Chereads / Tirai Penghalang / Chapter 5 - Bubar!

Chapter 5 - Bubar!

Sesaat kemudian ia edarkan pandangannya, dan melihat satu toko elektronik. Yup, itu dia. Segera saja ia melangkah ke arah toko tersebut. Sesampainya di toko itu, Rezqi langsung memilih-milih kipas angin, sesuai dengan yang dipesankan sang bibi.

Sedikit tawar-menawar, sepakat, dan Rezqi mengeluarkan uang pembayaran. Kembali ia melangkah, menjauh dari toko. Di tangan kanan, ia menenteng sebuah dus ukuran sedang yang berisi kipas angin baru.

Rezqi menunggu angkutan di sisi jalan. Tidak ada halte di sana. Jadi, ia harus rela berpanas-panasan.

Di seberang jalan terdapat kafe-kafe yang berderet dengan payung-payung unik nan cantik, dan sejumlah pengunjung tengah bersantai di bawahnya, menikmati minuman dan makanan ringan.

Sial! Bikin lapar saja. Rezqi menelan ludah, tenggorokan terasa sangat kering.

Seorang siswi Sekolah Dasar melangkah dan berhenti di samping kanan Rezqi. Pemuda itu berpikir mungkin anak itu menunggu angkutan juga, seperti dirinya.

Tapi, kok sendirian? Tanya Rezqi di dalam hati dengan penuh kebingungan yang bergelayut manja pada kedua pandangannya terhadap diri bocah SD itu.

Tidak berapa lama angkutan yang ditunggu datang juga, Rezqi lebih memilih untuk mendahulukan adik kecil tersebut.

"Ayo, Dek, kamu duluan," tawarnya dengan senyuman. Namun anak itu menggeleng. "Eeh?"

"Aku mau nyebrang, Kak," ujar anak itu sedikit berharap.

Rezqi tersenyum, ia mengerti itu. "Bang," serunya pada supir angkot. "Lanjut aje, Bang. Maap, gak jadi."

Si supir angkot sedikit menggerutu, dan kembali memacu kendaraan tambangnya menjauh.

Rezqi memandang pada siswi SD di kanan. "Ayo, Kakak bantu."

Siswi SD tersenyum senang menyambut uluran tangan kanan Rezqi.

Sambil bergandengan tangan, Rezqi memerhatikan jalanan dengan saksama, menunggu jalanan sedikit sepi.

"Emangnya, Ibu kamu gak ngejemput?" tanya Rezqi masih dengan senyuman. Dan anak itu hanya menjawab dengan gelengan kepala.

Apa yang dipikirkan orang tua nih anak, pikir Rezqi, bingung sekaligus heran. Membiarkan anak sekecil ini pulang sekolah sendirian? Menyeberang jalan ramai dengan kendaraan seperti ini? Astaga... Apa orang tua nih anak tidak takut terjadi apa-apa pada putri mereka?

Atau, bagaimana kalau anak mereka diculik seseorang yang berpendek akal? Mengalami kekerasan, misalnya?

Ahh… dan masih banyak lagi kecemasan yang jelas tergambar di wajah pemuda itu. Menari-nari riang dalam benaknya.

Jalanan mulai terlihat sepi, Rezqi memutuskan inilah saatnya untuk menyeberang.

"Ayoo," Rezqi menarik pelan tangan anak yang ia gandeng.

Berhati-hati pemuda itu membawa si bocah SD menyeberang. Sekali waktu ia berhenti, mempersilakan kendaraan lewat terlebih dahulu, dan melangkah lagi lebih cepat begitu kendaraan itu berlalu.

Sebuah sepeda motor melaju cukup kencang. Rezqi kagok tapi masih bisa menguasai diri, dan lantas bergerak cepat, tubuh anak SD itu ia angkat dan memutar ke kiri.

Duakh!

Bruaakh…!

Rezqi harus merelakan siku tangan kirinya terbentur setang sepeda motor, dan sepeda motor oleng, jatuh ke sisi trotoar, berikut dengan sang pengendara, seorang pelajar Sekolah Menengah Atas. Laki-laki.

Sejumlah orang yang berada di sekitar, sama tertegun melihat kejadian itu. Beberapa di antaranya segera berlarian mendekat. Sebagian dengan niat menolong siapa pun yang menjadi korban, sebagian besar lainnya malah dengan niat berbeda.

"Woii!" hardik Rezqi pada si pengendara sepeda motor.

Meski Rezqi merasakan siku tangan kirinya sakit luar biasa, namun si bocah SD dalam dekapan tangan kanannya selamat, tidak mengalami luka apa pun. Hanya wajah anak tersebut yang terlihat sangat pucat.

"Ma-maaf, Bang," seru si pengendara, pucat, dan ketakutan. "Maaf," ia mengusap kedua siku tangannya yang lecet-lecet, memerah sebab lapisan kulit luarnya terkikis oleh aspal jalanan.

Tapi setidaknya, remaja tersebut cukup beruntung tidak mengalami cedera yang lebih parah lagi. Beruntung pula sepeda motor dan dirinya sendiri jatuh ke sisi kanan—ke badan trotoar, kalau lah tidak, mungkin satu-dua mobil yang melintas akan melindas tubuhnya. Atau seringan-ringannya, meremukkan sepeda motornya itu.

Niat awal, Rezqi ingin memaki-maki pelajar SMA tersebut. Hanya saja, berhubung dalam waktu sekejap saja orang-orang telah berkerumun, bahkan ada yang berusaha memukuli si pengendara, ia pun jadi tidak tega karenanya.

Jadi, sembari terus mengendong siswi SD itu, Rezqi berusaha mencegah aksi orang ramai yang hendak main hakim sendiri tersebut.

"Woii-woii-woii," teriak Rezqi menghalangi.

Rezqi mendorong beberapa tubuh dari orang-orang yang merangsek. Orang-orang yang sepertinya kesetanan, melayangkan pukulan dan tendangan pada si pelajar SMA.

Si pemuda berdiri membelakangi pelajar SMA yang ketakutan akan amuk massa, tangan kirinya ia paksakan untuk merentang, meski masih saja terasa sakit berdenyut-denyut.

"Apa-apaan sih kalian, hah?!" Rezqi pasang wajah sangar, meski tidak sangar-sangar amat. "Maen gebuk orang aja."

Orang-orang yang awalnya ingin memberi pelajaran pada siswa SMA itu sama memandang aneh bin ganjil pada Rezqi.

"Sono-sono, bubar…!" teriak pemuda itu lagi. "Gue yang ketabrak, lu pada yang maen emosian. Bubar!"

"Sinting tuh orang!" seseorang berujar tidak senang menanggapi aksi Rezqi yang menghalangi mereka.

"Santai aje lagi, bos!" seru yang lain pula. "Mau ditolongin malah galakan die."

"Elu pada bukan nolongin gue," dengus Rezqi, "Elu, elu… pada mau maen hakim sendiri. Bubar dah!"

Pada akhirnya, orang-orang tersebut menjauh, sebab sebagian kecil dari mereka yang ikut berkerumun sependapat dengan Rezqi, dan mendorong yang lain untuk segera angkat kaki saja.

Melihat hal ini, tentu saja si pelajar SMA cukup terkesan, alih-alih merasa senang sebab tidak harus menerima perlakuan yang lebih buruk lagi. Dan ia merasa harus berterima kasih untuk semua itu pada pemuda yang masih menggendong bocah SD di hadapannya tersebut.

"Ma-makasih, Bang, udah belain saya," ucap pelajar SMA itu kemudian. "Maaf ya, Bang. Sumpah saya gak lihat, Bang," ujarnya mengiba.

Rezqi mengalihkan pandangannya pada anak dalam dekapannya. "Kamu gak apa-apa, Dek?" tanyanya cemas.

Bocah dalam gendongan mengangguk. Rezqi menghela napas panjang, lega karenanya. Ia menurunkan anak tersebut dari pangkuannya. Kemudian mengelus siku tangan kirinya yang terlihat bengkak, memar. Ia meringis.

"Bang, Abang gak apa-apa?" tanya si pelajar SMA. "Gi—gimana kalo kita ke dokter aja, Bang?" tawarnya, berusaha menebus kesalahan.

"Gak, gak usah," Rezqi memandang sikunya lebih lama. Ia tersenyum. "Keknya, gak parah-parah amat. Lu sendiri gimana?" ujarnya balik mencemaskan keadaan remaja tanggung tersebut.

"Saya gak apa-apa, Bang," pelajar SMA tersenyum. Dan setidaknya, dari hal ini saja ia sudah bisa menyimpulkan, orang seperti apa pemuda yang ia tabrak tersebut.

"Adduh, mati gue!" dengus Rezqi menyadari jika kipas angin yang baru ia beli remuk berantakan.

Si pelajar SMA yang menyadari hal itu, berusaha merapikan serpihan yang berserakan di jalan. "Maaf, Bang," ujarnya lemah.

"Udahlah," sahut Rezqi, tangan kanannya bergerak seolah menepis angin. "Nama lu, siapa?"

"Jodi, Bang," jawab pelajar tersebut.