Apa yang hendak kutulis, kala sebagiannya tlah melebur dalam diam? apa yang hendak dikatakan, kala sebagiannya telah hilang entah kemana?
"Kenapa gak nulis? Aku kangen tulisanmu." Seseorang mengatakan padanya. Baik, akan ia tulis dalam sebelas menit. Tentang apa yang tak tahu Ayya akan menulis apa. Tentang menulis apa yang tak tahu untuk apa ia tentangkan. Sebagaimana riuhnya pertanyaan kabar, yang dibiarkan kabur dan menjelma sabar.
Meski entah, rumah sabar mana yang kan sabar. Bahkan, sudah sering mendengarnya 'kan? Tiada pun kabar pun adalah kabar. Kabar bahwa tiada kabar. Apa yang biasanya orang rasakan kala merasa tak diberi kabar?
Jauh? Padahal sejak kapan jauh dekat perlu dipertanyakan? Sejak kata baik-baik mengamuflase segala keruwedan perasaanmu? Aku tak tahu lagi harus menulis apa. Pun, Ayya tak tahu, apa yang pantas ditaruh di rumah kata. Namun, setidaknya sejak ribuan hari itu, ia tahu. "Daun yang jatuh tetap mendoakan yang tumbuh." Oh, agaknya sudah hampir sebelas menit.
Ayya tak kan lagi mengetuk-ngetuk pintu matanya, lalu daun gugur bertaburan. Tidak. Lebih ia sukai rumah pulang—menatap langit dan bintang gemintang. Bayang.
Aroma sejuk udara subuh menyelimuti Ayya. Matanya menatap langit dan bintang tersisa. Seolah mencari apa yang dicarinya. Tapi dari sudut mata lainnya, mencegah untuk tak perlu berusaha. Bangku kayu yang didudukinya kian berat. Bukan oleh bebannya. Tapi apa yang semakin tak terucap. Ayya menyimpan berbagai rasanya. Dan menaruhnya di keranjang bulan menjelang pagi.
"Ibu baik-baik saja di sana 'kan? Ayya sayang Ibu." Desirnya.
Nia melihatnya dari balik jendela depan rumah. Ia amati sahabat dekat satu-satunya itu. Aroma sedih seperti menular begitu saja ke matanya. Sahabat mana yang akan tega melihat Kakaknya seperti ini? anak mana yang merasa baik-baik saja saat melihat Ibunya sakit?
Langkah Nia mulai mengayun, tapi ditahan. Tertahan kembali entah oleh apa. Ia mengamati pelan sahabat karibnya itu.
Ayya kini menunduk. Sepertinya telah selesai menaruh sedih di keranjang bulan. Nia pun mantap mendekati.
"Ayya, kenapa?"
"Ndakpapa, Ni. Aku baik-baik aja."
"Gimana kondisi Ibu?"
"Setiap anak pasti akan selalu sayang Ibunya. Kamu juga pernah merasakannya'kan?"
Nia mengangguk. Lalu dipeluknya oleh Ayya.
"Sabar ya, Ay. Aku yakin Ibumu pasti akan segera sembuh."
"Ndak dibawa ke rumah sakit saja?"
"Ibu gamau, Ni. Dia lebih suka dirawat anaknya, katanya. Keukeh."
"Tapi kalau sudah mengkawatirkan, mau gamau harus dipaksa, Ay."
"Iya. Aku juga niatnya gitu."
"Yasudah... malam ini aku temenin kamu jaga Ibu, yah?"
"Ndakpapa, Ni? Bapakmu kalau nyari gimana?"
"Tenang... kalau ijin sama kamu mah pasti dibolehin."
"Ok."
***
Apa yang abadi dalam dunia ini? Bahkan sedih yang kau titip, tak jarang hanya persinggahan dari senang yang sebentar lagi kau tatap. Lantas, sejauh apa manusia mengeluh dan menyerah? Saat semangat selalu bisa tumbuh darimana saja, selagi mata kita mampu membacanya?
Pagi itu Ayya seperti mendapat energi baru. Bagaimanapun, kehidupannya harus tetap berjalan. Meski harus melihat sakit Ibunya. Pun mesti tanpa orang yang disayanginya. Orang-orang terkasihnya boleh pergi, tapi tidak dengan jiwa yang senantiasa tulus mengasihi. Ia akan tetap hidup dan menghidupi. Dalam cuaca apapun nanti.
"Ay, kamu dimana?" Nia menelepon.
"Lagi perjalanan ke toko, Ni. Sebentar lagi sampe."
"Ah, kirain ada apa-apa. Syukurlah. Kangen banget aku. Cepetan gepeel."
"Perasaan semalem baru nginep di sini, deh." Celetuk Ayya dibalik teleponnya.
"Iya. Sorry ya pulang duluan. Baru keinget Bapak nelpon. Pokoknya cepetan ya!"
"Iya bawel!" Ledek Ayya.
Ayya kembali mengayuh sepedanya. Sekitar lima menit lagi, toko dijangkaunya.
Tiba-tiba suara klakson mobil menjedanya.
Seorang laki-laki keluar dari pintu depannya. Membawa sebuah buket bunga dan beberapa gantungan kunci dari bunga asli. Dikemasnya dalam wadah yang sangat elegan.
"Ayya... kamu baik-baik saja?" Kelana menyapanya.
"Aku baik."
"Oh ya. Kebetulan ketemu kamu di sini. Ini. Terimalah. Anggap saja ucapan terima kasih saat itu sudah menolong saya menemukan kalungnya." Kelana menaruhnya begitu saja di keranjang depan sepeda Ayya. Wajah bingung menyelimuti Ayya.
Kala itu, Ayya memang meniatkan diri berangkat dengan sepedanya. Entah kenapa ia seperti ingin lebih melihat dunia lebih pelan.
"Seharusnya tak perlu repot begini."
"Tak apa. Ini tak seberapa dari kalung itu. Sekali lagi terima kasih, ya."
"Terimakasih kembali. Ehm, maaf tapi aku harus segera pergi."
"Tunggu. Kamu masih kerja di toko kue Legita?"
"Iya."
"Sebenernya aku ingin menawari kamu sesuatu."
"Hum?"
"Ini... " Kelana memberikan sebuah id card.
"Itu alamat toko bunga milik Ibuku. Letaknya gajauh dari sini. Aku pikir tempat itu lebih baik untukmu. Aku cuma ingin sedikit membantumu."
"Kamu menawariku pindah?"
"Tempat itu dulu milik Ibu. Aku tak sembarang orang memilih karyawan. Setelah aku lihat kamu membuat gantungan kunci itu, aku pikir selain pekerja keras kamu juga telaten. Dua hal yang selalu mengingatkanku pada Ibu."
Kelanan menunduk.
"Sekarang Ibu dimana?"
"Ibu sudah lama pergi sejak aku duduk sekolah dasar."
"Maaf... "
"Tak apa. Itu saja. Maaf menganggu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam..."
"Ehm, Tunggu... "
Kelana menengok kembali.
"Terimakasih." Kelana tersenyum dan pergi.
***
"Derana Florist? Jadi kamu ditawari kerja disana, Ay?" Nia kaget.
"Iya. Kamu tau?"
"Ya tau lah. Siapa yang gak tau toko bunga sekeren itu."
"Sekeren apa?"
"Yaampun, Ay. Mainmu kurang jauh."
"Ya emang aku gasuka main."
"Kamu dengerin ya, Ay. Disana tuh bukan sekadar toko bunga. Tapi... rumah bunga."
"Maksudnya tempat menanam bunga juga? Punya kebun sendiri?"
"Yap! Bukan cuma itu. Tapi... ehm apa yah. Seperti seorang Ibu pada anaknya."
"Kamu ngomong sih, Ni."
"Jadi mulai dari menanamnya, merawatnya, sampai memetik bunganya itu benar-benar terawat seperti kasih Ibu."
"Kalau sudah panen bunganya pun, tak dibiarkan begitu saja. Ada bunga yang sengaja dikeringkan untuk dijadikan berbagai karya yang top banget. Ah bakal panjang deh jelasinnya. Pokoknya itu tempat keren banget!"
"Kamu beruntung, Ay. Gak semua orang bisa daftar di sana. Jangan sia-siain kesempatan bagus ini!"
"Nia... "
"Apalagi? Kamu mau kerja terus di toko kue ini? Sepanjang pagi dan sore berteman dengan aneka kue coklat bukan berarti selalu membuat harimu manis 'kan? Dunia ini luas, Ay. Banyak sudut lain yang perlu kamu alami. Jangan mau stagnan. Kamu masih muda."
"Kamu mendadak sok bijak deh."
"Ish, yasudah terserah deh."
"Bercanda, Nin. Makasih ya udah jadi temen yang setia banget cerewetin aku."
"Udah ah jangan lama-lama. Awas kalau besok masih kesini!"
"Ngusir aku nih?"
"Sebenernya gatega juga bakal pisah. Tapi demi kamu, Derana Florist aku gapapa, Ay. Kamu harus lebih baik."
Dipeluknya sahabatnya itu. Nia yang cerewet ternyata bisa sebijak itu. Ayya pun mulai memikirkan tawaran yang diberikan Kelana.
"Derana Florist. Apakah itu tempat yang lebih baik untukku?" Gumam Ayya.
"Apakah ini jawaban dari kegelisahanku?" Lanjutnya.