Disvi memukul pelan stang motor Alfan, membuyarkan lamunan Alfan.
"Kok malah melamun...? Tian dengar Vio ngomong barusan bukan...?", Disvi bertanya tidak puas.
"Sudah sore, Tian harus kembali ke sekolah, ada latihan", Alfan segera berlalu dari hadapan Disvi.
Keesokan harinya Alfan datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya, Alfan hanya memilih untuk duduk di kursinya dengan kaki bertumpu di kursi yang ada di hadapannya.
"Anak setan, tumben kamu datang pagi-pagi buta...?", Aryo memukul pelan kaki Alfan, agar Alfan menurunkan kakinya, sehingga dia bisa duduk.
"Setan alas kamu, bikin kaget saja", Alfan menurunkan kakinya malas.
"Biasanya kamu jagoannya telat, kerasukan setan apaan kamu hari ini...?", Aryo kembali menimpali.
"Setan wisuda. Puas...?", Alfan menjawab asal.
Aryo malah tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban sengit Alfan.
"Datang telat protes, datang pagi di bilang kesurupan. Aneh kamu Yo", Alfan kembali tertawa renyah.
"Habisnya aneh saja melihat kamu udah datang pagi-pagi buta, kali ini kamu ngalahin
aku lho, luar biasa...", Aryo bertepuk tangan tepat di depan muka Alfan.
Kelas segera hening begitu bel masuk berteriak nyaring, Aryo segera pindah ke kursinya begitu Disvi muncul.
Belum juga Disvi sempat mengajak Alfan berbicara, Bu Yeli sudah masuk kedalam kelas. Bu Yeli segera mengabsen, sekaligus membagikan buku tugas yang telah di nilai olehnya.
Saat tiba giliran Alfan untuk maju mengambil bukunya, "Nyontek sama siapa kamu...? Nilainya jadi 100 begitu?", Bu Yeli bertanya sengit, menatap tajam ke wajah Alfan.
Alfan tidak menjawab ucapan Bu Yeli, kembali duduk dengan tenang di kursinya. Bu Yeli mulai memberikan pelajaran, saat bel pertukaran jam Bu Yeli mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan diatas meja.
"Lusa kita ujian. Jangan ada yang berani mencontek, akan langsung saya kasih nilai nol saat UTS", Bu Yeli memberikan penekanan pada ucapannya, tatapannya demikian tajam menatap Alfan.
Alfan ingin berdiri membalas ucapan Bu Yeli, akan tetapi Disvi segera menggenggam jemari tangan Alfan.
Alfan mengalihkan tatapannya menatap wajah Disvi.
"Tian sabar", Disvi bicara dengan suara paling pelan, hampir seperti orang yang sedang berbisik.
Alfan mengalihkan tatapannya ke arah lain, berusaha keras mengontrol emosinya.
Begitu Bu Yeli keluar kelas, Alfan memberi pukulan keras ke dinding yang tepat berada disampingnya. Semua mata teman-teman Alfan spontan menatap ke arah Alfan.
"Kalau bukan karena Bu Mayang, ah...", Alfan kembali memukul dinding kesal, kali ini Alfan memukul dengan berdiri.
"Udah bel istirahat, Tian mau temani Vio ke kantin...?", Disvi bertanya lembut.
Alfan tidak menjawab, hanya mengikuti langkah Disvi.
Disvi memilih untuk membeli beberapa makanan ringan dan minuman, kemudian Disvi memilih untuk duduk tidak jauh dari kantin.
Disvi menyerahkan sebotol minuman dingin ke tangan Alfan, "Minum dulu, biar tenang", Disvi bicara pelan.
Alfan segera menenggak minuman pemberian Disvi.
"Semalam, Dito datang ke rumah", Disvi bicara pelan.
Spontan Alfan tersedak oleh minumannya, saat mendengarkan ucapan Disvi.
"Pelan-pelan minumnya", Disvi memukul pelan punggung Alfan.
Alfan kembali menutup botol minum.
"Kok Tian diam saja...?", Disvi bertanya pelan, menatap lekat wajah Alfan.
"Tian harus bilang apa...?", Alfan menatap Disvi tidak berdaya.
"Ya apa kek, komen kek, kasih saran kek", Disvi mulai protes.
"Kalau mau jujur, Tian g'ak mau Vio balikan sama Dito", Alfan bicara lirih, kemudian tertawa getir menertawakan dirinya sendiri. "Tapi... siapa lah Tian, kita saja tidak punya hubungan apa-apa. Mana punya hak Tian untuk melarang Vio mau jadian lagi sama Dito", Alfan tersenyum pahit.
"Hei... kitakan teman", Disvi bicara disela senyumnya.
Alfan spontan menatap wajah Disvi, "Teman...?", Alfan mengulang ucapan Disvi penuh kekecewaan, Alfan merasa hatinya di cubit.
"Kita teman bukan...?", Disvi kali ini yang malah bingung melihat respon Alfan.
Alfan hanya tersenyum tipis. Kemudian beranjak dari tempat duduknya, menuju lapangan basket. Alfan merebut bola dari teman-temannya yang sedang asik bermain. Hanya butuh gerakan kecil, Alfan sudah berhasil memasukkan bola kedalam ring dengan mulus.
Saat pulang sekolah, Alfan di minta berkumpul oleh pelatih untuk persiapan lomba. Tatapan Alfan fokus menatap Disvi yang berjalan bersama Dito menuju lorong ke arah parkiran.
Aryo menyikut lengan Alfan, "Kalau suka, kenapa g'ak kamu tembak saja", Aryo berbisik pelan.
"Apa sih", Alfan jelas tidak senang dengan ucapan Aryo.
Latihan segera berakhir, Alfan meraih tasnya yang dibuang asal di ujung lapangan.
"Fan, kamu dapat tantangan lagi dari si anak mami", Aryo bicara pelan, saat memakai tasnya.
"G'ak ada bosan-bosannya tu bocah kalah, heran", Alfan bicara tidak senang.
HP Alfan berteriak, segera Alfan menerima telfon masuk setelah melihat siapa nama yang muncul.
"Kenapa...?", Alfan bertanya malas.
"Kamu dimana sekarang...?", terdengar suara perempuan dari ujung lain telfon.
"Kamu nangis...? Alfan di sekolah baru kelar latihan", Alfan menjawab apa adanya.
"Ibuk Fan...", perempuan di ujung lain telfon kembali menangis.
"Kamu dimana...?", Alfan langsung bertanya to the poin.
"Rumah sakit umum", perempuan di ujung lain telfon menjawab lemah.
"Alfan ke sana sekarang", Alfan segera menutup telfon, dan mempercepat langkahnya.
"Kamu mau kemana...?", Aryo bertanya bingung.
"Rumah sakit, kamu duluan saja ke lokasi balapan, Alfan nyusul ntar", Alfan memberi perintah, kemudian berlalu dengan kecepatan tinggi bersama motornya.
Alfan segera menerobos masuk ke ruang UGD rumah sakit setelah memarkir asal motornya.
"Ibu Fan...", Nisa segera menyerbu ke pelukan Alfan.
Alfan mengarahkan Nisa untuk duduk, "Nisa duduk di sini dulu, Alfan mau ketemu dokter sebentar", Alfan memberi perintah.
Alfan segera menghampiri meja resepsionis, "Maaf suster, bisa saya bertemu dengan dokter yang menangani ibunya Nisa...? Perempuan yang di sana", Alfan menunjuk ke arah Nisa.
"Ikut saya", suster segera berjalan, Alfan dengan sabar mengekor di belakang suster tersebut.
Alfan di arahkan masuk ke ruang dokter, setelah dipersilakan duduk Alfan segera di sodorkan foto CT scan ibu Nisa.
"Saya harus jujur, ada pendarahan di jantung ibu ini akibat benturan keras saat terjadi kecelakaan", dokter perempuan setengah baya bicara lembut.
"Lalu apa yang harus kita lakukan dok...?", Alfan langsung kepada inti pembicaraan.
"Kita harus melakukan operasi segera, kalau tidak itu bisa membahayakan keadaan beliau", dokter menjelaskan pelan.
"Berapa biayanya...?", Alfan langsung bertanya pada intinya.
"Sebaiknya anda langsung ke bagian administrasi saja", dokter menyarankan.
"Baik, terima kasih dok", Alfan segera kembali ke bagian administrasi.
Alfan segera di sodorkan map berwarna hijau, Alfan membaca dengan teliti jumlah angka yang tertulis di atas kertas.
"Maaf suster, saya bisa minta waktu 1 jam...? Saya tidak bawa uang tunai", Alfan bicara pelan.
"Kalau saya bisa beri saran, sebaiknya jangan lebih dari 2 jam mas, keadaan ibu itu sangat mengkhawatirkan", suster muda itu bicara cemas.
"Saya usahakan Suter, terima kasih", Alfan kembali menyerahkan map kepada suster muda itu.
"Fan...", Nisa yang sempat mendengar percakapan suster dengan Alfan segera menghampiri Alfan.
"Ibuk kenapa Fan...?", Nisa bertanya dengan air mata yang mengalir deras.