Alfan berdehem pelan, berusaha menenangkan dirinya. Memutar keras otaknya mencari alasan yang tepat untuk disampaikan kepada Nisa.
"Ibuk lagi dapat perawatan sama dokter, Alfan harus pergi sebentar. Nisa disini jagain ibuk", Alfan bicara lembut.
"Tapi Fan...", Nisa berusaha protes.
Alfan meletakkan telapak tangan kanannya lembut ke pipi kiri Nisa. "Semua akan baik-baik saja, percaya sama Alfan", Alfan bicara selembut yang dia bisa.
Nisa tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.
"Alfan pergi dulu, g'ak akan lama. Paling satu jam-an", Alfan melemparkan senyum terbaiknya.
"Hati-hati Fan", Nisa enggan melepaskan kepergian Alfan.
"Pasti", Alfan tersenyum sebelum berlalu pergi dari hadapan Nisa.
Alfan segera menaiki motornya, kemudian mengeluarkan HPnya, menekan salah satu nomor yang ada di layar HPnya.
"Kamu dimana...?", Alfan bertanya pelan.
"Sudah di tempat biasa", terdengar lelaki di ujung lain telfon menjawab cemas.
"Kasih telfon ke anak mami", Alfan memberi perintah.
Detik berikutnya terdengar suara anak lelaki yang meremehkan Alfan, "Kamu dimana...? Kalau takut bilang saja", terdengar tawa renyah dari ujung lain telfon.
"Aku mau buat perjanjian sebelum balapan", Alfan bicara dingin tanpa emosi sedikitpun dari suaranya.
"Perjanjian..", lelaki di ujung lain telfon mengulang bingung.
"Alfan terima tantangan kamu, tapi.. kali ini Alfan mau taruhannya di naikkan menjadi 30 juta", Alfan bicara dingin.
"Kamu gila, 30 juta itu bukan jumlah uang yang sedikit", lelaki di ujung lain telfon mulai protes.
"Dan Alfan mau itu uang tunai. Waktu kamu hanya satu jam dari sekarang, kalau tidak mau lupakan saja", Alfan segera menutup hubungan telfon tanpa menunggu lelaki di ujung lain telfon komentar.
Alfan memasukkan kembali HPnya kedalam saku celananya, kemudian segera menjalankan motornya perlahan menuju arena balapan biasanya.
"Kamu dari mana saja...?", Aryo yang gelisah langsung menghampiri Alfan.
"Ntar Alfan cerita, mana tu anak mami...?", Alfan bertanya malas.
Belum juga Aryo menjawab sebuah motor menderu dengan kencang memekakkan telinga.
"Kita langsung mulai saja", Alfan langsung memberikan instruksi.
Lelaki yang duduk di boncengan lelaki yang baru saja datang segera turun, dengan tas yang melingkar di lengannya.
Balapan kali ini berbeda dari yang sebelumnya, kali ini Alfan bertekad untuk menang. Masih ada setengah perjalanan lagi, ada anak kecil yang tiba-tiba menyeberang, Alfan segera membanting stir ke arah lain, motor Alfan kehilangan kendali dan mendarat di semak belukar.
Alfan segera memindahkan anak kecil itu ke tempat yang jauh lebih aman, "Kamu lain kali hati-hati", Alfan mengacak pelan rambut bocah kecil itu.
Alfan bisa melihat si anak mami sudah melewatinya. Alfan segera meraih motornya kembali, melaju dengan kecepatan penuh. Akhirnya Alfan bisa menang tipis dari si anak mami.
"Kamu g'ak apa-apa Fan...?", Aryo bertanya panik, melihat darah segar mengalir di lengan baju Alfan.
"Kamu bukan manusia Fan, sesuai perjanjian. 30 juta, uang tunai", si anak mami mengakui kekalahannya. Menyerahkan tas yang di bawa oleh temannya sedari tadi.
Alfan hanya tersenyum tipis menjawab ucapan si anak mami.
"Sorry guys, kali ini g'ak ada traktiran", Alfan bicara lirih kepada teman-temannya.
Alfan menyapu tatapannya, mencari Aryo. "Aryo, Alfan bisa minta tolong...?", Alfan bertanya pelan. Alfan menyerahkan tas yang diberikan oleh si anak mami ke tangan Aryo, "Tolong Aryo ke rumah sakit umum, bayar biaya operasi ibunya Nisa", Alfan bicara pelan, segera menghidupkan motornya.
"Kamu mau kemana...?", Aryo segera menahan Alfan.
"Alfan ada urusan sedikit", Alfan menjawab malas.
"Kalau Nisa tanya, Aryo harus jawab apa...?", Aryo berusaha menahan Alfan.
"Bilang aja Alfan ada urusan, ntar Alfan telfon Nisa", Alfan menjawab malas.
"Tapi... luka kamu harus segera di obati", Aryo bicara cemas.
Alfan menatap kearah siku kirinya sekilas, "Gampang, ntar aja", Alfan bicara pelan. Detik berikutnya Alfan sudah menghilang dari hadapan Aryo dan teman-temannya.
Alfan segera menghadang motor si anak mami. Alfan turun dari motor dan menatap tajam ke arah si anak mami.
Alfan meletakkan kedua telapak tangannya diatas stang motor si anak mami, "Lain kali jangan curang", Alfan bicara dingin, tatapannya langsung mampu mengoyak tubuh lawan bicaranya.
"Maksud kamu apa bicara g'ak sopan begitu..", teman-teman si anak mami tidak terima temannya di rendahkan oleh Alfan.
"Perlu Alfan ambil Vidio CCTV rumah sakit buat buktikan teman kamu sengaja memotong rem Alfan...? Apa perlu kita bawa ke jalur hukum sekalian..", Alfan bertanya dingin, tatapannya siap mengoyak siapa saja yang ada dihadapannya.
"Fan, ini salah aku. Jangan libatkan teman-temanku", si anak mami mengakui kekalahannya lagi.
"Latihan yang benar kalau mau nantangin Alfan", Alfan segera menaiki motornya, dan memakai helm.
"Ah... satu lagi, skill kamu sudah jauh lebih mendingan di banding 2 bulan yang lalu. Hanya butuh latihan lebih keras aja", Alfan tidak lupa memuji si anak mami sebelum berlalu pergi bersama motornya dengan kecepatan tinggi.
Entah apa yang ada di otak Alfan, Alfan menghentikan motornya tepat di depan rumah Disvi.
"Kok malah kesini...?", Alfan memarkirkan motornya.
Karena melihat rumah Disvi sepi, Alfan memilih untuk duduk di bangku yang ada di teras rumah Disvi. Membuang asal tas yang ada di punggungnya ke lantai.
***
Disvi melangkah perlahan menuju rumahnya, "Astagfirullah Tian...?", Disvi kaget melihat Alfan yang tertidur di teras rumahnya.
"Tian...", Disvi menyentuh lengan Alfan.
"Aaauu", Alfan kaget karena rasa sakit yang tiba-tiba menyerang lengan kirinya.
Disvi segera meraih lengan kiri Alfan, darah segar masih mengalir di sana, "Astagfirullah hal'azim, Tian kenapa...?", Disvi bertanya cemas.
"Hahaha, g'ak apa-apa. Biasa anak cowok", Alfan tertawa renyah.
"Maaf...", Disvi segera membantu Alfan membuka jaketnya. "Astagfirullah Tian... ini harus di jahit, bukannya langsung ke rumah sakit, malah tidur disini", Disvi bicara setengah berteriak, tidak percaya dengan Alfan, bukannya ke rumah sakit, malah tidur di teras rumah Disvi.
Alfan hanya nyengir kuda, dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan tangan kanannya.
"Ikut Vio", Disvi memberi perintah.
"Mau kemana...?", Alfan berusaha protes.
"Rumah sakit jiwa, mau ngecek otak Tian yang udah geser", Disvi berteriak kesal.
Kali ini Alfan tidak berani membantah lagi melihat amarah Disvi, Alfan segera mengekor Disvi. Ternyata Disvi membawa Alfan ke klinik panti, luka Alfan mendapat 8 jahitan.
"Kalau bisa jangan kena air dulu, biar cepat kering lukanya", dokter klinik bicara pelan.
"Kalau bisa suntik mati aja sekalian mbak", Disvi menjawab sengit.
"Kejam amat, ntar malah kangen lagi sama si ganteng Alfan Bagustian lho. Gini-gini Tian limited edition...", Alfan kembali nyengir kuda.
Disvi malah memukul kepala Alfan pelan karena kesal.
Alfan bukannya marah malah tertawa terbahak-bahak.
"Ini obatnya, tiga hari lagi kesini, kita cek lukanya", dokter muda itu bicara lembut.
"Terimakasih mbak Hasna, tagihannya masukin ke Panti saja seperti biasa", Disvi bicara lembut.
"Kamu kayak sama siapa saja neng", Hasna mengusap lembut lengan Disvi.
Disvi memutuskan untuk kembali ke rumah, Alfan mengekor di belakang dengan patuh. Begitu tiba di teras rumahnya, tatapan Disvi langsung tertuju pada motor Alfan yang banyak goresan.
"Tian jatuh dari motor...?", Disvi bertanya bingung.
"Hehehe... g'ak lihat ada anak-anak tiba-tiba nyebrang sembarangan", Alfan kembali nyengir kuda.
"Makanya bawa motor jangan sambil tidur", Disvi kembali mengomeli Alfan.
Disvi segera meraih HPnya, menekan salah satu nomor yang ada di HPnya.
"Bang, bisa ke rumah...?", Disvi langsung bertanya tanpa basa-basi, detik berikutnya Disvi kembali memasukkan HP kedalam kantong celananya.
Disvi segera membuka daun pintu rumahnya.
"Vio sendiri...?", Alfan bertanya bingung.
"Iya, ibuk lagi pulang kampung, anaknya lahiran", Disvi menjawab santai.
"Ada apa mbak minta saya kesini...?", seorang lelaki entah muncul dari mana.
"Kunci motor", Disvi segera menyodorkan tangannya kehadapan Alfan.
"Buat apa...?", Alfan segera merogoh kantong celananya, menyerahkan kunci motor ketangan Disvi.
Disvi segera menyerahkan kunci motor Alfan ke tangan lelaki yang ada di hadapannya, "Mau Vio jual, buat bayar biaya pengobatan Tian", Disvi menjawab sengit.
Alfan tidak berani protes, hanya mengerutkan keningnya tidak tahu harus tertawa atau menangis mendengar tanggapan Disvi.