Chereads / Aku Adalah Hujan / Chapter 22 - Part 22 - Satu Gelas Bersama

Chapter 22 - Part 22 - Satu Gelas Bersama

"Gimana kabarmu, Ay?" Aksa membuka pertanyaan setelah terlihat cuanki di mangkok Hayya telah habis.

"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri? Gimana di Tegal?"

"Sepertimu."

Uhukkk

Ayya tiba-tiba batuk. Tersedak begitu saja mendengar ucapan Aksa.

"Sstt... pelan-pelan minumnya. Jangan mentang-mentang suka es jeruk. Biasa aja minumnya," ledek Aksa.

Ayya terlihat kikuk kali ini. Ia berusaha memasang ekspresi biasa saja. Angin berhembus cukup tenang siang itu.

"Ouh ya, kamu tadi dari mana emang? Kok bisa ngelamun gitu naik sepedanya?"

"Ouh... toko kue. Tempat kerjaku. Eh, tepatnya tempat kerjaku yang dulu."

"Ouh gitu. Sekarang dimana emang?"

"Dunia dongeng."

"Idihh apaan." Aksa menjitak pelan kepala Ayya. Mengacak-ngacak rambutnya sedemikian rupa.

"Hihh, Aksa. Jangan kayak anak kecil. Malu tau!" Jawab Ayya kesal tapi tersenyum.

"Lagian... ditanya serius malah jawab gitu."

"Emang beneran tau."

"Oh ya?" Aksa menghadapkan wajahnya tepat di depan wajah Ayya. Ia makin dekatkan wajahnya. Semakin dekat. Dan....

"Rambutmu banyak ketiban daun jatuh. Haha. Oh ya, pantesan kerjanya di dunia dongeng. Kamu dikira putri kali, ya."

"Putri yang jatuh dari pohon. Huaaaaaa." Aksa puas sekali meledek Ayya. Seperti hendak melampiaskan kerinduan dalam bentuk keceriaannya.

"Aksa... apaan, si."

"Apa? Sekarang jawab jujur. Sebenarnya sekarang dimana? Hum?"

"Ehmmm di toko bunga. Tapi bukan sekedar bunga. Itu kayak istana. Kayak negeri dongeng."

"Oh ya? Dimana? Deket dari sini?"

"Agak jauh."

"Aku boleh kesana?"

"Kan baru aja kesini."

"Oh... kamu pasti masih kangen sama aku, ya?" Aksa kembali meledak Ayya.

"Ih, nggak. Nggak banget."

"Masa? Tuh pipinya merah. Ciee."

Aksa memegang pipinya seketika. Melihat wajahnya di kamera ponselnya.

"Mana? Nggak merah tuh. Huh boong!"

"Haha...udah dulu... sakit perutnya ketawa mulu." Aksa menarik nafasnya lebih dalam. Menenangkan diri yang sedari tadi tertawa terus.

"Lagian kamu sih ngledekin terus."

"Gapapa dong. Mumpung ada kamu di sini."

Uhukk

"Eh... udah dibilang minumnya pelan-pelan, Ay."

"Ouh... udah habis. Mau pesenin lagi?"

Hayya menggeleng. "Atau... mau minum punyaku?"

"Emang mau minum satu gelas?"

"Kalau boleh."

"Yaudah, sok... Pelan-pelan tapi, ya."

Ayya menerima gelas minuman es jeruk dari Aksa.

Aksa memerhatikannya penuh khidmat. Seakan tak percaya perempuan yang disayanginya kini di sampingnya. Terlihat menggemaskan dan penuh kasih. Dekat di matanya. Dekat di hatinya.

"Ay...."

"Ya?"

"Kamu marah ndak sama aku?" Aksa bertanya dengan tatapan seolah mencari sesuatu di pandangannya. Sesekali menatap lurus ke depan.

"Marah atas hal apa?"

"Semuanya. Terutama kepergianku."

Hayya berhenti minum. Menaruh gelas itu di sisinya. Mematikan ponselnya. Membiarkan angin dan semerbak suasana jadi panorama terbaiknya.

"Sempat." Jawab Ayya singkat.

"Maaf."

"Aku yang semestinya meminta maaf, Sa. Aku egois."

"Hum?"

"Ya. Sebenarnya tadi aku ngelamunin kamu. Eh, tunggu. Jangan salah paham dulu. Maksudnya ehm..."

Ayya terlihat bingung mencari kosakata yang tepat untuk mengatakannya.

"Hihi... kamu lucu kalau bingung gitu."

"Hihh... kan aku jadi lupa."

"Yaudah tenang.... jangan gugup. Slow..."

"Ambil napas..... jangan keluarin."

"Hih!" Ayya mencubit lengan Aksa karena saking kesalnya.

"Aw! Sakit tau."

"Biarin! Dari tadi ngledek mulu."

"Iya-iya. Maaf. Sok...lanjutin tadi mau ngomong apa?"

"Tau ah. Kamu duluan aja."

"Yakin?"

Ayya mengangguk.

"Yaudah... begini, Ay. Sebelumnya aku minta maaf udah terkesan ngilang gitu aja. Pas kematian Nuke, adikmu di panti itu. Sebenarnya aku sudah mau datang. Tapi..."

"Tapi Ibu tiba-tiba mengabari suruh pulang. Darurat. Dan ternyata kabar Ayah. Kamu tau sendiri gimana."

"Jujur, aku frustasi, Ay. Tapi aku gabisa cerita ke kamu karena sepertinya kamu terlanjur marah."

"Aku pendam semuanya sendiri, Ay. Apalagi Ibu juga sempat terkena kasus. Tapi ia tak bersalah. Belum kawan-kawan kampusku, organisasiku terutama."

"Kenapa emangnya, Sa?"

"Hampir semuanya bersorak sorai di atas musibahku. Cuma ada satu sekarang yang tetap jelas di pihakku. Namanya Oki. Lainnya aku tak tahu. Mereka mencecarku habis-habisan sebagai anak koruptor."

Ayya memegang tangan Aksa. Berusaha menguatkannya. Ia seperti merasa bersalah karena memang benar selama ini ia egois.

"Tapi itu belum seberapa. Ada satu hal yang amat memberatkanku, Ay."

"Hum?"

"Pura-pura membencimu. Menjauhimu. Aku akui. Aku tak bisa. Untungnya, takdir masih mempertemukan kita kembali di sini."

"Sa... maafin aku, yah?"

"Maaf, aku udah egois selama ini. Kurang mengertimu."

"Udah, gapapa. Aku lega sekarang. Setidaknya sekarang sudah bilang ke kamu. Rasanya seperti mimpi."

Aksa mengulas senyum. Berharap menular ke perempuan bermata teduh yang berada di sampingnya.

"Kamu tuh kalau megang tanganku selalu sama."

"Hum?"

"Erat banget."

"Ih..."

Ayya segera melepaskannya.

"Eh... ngapain dilepas?" Aksa meraih tangan Hayya kembali ke tangannya. "Di sini aja. Aku butuh kamu, Ay. Tetaplah jadi perempuan yang menenangkanku. Meskipun sekarang kita tak tinggal dalam satu daerah."

Ayya tersenyum. Matanya seolah memancarkan kebahagiaan paling dirindukannya.

"Eh, sekarang kamu. Mau ngomong apa hayo tadi?"

"Udah, ko."

"Udah? Kok udah?"

"Tadi."

"Apa?"

"Aku egois. Selama ini cuma memendam kesal sama kamu."

"Aku minta maaf." Ayya makin mengeratkan pegangan tangannya.

"Tuh kan...kalau pegang tangan erat banget. Takut kehilangan yah?"

"Apaan sih Aksa."

"Iya-iya. Terus? Masa cuma dikit? Gaada lagi gitu yang pengin diucapin? Mumpung aku di sini, nih. Mumpung ada pangeran."

Ayya refleks mencubitnya kembali.

"Ih. Sakit tau."

"Lagian. Kepedean."

"Emang bener kan? Tadi kan kamu bilang kerja di dongeng. Ya udah biar nyambung aku pangerannya."

"Udah, ah. Ngledek mulu."

"Ay..."

"Ya?"

"Merasa lega?"

Ayya mengangguk perlahan. Diikuti seulas senyum yang refleks terkembang begitu saja.

"Aku suka kamu seperti ini. Terlihat bahagia. Rasanya benar-benar seperti mimpi."

"Sekali lagi aku minta maaf, ya."

"Udahhh aku yang mestinya minta maaf. Aku juga akan minta maaf ke Nia."

"Kenapa? Ada masalah?"

"Iya. Jadi selama ini Nia yang selalu nasihatin aku agar bilang ke kamu. Kroscek kabar, jangan egois, dsb. Tapi akunya kekeh. Terlanjur kesel sama kamu."

"Trus?"

"Kayaknya Nia kesel sama aku. Jadi kontaknya gabisa dihubungi."

"Tempat kerjanya?"

"Tadi kan aku habis dari sana. Dan cuti katanya."

"Oh... mau aku bantu cari?"

"Siapa tahu aku yang hubungin bisa."

"Boleh... boleh..."

"Ok bentar, yah." Aksa mencari ponsel di saku jaketnya.

"Oh ya, emang ndak ngrepotin?"

"Ndak ada istilah ngrepotin. Tenang aja. Ok?"

Ayya hanya mengangguk setuju. Aksa menemukan ponselnya. Mencari kontak Nindy.

"Nah ini online, ko."

"Oh ya. Ayo, hubungin. VideoCall aja, Sa."

"Iya-iya. Tenang..."

"Cepetan, Sa. Aku takut Nia kenapa-napa."

"Iya-iya. Bentar, ya."

Ayya tak menyangka. Permasalahannya hari itu bakal menemukan solusinya dalam sekali waktu. Meskipun kabar Nia belum sepenuhnya ia ketahui. Setidaknya lewat ponsel Aksa, Nia masih bisa dihubungi.

***

Setelah meminta maaf, apakah berarti Aksa dan Ayya baikan sepenuhnya? Apakah artinya perasaan mereka kembali bersama? Bukankah ada satu kesalahan Aksa yang sulit dimaafkan Ayya? Yakni tentang perempuan di hujan malam itu? Bagaimana pula kabar Ni!? Simak terus, ya. Vote dan dukungannya^^