Alfan menarik nafas dalam-dalam, "Setelah kepergian Almarhumah, Tian merasa Tian yang bertanggung jawab atas kematian Alfatira. Tian g'ak pantas untuk bahagia", Alfan bicara dengan penuh penekanan.
"Hidup akan terus berjalan, Alfatira akan sedih kalau tahu Tian seperti ini", Disvi bicara dengan kesedihan yang dalam.
"Tian pemakek", Alfan bicara diluar dugaan Disvi.
"Maksudnya...?", Disvi mengerutkan keningnya.
"Tian ngobat", Alfan bicara pelan.
"Tian sakit...? Sakit apa...?", Disvi bertanya cemas.
Alfan malah tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Disvi.
"Kok malah tertawa...?", Disvi bertanya bingung.
"Kokain, ganja, ekstasi, heroin, inex, putau, Methamphetamine", Alfan bicara dengan pelan.
"Tian narkoba...?", Disvi bertanya tidak percaya.
"Mulai dari bentuk bubuk, obat tablet, cair, kristal, dikeringkan. Mau yang di hisap, di suntik, di minum, udah Tian pakek", Alfan bicara lirih.
"Astagfirullah hal'azim", Disvi beristighfar karena merasa kaget dengan pengakuan Alfan.
"Bukan itu saja", Alfan menatap lekat wajah Disvi. "Bir, anggur, gin, rum, whiskey, tequila, Vodka, brandy, bahkan absinth yang kadar alkoholnya 90% udah Tian tenggak", Alfan bicara jujur.
Air mata Disvi mulai menyerbu ingin keluar dari bola matanya, "Apa yang Tian dapat dari semua itu...?", Disvi bertanya lembut.
"Ketenangan, setidaknya Tian bisa melupakan sejenak masalah Tian", Alfan bicara lirih.
"Itu hanya akan merusak diri Tian saja, pelan-pelan dia akan membunuh Tian dari dalam", Disvi mengingatkan Alfan.
"Tian tahu resikonya", Alfan bicara jujur.
"Lalu kenapa masih di kerjakan...?", Disvi bertanya tidak percaya.
"Langit Tian seolah runtuh saat melihat tubuh Alfatira terbaring kaku. Coba saja Tian lebih cepat sedikit, mungkin dia masih hidup sekarang", Alfan menyesali masalalunya yang kelam.
"Itu sudah jalannya Tian. Maut, langkah, jodoh, rezeki, semuanya rahasia yang diatas", Disvi bicara lirih.
Alfan tertawa getir, "Vio tahu tidak...? Aryo rusak gara-gara Tian", Alfan bicara lirih.
"Maksudnya...?", Disvi bertanya bingung.
"Dia makek karena Tian", Alfan bicara jujur.
"Tian maksa dia buat makek...?", Disvi bertanya tidak percaya.
"Malam itu Tian habis makek, dia datang ke kamar Tian, katanya dia sakit kepala, jadi minta obat tidur.
Begoknya tu anak, malah main minum saja obat yang ada di laci meja belajar Tian. Pas Tian bangun, dia udah teler. Tian tanya dia habis makan apa, katanya obat yang ada di laci Tian. Dia kira itu obat tidur, padahal itu inex", Alfan bicara pelan.
Alfan menatap lekat wajah Disvi, "Kok malah diam...? Kenapa...? Nyesel kenal dan temenan sama Tian...?", Alfan bertanya diluar dugaan Disvi.
Disvi hanya tersenyum tipis.
"Mungkin Tian ngebanggain orang tua Tian. Papa Tian orang yang punya jabatan, dan banyak di segani sama orang.
Tian pernah satu kali, buka ganja 2 kilo di depan polisi", Alfan bicara dengan senyum penuh makna.
"Nyari mati", Disvi bicara kesal dengan kebodohan Alfan.
Alfan malah tertawa terbahak-bahak, "Aryo bahkan mudur saat melihat isi bungkusan itu. Lagian dia yang begok, Tian udah bilang jangan di buka, dianya masih berisik aja nanya itu bungkusan apaan. Tian suruh dia buka, pas tahu itu ganja, dia langsung pucat pasi dan mundur", Alfan bicara pelan.
"Terus... polisinya bilang apa...?", Disvi bertanya penasaran.
"Dia diam aja, terus pergi gitu saja", Alfan tertawa getir.
"Terus...sampai sekarang Tian masih makek...?", Disvi bertanya penuh tanya.
Alfan menggeleng pelan, "Udah g'ak, tinggal rokok. Itu yang susah buat Tian tinggalkan. Kepala Tian pusing kalau tidak merokok, mungkin karena keseringan makek", Alfan tertawa renyah.
"Sehari berapa bungkus...", Disvi bertanya asal.
"2 atau 3", Alfan menjawab santai.
"Astagfirullah hal'azim, kurangin. Syukur-syukur bisa berhenti", Disvi bicara penuh harap.
Alfan tersenyum lembut, "Tian coba, tapi... g'ak janji", Alfan menjawab santai.
"Mau sampai kapan kita disini...?", Alfan bertanya tiba-tiba.
"Vio anterin Tian pulang", Disvi berdiri dan mendekati motornya.
"Tian yang bawa", Alfan bicara pelan.
Alfan bukannya pulang ke rumahnya malah mengantarkan Disvi pulang ke rumahnya.
"Lha... kok malah ke sini...?", Disvi bertanya bingung, saat Alfan belok ke lorong rumahnya.
"Tian bisa pulang jalan kaki", Alfan bicara pelan, setelah menghentikan motor.
Disvi segera turun dari motornya, "Tian bawa pulang saja motornya", Disvi bicara pelan, setelah turun dari motor.
"Vio g'ak takut Tian jual motornya...?", Alfan bertanya diluar dugaan Disvi.
"Uangnya buat apaan...?", Disvi bertanya malas.
"Beli narkoba mungkin...? Atau minuman keras...?", Alfan menjawab ringan.
"Kalau mau, jual aja", Disvi menjawab pelan, sebelum berlalu meninggalkan Alfan sendirian dalam kebingungannya.
"Cewek gila", Alfan menggeleng tidak percaya dengan reaksi Disvi.
Belum juga Alfan menghidupkan motor kembali, HP Alfan berbunyi.
"Kamu dimana...?", terdengar suara lelaki dari ujung lain telfon.
"Astagfirullah hal'azim, Alfan langsung ke rumah sakit", Alfan segera memutuskan hubungan telfon, kemudian dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Alfan memutuskan untuk menuju resepsionis.
"Keluarganya Nisa ya...?", suster yang sebelumnya bertemu dengan Alfan segera bisa mengenali Alfan.
"Iya sus, bagaimana keadaan ibunya Nisa...?", Alfan bertanya lembut.
"Alhamdulillah kondisi beliau sudah jauh lebih baik, beliau sudah di pindahkan ke ruang rawat inap sekarang", suster muda itu bicara pelan, senyumnya mengembang.
Alfan menatap papan yang ada di belakang suster muda tersebut, mencari ruangan ibunya Nisa.
"Terima kasih suster", Alfan segera mohon diri, menyusul Nisa di ruang rawat inap ibunya.
Alfan membuka pintu perlahan, terlihat Nisa sudah tertidur di atas sofa. Aryo yang melihat Alfan muncul, segera mendorong Alfan keluar dari ruangan. Aryo memilih untuk duduk di bangku tunggu di lorong rumah sakit, karena sudah hampir larut malam suasana sepi.
"Kamu dari mana saja...? Tangan kamu gimana...? Kamu g'ak apa-apa kan...?", Aryo menghujani Alfan dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
Alfan bukannya menjawab malah tertawa renyah, "Alfan udah gede kali Yo, g'ak perlu cemas kayak gitu", Alfan segera beranjak dari kursinya.
"Kamu mau kemana...?", Aryo segera menyusul Alfan.
"Kantin, laper", Alfan menjawab santai.
Alfan memutuskan untuk tidur di rumah sakit bersama Aryo, saat azan subuh berkumandang, Alfan memutuskan untuk pulang. Alfan segera pulang dan bersiap untuk ke sekolah, Alfan sengaja menggunakan jaket untuk menutupi luka di sikunya. Pagi-pagi buta, Alfan sudah duduk di teras rumah Disvi.
"Tian...? Sejak kapan di sini...?", Disvi bingung saat membuka pintu, Alfan sudah tertidur di teras rumahnya.
"Udah dari semalam sih", Alfan bicara santai, kemudian menggosok kasar matanya.
"Tian g'ak pulang semalam...?", Disvi bertanya penasaran.
Alfan segera naik motor, "Hayu berangkat ntar telat", Alfan menyerahkan helm ke tangan Disvi.
Disvi segera menggunakan helm, kemudian naik ke bangku penumpang.
"Tian belum jawab pertanyaan Vio", Disvi kembali menagih jawaban.
"Pertanyaan yang mana...?", Alfan bertanya bingung, menoleh ke belakang.
"Tian g'ak pulang semalam...?", Disvi kembali mengulang pertanyaannya.
Alfan tertawa renyah, "Pulanglah, ya kali Tian nginap di teras rumah orang. Ya mending di kasih gaji, ini udah di gigit nyamuk g'ak dapat apa-apa lagi", Alfan kembali tertawa.
Alfan segera menjalankan motornya perlahan, Alfan tiba-tiba menginjak rem motornya.
"Astagfirullah hal'azim", Disvi segera berteriak ngeri melihat pemandangan di depan matanya.