Chapter 19 - Setan alas

Satu...

Dua...

Tiga...

Empat...

Lima detik berlalu.

Tidak ada suara yang keluar dari bibir Alfan dan Disvi. Bahkan Disvi tidak berani bernafas, takut sedikit pergerakan darinya akan membuat dia jatuh diatas dada Alfan.

Alfan menaikkan tubuhnya perlahan, mendekatkan bibirnya ke daun telinga Disvi. "Nafas neng", Alfan berbisik pelan.

"Setan alas", Disvi segera mendorong kasar pundak Alfan, dengan kedua telapak tangannya yang telah bebas dari genggaman Alfan.

Alfan tertawa terbahak-bahak melihat muka Disvi yang memerah seperti udang rebus.

Beruntung HP Disvi berteriak nyaring, memecahkan kekakuan antara Alfan dan Disvi.

"Assalamu'alaikum bang", Disvi bicara pelan. Setelah diam beberapa saat, "Siap, ntar di jemput. Terima kasih bang. Wa'alikumsalam", Disvi kembali memasukkan HPnya kedalam saku celananya.

"Ehem...", Alfan sengaja berdehem memecahkan suasana. "Siapa...?", Alfan bertanya pelan.

"Bang Suaka, katanya motor Tian udah laku", Disvi menjawab asal, kemudian duduk di kursi tepat di samping tempat tidur Alfan.

Bukannya marah, Alfan malah tertawa terbahak-bahak.

Disvi mengerutkan keningnya.

"Laku berapa...? Cukup buat bayar biaya rumah sakitkan...?", Alfan kembali menimpali.

Disvi malah sibuk mengetik di HPnya.

"Gimana kamu sama Dito...?", Alfan bertanya lirih.

"Dito...? Memangnya kenapa...?", Disvi bertanya bingung.

"Vio balik lagi sama Dito...?", Alan bertanya pelan.

"Menurut Tian...? Terus... cewek-cewek Dito yang ngantri mau dikemanain...?", Disvi bertanya disela tawa renyahnya.

"Bukannya Vio udah balikan sama Dito...?", Alfan mengerutkan keningnya, tidak yakin dengan jawaban Disvi.

"Kata siapa...? Vio g'ak mau kali nambah deretan koleksi ceweknya Dito", Disvi kembali tertawa renyah. "Kok Tian yakin banget ngomong Vio balik sama Dito...?", Disvi kembali menyelidiki.

"Tian pernah lihat Vio... dijemput sama Dito", Alfan bicara pelan, suaranya seakan menghilang. Bahkan Alfan tidak berani menatap wajah Disvi yang ada di sampingnya.

"Kok g'ak manggil...? Kapan...?", Disvi bertanya bingung, mengingat kembali kapan dia pernah bertemu dengan Alfan saat bersama Dito.

"2 hari yang lalu, dia jemput Vio di rumah", Alfan menjawab malas.

Disvi memutar kembali otaknya, "Hem... Vio kerumahnya Dito", Disvi menjawab santai.

"Rumah Dito...? Ngapain...? Katanya udah putus sama Dito, g'ak balikan lagi...? Kok malah ke rumahnya Dito...?" Alfan melemparkan pertanyaan bertubi-tubi.

"Santai bos, napas ngapa", Disvi tertawa terbahak-bahak.

Alfan segera memasang wajah tidak puas di hadapan Disvi.

"Ibunya Dito kaget saat tahu Vio putus sama Dito, karena kepikiran akhirnya ibunya Dito jatuh sakit. Ibunya Dito memilih untuk pulang ke Bandung tempat neneknya Dito, jadi... minta Vio ke sana untuk mengucapkan salam perpisahan", Isvi menjelaskan panjang lebar.

"Terus... Vio g'ak keberatan gitu...?", Alfan kembali bertanya tidak puas.

Disvi melemparkan senyum terbaiknya, "Ibunya Dito sudah Vio anggap ibu sendiri, Tian tahu saja, Vio jadian sama Dito sudah lama. Apa salah seorang anak ingin melepaskan kepergian ibunya berobat ke luar kota...?", Disvi bertanya tanpa daya.

Terdengar suara ketukan pintu, sesaat kemudian seorang lelaki muncul dari balik daun pintu.

"Maaf mbak kunci motornya", lelaki itu menyerahkan kunci motor ke tangan Disvi.

"Udah Vio transfer ya bang", Disvi menerima kunci motor pemberian lelaki itu.

"Iya, terima kasih mbak. Kalau begitu saya permisi", lelaki itu segera mohon diri.

Disvi hanya mengangguk patuh, Disvi menyerahkan kunci motor ke tangan Alfan.

"Berapa...?", Alfan bertanya lembut.

"Vio masih punya uang jajan kali", Disvi segera memberikan keberatannya.

"Tian g'ak enaklah, motornya Tian kok malah Vio yang bayarin", Alfan bicara dengan basa-basinya.

"Kalau g'ak enak, kasih kucing aja", Disvi menjawab santai.

"Di lepehin, kucing aja g'ak doyan", Alfan kembali menimpali.

Disvi segera beranjak dari posisi duduknya menuju toilet yang berada di ujung ruangan.

Daun pintu di buka paksa tanpa aba-aba, Aryo muncul dan langsung duduk di bangku tepat di samping tempat tidur Alfan.

"Ibunya Nisa nyariin kamu, Nisanya juga kepo dari kemarin...", Aryo tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Alfan sudah mencubit lengan Aryo.

Disvi keluar dari arah toilet, "Siapa yang nyariin Tian...?", Disvi bertanya lembut, memasang muka bingung.

Alfan segera melotot ke arah Aryo.

"Oh... itu, adiknya Aryo. Alfan janji mau bawain dia coklat pulang sekolah. Makanya dari tadi sibuk nelfonin", Aryo memberikan alasan sekenanya.

Alfan malah ikutan nyengir kuda sama seperti Aryo.

"Hem...", Disvi mengangguk pelan. "Udah sore, Vio pulang dulu. Badan lengket mau mandi", Disvi segera berlalu bersama tas sekolahnya.

"Kamu kalau ngomong, lihat kiri kanan dulu napa", Alfan memukul pelan lengan Aryo.

Aryo malah nyengir kuda.

"Kapan ibunya Nisa pulang...?", Alfan bertanya pelan, kembali memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman.

"Nisa lagi menyelesaikan administrasinya", Aryo bicara pelan.

"Semua udah kamu lunasi bukan...?", Alfan mengerutkan keningnya.

"Udah, kamu tenang aja", Aryo bersandar di punggung kursi.

"Terus... kenapa kamu malah disini bukannya bantuin Nisa", Alfan mulai protes.

"Ngapain...", Aryo malah balik bertanya.

"Setan alas, pakai pura-pura. Kalau naksir itu di kejar bego", Alfan bicara kesal.

"Dianya naksir kamu", Aryo bicara dengan kepala tertunduk.

"Siapa...? Nisa...? Sama Alfan...?", Alfan bertanya tidak percaya.

"Siapa lagi setan", Aryo menjawab sengit.

Alfan malah tertawa terbahak-bahak, "Nisa itu sudah kayak adik Alfan sendiri", Alfan bicara dengan makna yang jauh lebih dalam.

"Serius kamu...?", Aryo kembali bertanya, memastikan perasaan Alfan kepada Nisa.

"Kalau Alfan naksir Nisa, udah lama kali Alfan pacari. Lagian... Nisa itu terlalu baik, kalau hanya buat Alfan mainin. Bangsat banget rasanya kalau Alfan sampai mainin dia", Alfan kembali menjelaskan panjang lebar.

Aryo malah senyum-senyum sendiri.

"E... malah nyengir nih bocah kayak orang kesurupan, udah sana bantuin", Alfan memukul pelan lengan Aryo.

Aryo segera berlalu pergi dari hadapan Alfan.

"Dasar Aryo, g'ak pernah peka jadi cowok", Alfan bicara lirih.

***

Disvi berjalan perlahan memasuki teras panti. Tiba-tiba seseorang menarik lengan Disvi dengan kasar, sebuah tamparan segera mendarat di pipi Disvi.

Disvi segera tersungkur di lantai, "Astagfirullah hal'azim", Disvi bicara pelan.

"Astagfirullah hal'azim, mbak Disvi...", beberapa anak panti segera berlarian keluar menghampiri Disvi yang masih terduduk di lantai.

"Mbak g'ak apa-apa...?", salah satu anak panti bertanya cemas.

Disvi memaksakan senyumnya, "Mbak baik-baik saja, bawa adek-adek ke dalam", Disvi segera memberikan perintah kepada perempuan yang berusaha membantunya untuk berdiri.

"Tapi mbak...", perempuan itu berusaha protes.

"Kamu dengar mbak kan...?", Disvi memberikan penekanan kepada ucapannya kali ini.

"Baik mbak", perempuan itu mengangguk patuh, kemudian membawa anak-anak panti lainnya masuk kedalam rumah.

Disvi segera berdiri setelah mengontrol emosinya. Disvi mengerutkan keningnya menatap perempuan yang barus saja mendaratkan tamparan di wajahnya, pipinya masih terasa panas.

"Maaf, mbak siapa...?", Disvi bertanya bingung.

Disvi kembali mengingat-ingat dimana dia pernah bertemu perempuan ini.