"Vio tunggu disini", Alfan segera turun dari motor.
Disvi menutup matanya ngeri, melihat Alfan yang segera menerobos ke tengah-tengah lelaki berbadan besar. Pertarungan tidak bisa di hindarkan, Alfan memberikan pukulan tanpa ampun kepada kelima preman yang berusaha mengambil mobil Bu Yeli.
"Tian...!!!", Disvi berteriak ngeri saat salah satu dari preman berhasil memukul kepala Alfan, darah segar segera mengalir tanpa henti dari pelipis kening Alfan.
Alfan tersenyum penuh makna, segera Alfan memukuli orang itu tanpa ampun.
"Tolong...!!! Tolong...!!!", Disvi berteriak tanpa tujuan.
Teriakan Disvi segera mengundang banyak orang yang datang, semua preman segera pergi tanpa perlu aba-aba.
Disvi segera berlari menghampiri Bu Yeli dan Alfan.
"Ibuk g'ak apa-apa...?", Disvi bertanya cemas.
Bu Yeli menggelengkan kepalanya pelan, mukanya masih pucat karena kaget.
Disvi menatap lelaki yang terbaring tidak jauh dari Bu Yeli berdiri, "Pak bisa tolong angkat ke dalam mobil...?", Disvi memberikan instruksi kepada bapak-bapak yang mengerumuni mereka.
Disvi mengalihkan pandangannya ke arah Alfan setelah Bu Yeli dan lelaki itu diangkat kedalam mobil.
"Tian...", Disvi bicara pelan.
"Tian baik-baik saja", Alfan memaksakan senyumnya.
Disvi berusaha meraba kening Alfan, "Kepala Tian berdarah", Disvi bicara cemas.
Alfan meraih jemari tangan kanan Disvi yang melekat di kepalanya, detik berikutnya Alfan jatuh pingsan.
"Tian...!!!", Disvi bicara panik, berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Alfan yang pingsan dengan bersandar di pundaknya.
"Tolong masukkan ke mobil saja, sekalian kita bawa ke rumah sakit", Bu Yeli memberikan instruksi.
Mobil segera merayap perlahan menuju rumah sakit, begitu sampai di rumah sakit. Alfan, Bu Yeli dan lelaki yang bersama Bu Yeli segera mendapatkan perawatan.
Bu Yeli hanya mendapat 3 jahitan di lengan kirinya, karena goresan pisau preman. Lelaki yang bersama Bu Yeli juga mendapat perawatan luar, karena memar bekas luka pukulan, bahkan ada beberapa jahitan di lengan dan perutnya. Segera lelaki itu di pindahkan ke ruang perawatan.
Bu Yeli berlari perlahan ke arah pintu ruang operasi, dibantu dengan seorang suster yang memapah Bu Yeli agar tidak jatuh.
"Ibuk kenapa kesini...?", Disvi bertanya bingung. Bukannya istirahat, malah bu Yeli ke ruang tunggu operasi.
"Bagaimana keadaan Alfan...?", Bu Yeli bertanya cemas.
"Saya belum tahu Bu, dokternya belum keluar dari tadi", Disvi bicara apa adanya.
Satu jam terlama yang pernah di lewati oleh Disvi, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Disvi dan Bu Yeli segera menyerbu dokter yang keluar dari ruang operasi.
"Bagaimana keadaan Alfan dokter....?", Bu Yeli bertanya cemas.
Dokter segera melepas kacamatanya, "Kita harus tetap memantau perkembangan Alfan, pada dasarnya operasinya berjalan dengan lancar. Kita berdo'a yang terbaik saja untuk Alfan", dokter setengah baya itu bicara penuh harap.
"Terima kasih dokter", Disvi bicara pelan, sesaat sebelum dokter berlalu pergi dari hadapan Bu Yeli dan Disvi.
Alfan segera di pindahkan keruang rawat inap. "Sebaiknya Bu Yeli juga istirahat, biar saya saja yang menjaga disini", Disvi memberikan saran.
"Kalau ada apa-apa, panggil saya di ruang sebelah", Bu Yeli memberi perintah.
Disvi segera membantu Bu Yeli kembali ke ruangannya, kemudian duduk di bangku yang ada di samping tempat tidur Alfan.
Disvi meraih HP Alfan yang berdering, "Assalamu'alaikum", Disvi mengucap salam setelah menerima telfon masuk.
"Wa'alikumsalam, ini nomornya Alfan bukan...?", terdengar suara protes dari ujung lain telfon.
"Ini Disvi, Tian di rawat di rumah sakit umum", Disvi langsung bicara ke intinya.
"Astagfirullah, kenapa lagi tu bocah...?", terdengar suara lelaki di ujung lain telfon frustasi.
"Aryo bisa kasih tahu orang tuanya Tian...", belum juga Disvi menyelesaikan ucapannya, Alfan sudah mengambil HPnya.
"Tian...?", Disvi bicara bingung, karena kata dokter Alfan masih dalam pengaruh obat bius, tidak akan sadar sampai 3 jam ke depan.
"Alfan baik-baik saja", Alfan bicara dengan suara berat.
"Kamu kenapa lagi...?", Aryo bertanya kesal.
"G'ak apa-apa, biasa lah anak cowok", Alfan tertawa renyah.
"Ntar siang Aryo langsung ke sana", Aryo memberikan keputusan.
"Jangan sampai anak-anak tahu, apa lagi orang rumah", Alfan segera memberikan perintah.
"Iya", Aryo menjawab malas.
Alfan segera menonaktifkan HPnya, kemudian membuang asal HPnya di atas meja kecil di samping tempat tidur.
"Lho... kok di matikan...?", Disvi bertanya bingung.
"Tian capek, mau istirahat", Alfan menjawab santai, kemudian meletakkan lengan tangan kirinya diatas kelopak matanya.
"Vio mau nyari sarapan, Tian mau makan apa...?", Disvi bertanya lembut.
"Tian mau tidur", Alfan menjawab pelan, tanpa membuka matanya.
Disvi segera berlalu pergi dengan tenang meninggalkan ruang rawat inap Alfan, mencari OB untuk menitip makanan.
***
Mayang berjalan ke depan kelas Alfan, Mayang memutuskan untuk memanggil salah satu siswa setelah tidak menemukan orang yang dia cari.
"Aryo, kamu tahu Alfan dan Disvi kemana...?", Bu Mayang bertanya lembut.
"Alfan di rumah sakit buk, Disvi juga di sana menemani Alfan", Aryo menjawab apa adanya.
"Rumah sakit...? Kenapa...?", Bu Mayang bertanya bingung.
Aryo bukannya menjawab, malah mengangkat kedua bahunya sebagai isyarat dia juga tidak tahu.
Bu Mayang segera meraih HPnya, "HPnya mati buk", Aryo segera memberikan informasi selanjutnya.
"Rumah sakit mana...?", Bu Mayang kembali bertanya.
"Bu Mayang bisa ikut saya sebentar...?", kepala sekolah entah muncul dari mana.
"Baik pak", Bu Mayang memukul lembut lengan kiri Aryo, dengan enggan mengikuti kepala sekolah.
"Duduk buk", kepala sekolah memberi perintah.
Bu Mayang duduk dengan patuh.
Kepala sekolah duduk tepat di hadapan Bu Mayang, dengan kasar membuka kaca matanya, membuang asal ke atas meja.
"Bu Mayang saya perhatikan cukup dekat dengan Alfan...?", kepala sekolah memulai percakapan basa-basinya.
"Semua anak di sekolah ini saya anggap sama pak, tidak ada yang spesial di mata saya", Bu Mayang menjelaskan lembut.
"Bu Yeli mendapat musibah pagi ini, dia diserang 5 orang perampok. Bu Mayang tahulah, Bu Yeli habis dari Bank mengambil uang pembangunan", kepala sekolah memberi jeda pada ucapannya.
"Iya... hubungannya dengan saya...?", Bu Mayang langsung bertanya, karena tidak bisa menebak kemana arah pembicaraan kepala sekolah.
"Anak Bu Yeli terkena luka lebam, dan harus di rawat di rumah sakit. Bu Yeli juga harus menjalani perawatan karena syok", kepala sekolah kembali melemparkan informasi.
Bu Mayang mengerutkan keningnya, "Bukankah seharusnya bapak menghubungi pihak keluarga Bu Yeli, ketimbang memberikan informasi ini kepada saya...?", Bu Mayang bertanya sanksi.
"Bu Yeli beruntung karena Alfan datang tepat waktu. Kalau tidak kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Bu Yeli, sepertinya Bu Yeli sudah di ikuti sejak dari Bank", kepala sekolah kembali menjelaskan.
Kali ini Bu Mayang memutuskan untuk tidak berkomentar lagi, menunggu ucapan kepala sekolah selanjutnya.
"Alfan... mendapat cidera pada kepalanya karena pukulan benda tumpul", kepala sekolah akhirnya sampai pada inti pembicaraan.
"Astagfirullah hal'azim", Bu Mayang segera menutup mulutnya karena kaget.
"Em... maksud saya... memanggil Bu Mayang kesini, Bu Mayang kan cukup dekat dengan Alfan.
Em... maksud saya, kalau bisa Bu Mayang membantu pihak sekolah agar... keluarganya Alfan mau berdamai. Dan tidak menuntut pihak sekolah atas kejadian ini.
Ini menyangkut reputasi sekolah, Bu Mayang tahu sendiri sekolah kita ini sedang menjadi kandidat sekolah terbaik se-provinsi...", kepala sekolah akhirnya menyelesaikan ucapannya dengan susah payah.
Bu Mayang kehabisan kata-kata yang harus dia ucapkan kepada kepala sekolah, bukannya mencemaskan bagaimana keadaan Alfan, malah mencemaskan reputasinya dan sekolah.
"Anda memang kepala sekolah yang luar biasa", Bu Mayang bicara dengan makna yang jauh lebih dalam, kemudian berlalu dari hadapan kepala sekolah begitu saja.