau yakin mereka ada di rumah?"

"Tentu saja," jawab laki-laki itu. "Kau lihat di sana?"

Clara Dimitrova melirik ke arah yang ditunjukkan sang rekan. Ada sebuah mobil dari kepolisian dengan dua orang petugas di dalamnya. Mereka melambaikan tangan kepada Clara dan rekannya itu.

Mereka pun keluar dari dalam mobil, bermaksud untuk segera masuk ke pekarangan rumah tersebut, kebetulan kondisi pintu pagar setinggi pinggang itu dalam keadaan terbuka. Clara menahan langkah sang rekan.

"Kenapa?"

"Kau bisa menahan diri?" tanya Clara. "Aku yakin dokter itu masih kesal dengan perlakuanmu subuh tadi, Martin."

Laki-laki bernama Martin itu terkekeh. "Kita lihat saja nanti."

Sekali lagi Clara melirik ke arah dua orang petugas di dalam mobil kepolisian di seberang jalan sana sebelum akhirnya mengikuti langkah Martin memasuki pekarangan rumah, langsung menuju pintu mahoni yang dalam keadaan tertutup.