"Wah diangkat, nih!"
"Lo kok cemberut?" Aksa heran melihat ekspresi Hayya yang tiba-tiba cemberut begitu saja.
"Aneh. Masa giliran ditelpon kamu dia ngangkat. Seharian ini kan aku hubungin dia, gak diangkat."
"Udah... mungkin hpnya emang pas baru aktif. Mau jawab gak nih?"
"Mau ngomong gak?"
"Iya."
Ayya merain ponselnya Aksa.
"Hai, Ay. Gimana kabar?" Sapa Nia lewat video call dengan ekspresi cerianya.
"Kamu yang gimana kabarnya. Huh! Kemana aja si? Kenapa tiba-tiba ngilang?"
"Giliran ditelpon Aksa aja diangkat."
"Haha... sorry... sorry..."
"Jadi kemarin-kemarin pas aku dari Masjid itu lo... aku sempat kesrempet motor. Hpku jatuh. Ini baru aja bisa dipake lagi."
"Eh, pas kebetulan Aksa telpon. Eh dapat bonus bisa liat kamu."
"Aku bonusan aja nih?"
"Haha.... ndak. Kamu tetep sobatku yang spesial pake telor tiga."
"Apaan sih, Ni."
"Oh ya, terus gimana kabarnya sekarang? Jadi alasan cuti kerja juga karena ini?"
"Iya, Ay. Gapapa si. Cuma tangan retak dikit. Biasa."
"Apaan. Retak biasa."
"Iya tenang aja. Nanti juga sembuh ko."
"Cie... cie..."
"Apaan cie-cie...."
"Udah ketemu Aksa nih. Gimana ceritanya nih? Lu udah bilang kan?"
"Sssstttt udah ah. Matiin, nih."
"Eh....bentar-bentar. Lu gak mau jengukin gue nih? Haha."
"Yaudah cepet kabarin sekarang dimana?"
"Ok. Nanti gue kirimin alamatnya ke WA."
Aksa memberi isyarat tangan "Udah?"
"Eh udahan dulu ya, Ni. Aksa mau pake hpnya."
"Oh iya-iya. Selamat yaaa."
Klik.
"Ini.... thanks." Ayya menyerahkan ponsel milik Aksa.
"Kok udah dimatiin aja?"
"Bukannya emang mau dipake?"
"Hm... ndak juga si. Tadi cuma mau bilang kita sampai di sini mau jam berapa?"
"Oh iya. Yaudah, udahan aja."
"Ok. Nindy bilang apa sama kamu?"
"Oh... dia lagi dirawat. Keserempet motor kemarin. Hpnya jatuh, rusak. Ini baru bisa aktif katanya."
"Tuh kan pantesan. Kamu yang negative thinking. Huuuh."
"Iya-iya. Aku yang over kawatir."
"Eh, bentar ya. Aku kembaliin mangkok dan gelasnya dulu."
Ayya mengangguk.
"Nih. Aku titip ponselku dulu." Aksa menyerahkan kembali ponselnya pada Ayya.
"Kenapa nggak dibawa aja?"
"Nggakpapa."
Aksa membawa mangkok dan gelasnya ke pedagang bakso cuanki. Sekalian membayarnya.
"Eh, mestinya bayar aja. Nanti mangkoknya saya yang ambil to, Mas."
"Ndakpapa, Pak. Biar skalian."
"Makasih ya, Mas. Jangan lupa sering mampir kesini."
"InsyaAllah ya, Pak."
Aksa berpamit diri dari penjual bakso itu. Berjalan kembali menemui Ayya.
"Sa. Ini hpnya... kayaknya ada yang nanyain."
"Oh ya? Siapa?"
"Gatau siapa."
"Ouh.. Oki."
"Oki? Temen kuliahmu?"
"Iya. Oh ya aku belum cerita, ya. Mau sambil pulang aja atau nyari tempat lain?"
"Oh ya aku ndak langsung pulang, Sa."
"Emang mau kemana?"
"Mau jenguk Nia."
"Yaudah aku antar."
"Bukannya lagi ditungguin temen?"
"Ndakpapa. Mumpung di sini. Bentar lagi juga udah pulang."
"Kapan?"
"Nanti sorean ini sama Oki."
"Ouh... jadi mau ikut jenguk juga?"
"Boleh. Skalian kan ketemu sobat karibmu yang katanya super aktif itu."
"Super cerewet."
"Haha... beruntung punya sobat kayak dia."
"Iya, si."
"Yaudah ayok."
Aksa dan Ayya kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini bukan pulang dan mengantar Ayya. Melainkan ke rumah sakit dimana Nia dirawat.
"Eh, mau lanjutin cerita tadi ndak?" Aksa menawarkan diri dalam perjalanan.
"Boleh."
"Jadi imbas paling dekatnya itu organisasi, Ay. Lingkaran teman aktivisku. Yang aktif kalau ada kasus, ternyata mereka semua menusukku dari belakang."
"Propaganda habis-habisan menjelekkanku. Bahkan mereka memasang poster, saat aku beberapa hari tak masuk kampus."
"Lalu Oki?"
"Nah, Oki satu-satunya orang yang berani terang-terangan di pihakku. Dia tak setuju dengan cara teman-teman lainnya menjelekkanku dimana-mana."
"Adalah satu orang. Tapi kamu gaperlu tau dulu."
Ayya mengeratkan pegangan tangannya pada jaket Aksa.
"Sabar ya, Sa. Aku yakin kamu pasti kuat."
Aksa tersenyum dibalik kaca helmnya. Sesekali matanya melirik kaca spion. Mengintip orang terkasihnya. Apakah tersenyum bahagia melihatnya.
"Ya. Makanya aku putusin buat pindah kuliah."
"Gapapalah masuk ke pendidikan bahasa. Ndak ada pure sastra di Tegal."
Ayya tersenyum. Lalu berceletuk. "Gapapa. Biar jadi penyair yang berbudi."
"Apaan?"
"Kalau cuma penyair, kan bisa aja lakunya seenaknya."
"Kalau ditambah pendidikan, kan jadi lebih terarah."
"Haha.... analisamu itu lo. Tapi ada benernya juga si."
"Entahlah, Ay. Untuk saat ini, masih dekat dengan Ibu aja udah bersyukur banget. Rasanya, apapun yang menimpa, akan baik-baik aja kalau dekat Ibu."
"Benar."
"Gimana kabar Ibu?"
"Kan kamu udah nanya."
"Oh, ya. Lupa."
"Huh."
"Oh ya, kamu sendiri gapengin lanjut, Ay?"
"Sebenernya sempat ditawari beasiswa."
"Nah trus?"
"Tapi kampusnya di Tegal."
"Wah... pertanda nih."
"Pertanda apaan?"
"Kita jodoh!"
Ayya langsung mencubit pinggang Aksa.
"Aw!! Sakit tau, Ay."
"Lagian kamu sih." Ayya menutup ekspresi wajahnya. Kawatir terlihat tersipu malu.
"Emang disitu prodinya apa aja?"
"Ada beberapa si."
"Kamu masih bingung ambil yang mana?"
"Iya, itu salah satunya."
"Emang apa yang paling berat?"
"Ninggalin Ibu sendirian di rumah, Sa."
"Oh iya. Tapi Brebes Tegal kalau mau, bisa kok kayaknya dilaju. Atau beberapa hari pulang gitu?"
"Kan gak terlalu jauh banget juga."
"Iya, si. Aku pikir-pikir dulu, deh."
"Iya, Ay. Kesempatan itu."
Semilir perjalanan siang itu cukup mendukung. Cuaca tak mendung. Juga tak cerah. Teduh dan sejuk.
"Eh, udah deket nih, Ay."
"Oh ya. Ndak kerasan."
"Ndak kerasan jauh kan kalau deket sama aku?" Aksa kembali meledek Ayya. Cubitan kedua dalam perjalanan itu pun menjadi pengisinya.
"Sakit tau!"
"Lagian kamu gombal terus! Huh!"
"Gapapa. Biar kamu seneng."
"Eh... mau kemana? Helmnya."
Ayya tertunduk malu karena berjalan begitu saja dengan memakai helm.
"Haha makanya kalau lagi tersipu malu, jangan lupa liat kaca." Ledek Aksa terkekeh.
"Hih... udahan ledekinnya."
"Iya-iya maaf. Sini tak bantu lepasin."
Jika pertemuan adalah takdir. Apakah takdir itu bisa dipesan? Ayya melihat Aksa dalam jarak dekat. Hatinya lembut. Kesupelannya dalam bergaul, membuat hari-harinya makin terasa lebih berwarna.
Begitu kepala Aksa menunduk membantunya melepaskan pengait helm—satu hal yang tak bisa dipungkiri Ayya—adalah degup jantungnya. Sesuatu yang berdesir dari dalam hatinya dan berteduh di pertemuan kedua mata itu.
"Kenapa liat-liat? Hati-hati. Nanti ada yang masuk."
"Gapapa, ko. Makasih, ya."
Aksa tersenyum. Lalu menaruh helm yang dipakai Ayya.
"Yuk...."
Ayya terdiam di belakang langkah Aksa. "Kenapa di belakang? Sini... nanti ilang gimana?"
Ayya mengangkat wajahnya yang menunduk. Lalu berjalan mengejar langkah Aksa. Kini, mereka berjalan beriringan.
"Nah... gini kan lebih tenang."
"Hum?" Ayya menengok wajah Aksa. Seolah mencari sesuatu yang membuatnya terasa nyaman di dekatnya.
"Kenapa?" Ledek Aksa mengagetkan Ayya.
***
Perjalanan menjenguk Nia itu pun jadi satu momen manis bagi keduanya. Terutama Ayya. Ia tak pernah menyangka akan bisa memaafkan Aksa. Apalagi, kembali sebagaimana orang yang memang saling mengasihi. Apakah keduanya akan seperti itu selamanya? Kita lihat nanti.
Terus dukung cerita ini, ya^^