Chapter 18 - Kamu cemburu...?

Aryo menyeruput pelan minuman kaleng yang ada di genggaman tangannya.

"Ada Disvi dan Bu Mayang di luar", Aryo bicara pelan setelah meneguk minumannya.

"Hem...", Alfan bergumam pelan, tetap meletakkan lengan kirinya menutupi matanya.

"Kenapa kamu bisa di serang sama orang...? Kamu punya masalah sama orang...?", Aryo bertanya pelan.

"G'ak", Alfan menjawab malas, "Kenal juga g'ak", Alfan kembali menimpali.

"Kalau kamu g'ak kenal mereka, terus g'ak punya masalah sama mereka. Kenapa mereka tiba-tiba menyerang kamu...?", Aryo bertanya bingung.

"Mereka mau merampok Bu Yeli", Alfan menjawab santai.

Aryo segera menempelkan punggung tangan kanannya ke kening Alfan, "G'ak panas", Aryo bicara dengan menunjukkan muka serius.

Alfan menyingkirkan telapak tangan Aryo dengan kasar, "Resek", Alfan menjawab kesal.

Aryo tertawa terbahak-bahak, "Kamu selalu bilang Bu Yeli nenek sihir, beliau udah masuk daftar hitam kamu. Bukan hanya sekali dua kali kamu ngejahili beliau, kamu juga sudah g'ak hitungan kali bolak-balik ke ruang BK gara-gara di laporin beliau. Malah terakhir, kamu hampir di DO dari sekolah, kalau bukan karena Bu Mayang pasang badan, mungkin kamu sudah di keluarkan dari sekolah", Aryo memulai khutbahnya.

"Walau bagaimanapun, tetap saja Bu Yeli orang tua kita", Alfan menjawab dengan suara pelan.

"Cerdas", Aryo tertawa renyah.

"Kamu ngapain jam segini udah nongkrong di sini...? Bukannya di sekolah", Alfan bertanya pelan, baru menyadari kalau ini masih jam sekolah.

"Di culik sama Bu Mayang", Aryo menjawab santai, kemudian memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman.

"Di culik gimana...?", Alfan mengerutkan keningnya.

"Bu Mayang sebelum kesini berantem sama kepala sekolah", Aryo menjelaskan perlahan.

"Kepala sekolah..? Kenapa...?", Alfan bertanya bingung.

Aryo mengangkat kedua bahunya, "G'ak tahu", Aryo menjawab santai.

"Terus... kamu tahu dari mana Bu Mayang berantem sama kepala sekolah...?", Alfan bertanya tidak sabaran.

"Pas di mobil, Bu Mayang ngomel sendiri. Dari omelannya saya tahu kalau Bu Mayang habis debat sama kepala sekolah", Aryo menjawab santai.

"Masalahnya...?", Alfan bertanya bingung.

"G'ak terlalu jelas, dari yang saya dengar. Bu Mayang g'ak terima kepala sekolah lebih mementingkan nama baik sekolah, ketimbang nyawa siswa sendiri. Saya rasa itu menyangkut masalah kamu", Aryo menjelaskan tidak yakin.

"Iya gitu...?", Alfan menjawab santai.

***

"Kamu cemburu...?", Bu Mayang bertanya dengan senyum penuh makna.

"Hah... apanya...?", Disvi bertanya bingung.

"Nada suara kamu seolah menghakimi saya, makanya saya tanya, kamu cemburu...?", Bu Mayang bertanya lembut, senyum khasnya kembali merekah.

"G'aklah buk, siapalah saya buat Tian", Disvi tertawa getir, menertawakan dirinya sendiri.

"Tian...?", Bu Mayang bertanya bingung.

"Alfan Bagustian", Disvi menjelaskan.

"Oh...", Bu Mayang mengangguk pelan.

Bu Mayang menarik nafas dalam-dalam, "Pada dasarnya, Alfan itu anak yang baik. Dia sangat peduli dengan teman-temannya, hanya saja... Alfan itu punya caranya sendiri untuk menunjukkan kalau dia peduli dengan orang lain. Dan... terkadang, caranya itu yang tidak bisa dipahami oleh orang lain", Bu Mayang bicara lembut.

"Hem...", Disvi mengangguk patuh.

Pintu ruang rawat inap Alfan terbuka, Aryo muncul dari balik daun pintu.

"Bagaimana keadaan Alfan...?", Bu Mayang segera menyerbu Aryo.

Aryo mengambil posisi duduk dengan nyaman sebelum menjawab pertanyaan Bu Mayang.

"Bonyok", Aryo menjawab santai.

"Ya Allah, terus gimana...?", Bu Mayang segera panik.

"Santai buk, namanya orang berantem ya bonyok. Tapi... pada dasarnya dia baik-baik saja", Aryo segera menjelaskan.

"Terus... kenapa kita g'ak boleh masuk...?", Bu Mayang dan Disvi bertanya hampir bersamaan.

Aryo segera bertepuk tangan, "Wah... bisa Aryo daftarin tim padus untuk tujuh belasan besok", Aryo tertawa renyah.

Bu Mayang segera mencubit lembut perut Aryo, "Ibuk serius", Bu Mayang bicara kesal.

"Ampun buk, sakit", Aryo mulai menggeliat karena merasa geli, dari pada sakit.

Bu Mayang segera melepaskan cubitannya dari perut Aryo.

"Ibuk seperti baru kenal Alfan kemarin sore aja, dia paling tidak mau sisi paling lemahnya dilihat oleh orang lain", Aryo menjelaskan perlahan.

"Lalu kita ngapain lagi disini...?", Bu Mayang bertanya utus asa.

"Sebaiknya ibu kembali ke sekolah saja, biar Disvi sama Aryo yang jagain Alfan disini", Aryo kembali menimpali.

HP Bu Mayang berteriak nyaring, Bu Mayang segera meraih HPnya. Setelah diam sejenak, "Baik, saya mengerti", Bu Mayang segera menutup hubungan telfon.

"Kamu beneran tidak apa-apa disini...? Apa tidak sebaiknya ibuk telfon orang tuanya Alfan...?", Bu Mayang memberikan saran.

"G'ak perlu buk", Aryo dan Disvi menjawab hampir bersamaan.

"Lho... kenapa...?", Bu Mayang bertanya bingung.

"Ibu lupa kejadian terakhir kali, Alfan kabur dari rumah sakit. Ibuk mau kejadian itu terulang lagi...?", Aryo kembali mengorek ingatan Bu Mayang.

"Ya sudah, ibuk tinggal kalau begitu. Kalau ada apa-apa langsung telfon ibuk", Bu Mayang kembali memberikan ultimatum sebelum berlalu pergi.

"Siap", Aryo memberikan posisi hormat bendera kepada Bu Mayang.

Bu Mayang segera berlalu dari hadapan Aryo dan Disvi.

"Masuk gih", Aryo memberikan perintah kepada Disvi.

"Boleh gitu...? Ntar diusir lagi", Disvi bicara pelan, bibirnya cemberut mengingat kelakuan Alfan.

"Kalau di usir lagi, ya resiko, hahaha", Aryo tertawa renyah.

"Resek", Disvi memukul pelan lengan Aryo.

"G'ak balak diusir, percaya deh", Aryo memberikan jaminan. Aryo segera beranjak dari kursinya.

"Aryo mau kemana...?", Disvi bertanya pelan.

"Nyari angin", Aryo menjawab dengan nyengir kuda.

"Cepetan", Disvi kembali memberikan syarat.

"Kenapa...? Takut kangen ya...?", Aryo kembali nyengir kuda.

Disvi malah memukul kepala Aryo, "GR", Disvi nyeletuk kesal. Kemudian mulai membuka perlahan daun pintu ruang rawat inap Alfan.

Alfan segera berlari menahan tubuh Alfan yang nyaris jatuh kelantai.

"Astagfirullah hal'azim", Disvi bicara cemas. "Tian mau kemana...?", Disvi bertanya lembut.

"Haus", Alfan bicara dengan suara serak.

Disvi kembali membantu Alfan untuk berbaring keras tempat tidur, kemudian memberikan bantal untuk sandaran punggung Alfan agar lebih nyaman.

Disvi mengisi gelas kosong dengan air putih, segera menyerahkan ke tangan Alfan.

"Terima kasih", Alfan menyerahkan gelas kembali kepada Disvi setelah menghilangkan hausnya.

"Aryo kemana...?", Alfan bertanya pelan.

"Nyari angin katanya", Disvi menjawab pelan, kemudian duduk di bangku tepat di samping tempat tidur Alfan.

Alfan meletakkan lengan kanannya di belakang kepalanya, Kemudian menatap langit-langit rumah sakit.

"Jangan lama-lama liatin Tian", Alfan bicara pelan.

"Lho... memangnya kenapa...?", Disvi bertanya bingung.

"Ntar jatuh cinta", Alfan menjawab asal.

"Puih...", Disvi pura-pura meludah.

Alfan tertawa renyah, Alfan menatap lekat wajah Disvi.

"Astagfirullah hal'azim", Alfan segera mengalihkan tatapannya.

"Kenapa...? Ada yang sakit...? Vio panggil dokter", Disvi melemparkan pertanyaan bertubi-tubi.

Alfan meraih lembut jemari tangan kiri Disvi dengan tangan kanannya, kemudian menempelkan tepat di dadanya.

"Tian bisa mati", Alfan bicara lirih.

"Vio panggil dokter dulu", Disvi berusaha berdiri berniat meninggalkan Alfan.

Alfan menarik genggaman tangannya di pergelangan tangan Alfan. Beruntung refleks Disvi bagus, tangannya segera memegang kasur Alfan, sehingga tidak jatuh di dada Alfan. Muka Disvi hanya berjarak satu jengkal dengan muka Alfan, Disvi tidak berani bergerak sama sekali, Alfan masih mencengkeram erat pergelangan tangan kirinya.

"Dokter tidak akan bisa membantu Tian", Alfan bicara dengan makna yang jauh lebih dalam.

"Kenapa...?", Disvi bertanya bingung.

"Bukan Vio yang jatuh cinta kepada Tian. Saat ini, sepertinya Tian yang sudah jatuh cinta sama Vio", Alfan bicara lirih, menatap dalam ke bola mata Disvi, langsung menusuk tepat jantung Disvi.