Chereads / CRAZY GAY RICH ASIA / Chapter 5 - Bagian 5. Bagas 1

Chapter 5 - Bagian 5. Bagas 1

"Bagas, kamu teh sudah bangun ?" tanya seorang perempuan ketika melongok ke sebuah kamar.

"Udah, mak !" jawab seorang anak remaja yang menggeliat bangun dari tempat tidurnya.

"Sok, bangun kasep! cuci muka dan ibadah subuh dulu sana! setelah itu bantu emak di dapur !" perintah perempuan itu sambil tersenyum dan kemudian pergi. Remaja yang bernama Bagas itu duduk di pinggir tempat tidur sambil mengusap wajahnya. Dia melirik jam dinding yang tertempel di dinding bilik bambu, yang menunjukan setengah lima pagi. Dia pun bangun dan menuju ke keluar kamar dan menuju dapur, terlihat asap dari tungku kayu bakar tercium aroma nasi yang di tanak di atas dandang. Terlihat emaknya yang berusia 40 tahun sedang membuat adonan membuat kue untuk di jual di warung-warung seperti biasa.

Bagas membuka pintu belakang dan menuju kamar mandi yang memang berada dihalaman belakang bersebelahan dengan rumahnya di sampingnya ada sumur dan pompa. Bagas masuk ke kamar mandi dengan keadaan di luar masih agak gelap dan dingin maklum berada di kaki sebuah gunung. Tapi remaja berusia 14 tahun, itu sudah terbiasa dengan situasi seperti itu. Maklum anak desa, dia mencuci muka dan berwudhu setelah itu, melakukan ibadah. Sementara bapaknya sudah pergi ke mushola tadi pukul 4 subuh.

Setelah selesai dia ke dapur membantu emaknya membuat kue, yang hasilnya memang tidak banyak. Cukup biaya belanja sehari-hari. Kedua orang tua Bagas menempati rumah mendiang kakek dan neneknya dari ayahnya. Bagas punya kakak perempuan yang sekarang sudah menikah muda. Bagas anak bungsu. Ayahnya hanya seorang petani yang menggarap sawah. Sebenarnya sawah dan kebun milik kakek dan neneknya cukup luas, hanya memang sudah di bagi rata dengan adik dan kakak ayahnya sebagai warisan. Sawah milik ayahnya yang bernama Rahmat pun sudah berkurang setengah karena untuk biaya pernikahan kakaknya yang bernama Dewi. Untung masih punya kebun satu di belakang rumah dan satu lagi tidak jauh dari sawah.

Kebun di belakang rumah di tanami, cabe tomat dan beberapa sayuran dan serta kolam ikan yang tidak besar, beserta dua sapi dan dua kambing. Satu sapi milik tetangganya yang dititipkan di sini. Bagas lah yang mengurus ternak. Satu sapi akan di jual nanti bila dia masuk kuliah nanti. Sedang di dekat sawah di tanami singkong dan pohon pepaya.

"Sudah kamu mand sanai, sarapan dan berangkat sekolah !" perintah emaknya yang melihat semua pekerjaannya sudah beres, Bagas mengangguk, tubuhnya berkeringat karena di dapur cukup gerah dan perih karena asap dari tungku masak yang masih menggunakan kayu bakar.

Setelah mandi dia pun sarapan dan pamitan, sambil membawa dagangan yang akan di titpkan ke warung termasuk di sekolahnya. Nanti sore hari baru di tagih. Bagas termasuk anak yang pintar, tampan, berkulit kuning langsat. Berbeda dari teman-temannya berkulit coklat. Bagas tidak pernah sekalipun turun ke sawah, palingan ke kebun bersama emaknya.

Pak Rahmat sendiri bertubuh tegap, kekar khas lelaki desa. Sedang emaknya termasuk cantik terlihat muda, sekilas seperti bukan perempuan kampung. Lebih cocok sebagai wanita kota, banyak yang mengatakan itu. Kak Dewi pun mewarisi kecantikan emaknya, dia di lamar oleh pemuda yang seorang buruh pabrik di kota. Teman sekampungnya juga. Bagas sendiri sama, wajah tampan dari emaknya tubuh tegap dan atletis dari ayahnya.

Sampai saat ini Bagas termasuk punya banyak teman, baik di rumah maupun di sekolah. Banyak perempuan yang naksir kepadanya tapi sejauh ini belum memikirkan itu? atau memang tidak tertarik ? Bagas memang menyimpan rahasia. Walau dia seperti anak lelaki pada umumnya, sering berolah raga terutama sepak bola. Tapi sebenarnya ada sesuatu yang berbeda ketika melihat teman-temannya berkeringat atau telanjang dada serta mandi di sungai. Yang rata-rata memang kekar, seperti anak desa pada umumnya. Berbeda dengan dirinya, yang lain selalu membantu kedua orang tuanya di sawah atau ladang,

Bagas tiba di sekolah yang jaraknya cukup lumayan jauh dari rumahnya, tapi karena sudah terbiasa jadi cukup cepat berjalan kaki. Sesampainya di sekolah dia menuju kantin belakang menemui ibu warung sekaligus istri penjaga sekolah yang sudah berumur 45 tahun. Ibu warung sangat baik kepadanya.

"Bu ini !" katanya sambil memberikan kantong keresek kepada ibu warung kantin.

"Wah masih panas Gas !" ucap ibu kantin.

"Iya bu, seperti biasa !" jawab Bagas tersenyum.

"Ya sudah, sana masuk !" ujar ibu warung membalas senyuman Bagas, dia pun pamitan.

Setelah itu dia masuk ke kelas, begitulah kehidupan sehari-hari dari Bagas, kadang dia bermain bersama temannya atau pun diajak main sepak bola.

"Gas, nanti kita main lagi ke ladang pak haji Kosim! katanya pohon jambunya sudah berbuah lebat loh !" ujar Deni, teman sepermainannya di rumah.

"Iya sekalian bakar ikan !" kata Fajar.

"Eh tahu engga, anak kampung sebelah nantangin kita main sepak bola !" Iwan menambahkan. Ketika sedang nongkrong di belakang sekolah di waktu istirahat.

"Iya, boleh! nanti aku nyusul deh! setelah mengambil jualan !" jawab Bagas.

"Nah, gitu dong !" ucap Deni yang tubuhnya memang bongsor, sambil merangkul pundak Bagas, dan tiba-tiba nyosor mencium pipinya.

"Anjis !" Bagas kaget, Deni hanya tertawa.

"Kenapa, Gas? aku teh suka gemes sama kamu, jadi pengen cium !" katanya. Semua tertawa, dan menganggap itu hanya candaan saja. Tapi bagi Bagas ada perasaan merinding.

Deni bukan kali ini saja melakukan itu, kadang bila sedang bermain di sungai tiba-tiba memeluknya, padahal sama-sama telanjang. Deni memang bad boy. Suka berkelahi dengan anak lain, tapi jago olah raga. Tingkahnya terhadap dirinya membuat hati berdebar dan sensasi aneh yang membuat sesuatu dalam dirinya kadang terangsang dan membuat salah tingkah.

Semua menganggap itu hanya main-main, bahkan memperlihatkan kemaluan yang berdiri saja di anggap biasa dan main-main saja. Mereka masih menggap semua yang dilakukan masih di anggap biasa tak aneh.

Ketika pulang sekolah dia mampir ke warung dan ternyata semua dagangan habis dan mendapat uang yang cukup lumayan, menurut ibunya uang itu boleh untuknya. Buat uang jajan. Bagas jarang jajan, walau pun begitu sesekali dan tidak banyak. Sisa uangnya dimasukan ke celengan atau disimpan.

Setelah itu pulang ke rumah, emaknya baru pulang dari kebun dan mengantar makan siang untuk ayahnya. Emaknya tidak melarang Bagas bermain. Setelah makan siang dia pamitan pergi. Biasanya emaknya yang mengambil uang hasil dagangan.

Bagas tiba di lapangan yang berada di pinggir kampung, dia melihat teman-temannya sedang nongkrong menunggu perwakilan kampung sebelah. Dan terlihatlah rombongan yang di pimpin oleh anak yang sepantaran Deni, namanya Beni. Mirip satu sama lain sifatnya bad boy.

Untuk kali ini Bagas sebagai pemain cadangan bersama yang lainnya. Pertandingan sangat seru, sehingga seri sama kuatnya. Begitu sampai akhir dan untungnya tak ada insiden perkelahian seperti waktu sebelumnya. Semua tampak akrab dan saling bercanda. Bagas melirik ke arah Beni yang bertelanjang dada, tubuhnya termasuk kekar dan berotot, sedikit lebih di banding Deni. Tubuhnya basah oleh keringat. Tanpa di duga Beni menatapnya, sebelum skhirnya Bagas memalingkan wajah dengam muka merah.

"Hei bagaimana kalau kita mandi disungai ?" ajak Deni kepada semua, termasuk ke tim kampung sebelah.

"Boleh sih !" jawab Beni setuju. Dan semua pun beranjak pergi, termasuk Bagas yang ikut juga bersama mereka.

Bersambung ....