Alexa duduk di kursi besi yang dingin. Di depannya --hanya jarak satu meter-- berdiri tegak tembok putih dengan pintu bercat senada. Di tengah pintu tertempel papan persegi panjang dengan bertuliskan dr. Agung, Sp. KJ.
"Nyonya Alexa!"
Suara seorang wanita dari pintu yang terbuka memecah lamunan Alexa dari hamparan benda persegi berwarna putih, ubin rumah sakit.
"Ya, saya!" sahut Alexa.
Alexa bergegas mendekati wanita berpakaian serba putih itu.
"Silakan masuk, sudah di tunggu dokter di dalam," ujar suster Anne --begitulah yang tertera di papan nama yang tertempel di dada wanita itu.
Alexa mengangguk lalu masuk ke ruangan yang serba putih itu. Ia melihat seorang laki-laki paruh baya bertubuh tambun tengah menulis di secarik kertas putih. Laki-laki itu mendongak dan menyunggingkan senyuman tipis.
"Silakan duduk, nyonya Alexa," sapa dokter itu sambil tangannya mempersilakan Alexa untuk duduk.
Alexa menarik kursi di hadapannya lalu mendaratkan bokongnya pelan.
"Nyonya Alexa, oh maaf ternyata anda masih anak SMA. Kalau begitu, saya panggil dengan sebutan mbak Alexa saja ya. Usiamu mungkin seumuran anak saya yang di rumah," celoteh dokter Agung –setelah sebelumnya Alexa menjabat tangan dokter itu sambil memperkenalkan diri.
"Baiklah, mba Alexa. Setelah saya membaca hasil laporan dari rumah sakit yang sebelumnya, ternyata ibu mba Alexa mengalami gangguan psikologi yang mengakibatkan adanya gejala gelisah, ketakutan dan paranoid yang berlebihan. Karena itulah, Rumah Sakit yang sebelumnya merawat ibu mba Alexa merujuk ke rumah sakit jiwa ini," tutur dokter Agung.
Hati Alexa bagai dihunus pedang saat mendengar penjelasan dari dokter Agung. Ia tak menyangka ibunya menderita gangguan mental. Padahal ia yakin bahwa ibunya tak pernah menunjukkan gejala depresi hingga mencapai tanda-tanda seseorang yang mengalami sakit jiwa.
"A-apa … dokter tadi bilang apa? Mama saya sakit jiwa? Kenapa dokter?" cecar Alexa getir.
Ada penolakan dalam hati Alexa. Ia menduga bahwa dokter telah salah mendiagnosa penyakit ibunya.
Selama ini, ia merawat ibunya dengan baik di rumah dan selalu berada dalam kondisi yang stabil. Bukti dari itu semua adalah Alexa bisa berkomunikasi sangat baik dengan ibunya. Ia bahkan bisa menceritakan kesehariannya tanpa ada hambatan yang dituduhkan dokter ada ibunya. Alexa yakin ibunya hanya sakit batuk dan sesak nafas biasa. Penyakit yang sudah lama dan terkadang kambuh jika ibunya kelelahan. Lalu sekarang? Apa maksud dari dokter membeberkan fakta bahwa ibunya mengalami sakit jiwa?
"Dokter pasti salah! Mama saya tidak gila, dokter!" seru Alexa meradang.
"Saya mengerti perasaan mba Alexa, oleh karena itu saya memanggil mba Alexa menemui saya untuk mengecek kembali hasil diagnose saya." Dokter Agung mencoba menenangkan emosi yang meluap pada raut wajah Alexa.
"Mba Alexa membawa apa yang saya minta kemarin?" sambung dokter Agung setelah memperkirakan air muka Alexa sedikit mengendur.
Alexa langsung mengerti maksud dari dokter Agung. Ia membuka tas ranselnya dan mengambil sesuatu yang diminta oleh dokter Agung yakni obat mamanya. Satu bungkus kecil berisi obat-obatan yang biasa diminum oleh mamanya.
Ada tiga macam obat yang ada di dalam plastik obat itu. Alexa menyerahkan semua obat itu pada dokter Agung.
Dokter Agung mengecek satu persatu obat yang diserahkan oleh Alexa. Tak ada yang aneh dari obat-obatan itu. Tiga obat itu hanya obat pereda nyeri –analgesic, obat sakit kepala dan obat batuk. Semua obat itu didapat sesuai resep dokter –tak ada yang aneh.
Dahi dokter Agung sedikit berkerut. Ia terheran mendapati ketiga obat itu adalah obat yang lumrah dan sesuai dengan pengobatan untuk peyakit yang disebutkan Alexa tadi. Yang membuat dokter Agung eran adalah asil diagnosanya bertentangan dengan hasil riwayat keluhan pasien. Apakah dokter Agung salah mengecek kondisi mama Alexa?
"Dari ketiga obat ini tidak ada yang aneh. Semua sesuai untuk pengobatan gejala pasien. Tetapi saya tidak meragukan hasil diagnose ini," ujarnya sambil mengacungkan kertas yang berisi informasi tentang keadaan ibunda Alexa. "Saya tidak pernah salah mendiagnosa para pasien saya, tapi kali ini saya merasa janggal," gumam dokter Agung bingung.
Meski sebuah gumaman, tapi suaranya mampu ditangkap oleh telinga Alexa.
"Memangnya mama saya kenapa dokter? Kenapa dokter menyimpulkan bahwa mama saya sakit jiwa?" cecar Alexa.
"Begini, mba Alexa. Kondisi fisik nyonya Renata mungkin nampak sehat. Ia hanya menderita batuk sesekali dan terkadang nyeri pada sendi atau juga sesekali nyeri pada kepalanya. Hal itu lumrah … tapi hasil pengecekan dan gejala yang timbul beberapa waktu terakhir menunjukkan bahwa emosi nyonya Renata tidak stabil. Ia sering mengalami halusinasi. Halusinasi inilah yang sedang saya cari penyebabnya. Hasil pengecekan darah pada sample darah nyonya Renata menunjukkan ada zat adiktif yang sudah lama dikonsumsi oleh nyonya Renata. Karena itu, saya meminta mba Alexa untuk membawa obat-obatan yang biasa dikonsumsi oleh nyonya Renata. Tapi saya sedikit kecewa, karena ternyata obat yang dibawa mba Alexa sama sekali tidak ada hubungannya dengan hasil pengecekan darah. Aneh … "
Alexa bergeming. Ia mengingat-ingat apa saja yang biasa ia lakukan pada ibunya. Tak ada yang aneh. Tapi kemudian matanya membulat lebar. Ia ingat pernah mendapati Ben –ayah tirinya—acapkali memberi sebuah permen.
"Dokter! A-aku ingat!" pekik Alexa gugup.
Dokter Agung menatap Alexa dengan sangat antusias. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Alexa yang membuat ekspresinya sangat terkejut itu.
"Aku pernah melihat, mama mengunyah sesuatu yang membuatnya selalu tenang. Mmm… seperti permen karet tapi aku tidak yakin permen karet merek apa," ujarnya.
"Permen karet ya … " sahut dokter Agung sambil memegang dagu khas orang yang sedang berpikir keras.
"Baiklah kalau begitu, untuk hari ini cukup sampai di sini saja. Selanjutnya akan saya beri resep dan tugas yang baru untuk mba Alexa pada kertas note," ujarnya mengakhiri agenda konseling Alexa dengannya.
Setelah menuliskan resep, dokter Agung menyerakan kertas pada Aexa. Terlihat ada dua lembar kertas yang diterima Alexa. Satu lemar kertas berisi resepyang akan ia tebus di apotik depan rumah sakit. Dan satu lagi adalah catatan yang Alexa tidak sempat membacanya karena dokter Agung menjedanya dengan mengulurkan tangan hendak menjabat tangan Alexa.
Alexa memasukkan kertas itu ke dalam tas ranselnya. Ia lalu keluar dari ruangan dokter Agung dengan raut wajah murung. Kesedihannya diakibatkan karena pernyataan dokter Agung yang menyatakan bahwa ibunya tengah mengalami gangguan jiwa.
Tanpa sadar ia menabrak bahu seseorang.
"Maaf pak!"
Buru-buru Alexa meminta maaf.
"Tidak apa-apa, dik. Saya yang salah, karena terburu-buru. Ada pasien yang harus segera saya tangani," ujarnya.
Alexa mendongak. Bagikan tersihir oleh sesuatu, ia mengerjapkan matanya seketika saat sedetik sebelumnya terpana oleh ketampanan dokter yang menabraknya. Kiranya itulah dugaan Alexa pada laki-laki itu, mengingat pakaian serba putih yang dikenakan laki-laki itu ditambah lagi ucapan lakilaki itu yang menyebut "pasien" dalam kalimat maafnya.
"Kamu tidak apa-apa dik?" tanyaya lagi.
Sungguh, otak Alexa seperti tumpul saat itu juga. Lidahnya kelu tidak dapat menjawab sapaan lelaki itu.
"Ah, i-iya. Saya tidak apa-apa pak," gagap Alexa.
Dokter itu menyunggingkan seulas senyuman tipis, lalu pergi meninggalkan Alexa yang masih terpaku menatap kepergian lelaki tu hingga punggung lelaki itu hilang dari pandangan.