Tak ada yang bisa menebak esok akan bertemu siapa. Pun akan ada apa saja. Sejauh apapun merutuki masa lalu, masa kini ada untuk dijalani. Ayya berusaha mengemas segala duka. Kekesalan berlebih hari kemarin, cukup membuatnya amat sedih.
"Kenapa harus ada bunga lain yang ia lihat di mata Hayya saat hujan malam itu?" Ayya teringat kembali masa memilukan itu.
***
Hari ini adalah harapan baru bagi Ayya : Hari pertama Hayya bekerja. Ya, hari pertama kerja di tempat baru. Derana Florist. Meski harus berkawan dengan kesal, tak ia tanam aroma itu di wajahnya. Bukan. Bukan karena ia telah menggadaikan wajah. Bukan pula karena membeli wajah baru. Namun, agaknya kesadaran diri untuk apa adanya mulai tumbuh dari Ayya.
Ia menyiapkan berbagai hal. Tas ransel rajutan buatan Ibunya. Sebotol minuman yang ia siapkan sendiri. Dengan daun mint di dalamnya. Ia selalu menyiapkannya untuk bekal minuman. Tak ketinggalan, boneka gantungan kunci rainynya. Ditambahnya sebuah lonceng kecil. Saat ia bergerak, bunyinya memercik sepi.
Ayya sengaja menempelkan lonceng kecil pada gantungan kunci Rainy-nya. Tak lain, ia suka gemerisik suara. Dalam sepi, suara gemerisik semerdu gamelan, atau sesejuk gerimis. Namun, karena keduanya tak bisa dipesan kapan saja, ia menggantinya dengan lonceng kecil itu.
"Nak...."
"Iya, Bu."
"Ingat, ya. Banyakin istighfar dan sholawat. Biar hatinya tenang. Semoga tempat kerja baru ini bisa lebih berkah." Tutur nasihat Ibunya.
"Iya, Bu. Siaaap!" Ucap Ayya bersemangat. Segaris senyum tertuang di wajahnya dengan percuma.
"Derana Florist. Apakah ini tempat kerjaku yang lebih baik?" Lirih Ayya seraya memeriksa ponselnya. Tiba-tiba, panggilan masuk datang dari sahabatnya. Nia.
"Assalamualaikum, Ay. Gimana kabar?"
"Waalaikumsalam... Alhamdulillah, Ni. Kamu?"
"Sama sepertimu. Hari ini kamu udah mulai kerja ya?"
"Iya, Ni. Pulang sore. Sekitar jam tigaan."
"Habis itu ada acara lagi nggak?"
"Ehm, enggak si. Emang kenapa? Mau ketemu?"
"Itu juga kalau kamu gak sibuk, Ay."
"Enggak ko. Aku gasibuk. Yaudah, habis ashar di Masjid Al Jamaah, ya. Gimana?"
"Yaampun, emang gak ada tempat lain?"
"Hehe, skalian sholat ashar dulu. Nanti kalau mau ke tempat lainnya, gapapa ko."
"Yaudah, deh. Sukses, ya!"
"Oh ya gue punya satu nasihat nih."
"Wah apa nih?"
"Duhai sobatku yang beruntung... Jangan lupa baca basmallah dan sholawat. Semoga lancar, hari pertamanya." Cerocos Nia lewat panggilan teleponnya.
"Iya sobatku yang baweeeel. Udah dulu, ya."
"Makasih, Nia."
"Udah sana berangkat. Sukses, ya!"
"Aamiin. Kamu juga."
"Sukses apa?"
"Sukses bikin orang seneng. Hehe. Yaudah... Aku berangkat dulu, ya."
"Aapaan si, Ay. Yaudah, hati-hati ya... ."
Klik. Sempat Ayya begitu cemas. Kawatir, tidak akan pernah kembali bertemu kalau pindah kerja. Namun, pagi ini... ia menjumpai suaranya. Dan akan segera menemuinya. Rasanya, mungkin ada kerinduan tersendiri bagi Ayya. Padahal, mereka tak kemana-mana terlalu jauh.
***
Ayya sampai di sebuah tempat yang penuh bunga. Berbagai bunga tumbuh dimana-mana. Dari sisi depan, samping, maupun di belakangnya.
Orang-orang dapat memandangnya darimanapun yang disuka. Meski bunga seringkali jadi simbol kelembutan hati, tapi adakah bunga yang tak layu melebihi indahnya hati manusia?
Ayya melihat jam tangannya. Kurang lima menit, dari jadwal masuk yang telah disepakatinya. Ia segera masuk. Rok tenun motif mawar, atasan navy bergambar bunga matahari dikenakannya saat itu. Entah mengapa, Ayya memilih mengenakan outfit serba bunga. Kecuali kerudungnya yang polos. Tak bermotif.
"Ayya?" Seorang perempuan berkacamata biru dan berwajah sejuk menyapanya. Seperti telah ditunggu lama, Ayya segera diajak duduk di suatu tempat.
"Iya, Bu. Saya Ayya." Perempuan itu juga berambut pirang. Hampir mirip dengan perempuan yang pernah ia lihat di toko kue dengan anak kecil itu. Ayya terdiam mengingatnya.
"Mari, ikut saya dulu."
Ayya mengangguk. Mengikuti arah yang ditunjukkan Ibu berwajah sejuk dan berkacamata biru itu.
"Oh ya, perkenalkan. Saya Cindy. Bude dari Kelana. Dia yang mengenalkanmu tentang tempat ini 'kan?"
Ayya agak canggung. Ia sempat kaget, sampai tak bisa menjawab apapun, kecuali mengangguk.
"Tapi saya gamasalah. Mau siapapun, asal dia memenuhi kriteria, pasti saya pilih."
"Dan kamu, sudah diterima. Berarti masuk kriteria. Pernah berpikir kenapa?"
Kembali, Ayya hanya mengangguk.
"Saya ingin tempat ini bukan sekadar tempat penjualan bunga. Sekadar melayani bunga-bunga yang siap dibeli siapa saja. Namun ada satu hal yang perlu kau tau, Ayya... ," ia menjedakan suaranya.
"Apa itu, Bu?"
"Kelembutan hati. Pertama kali saya melihatmu di acara itu, kelembutanmu terpancar. Kelembutan adalah modal utama merawat bunga."
"Kalau seseorang itu tak punya kelembutan hati, bagaimana saya akan percaya ia mampu merawat sesuatu di luar dirinya? Bunga-bunga di sini memang terlihat benda mati. Tapi sebenernya hidup."
"Saya percaya, ia juga makhluk Tuhan. Yang bisa saling mendoakan kebaikan, dengan caranya. Mustahil rasanya, ia akan mendoakan kalau perawat bunga itu tak menyayanginya dengan penuh kelembutan."
"MasyaAllah, saya belum sepenuhnya seperti itu."
"Mungkin. Tapi saya melihat keindahan itu. Dan, sekarang saya percayakan kamu untuk merawat bunga-bunga di sini. Oh ya, karena bagian depan sudah ada, saya tempatkan kamu bersama saya. Gimana?"
"Maksudnya?"
"Begini. Kamu tahu kan di sini bukan cuma menjual bunga hias. Ada juga bunga hidup. Bahkan, di belakang sana, beberapa tanaman mulai ditanam sendiri. Saya ingin kamu menemani saya merawatnya. Apa keberatan?"
"Tidak, Bu. Saya senang sekali."
"Syukurlah. Mari ikut saya." Bu Cindy kembali berjalan ke ruang tengah. Seperti hendak menunjukkan ruang kerjanya.
"Mari, masuk dulu. Gapapa. Anggap saja adaptasi lingkungan baru."
Ayya pun masuk ke ruangan Bu Cindy. Matanya menatap satu per satu hiasan yang menempel di dinding ruangan bercat pastel itu. Sangat lembut. Berbagai hiasan dari bunga, tertata rapi di sana. Begitu estetis. "Ini juga dari bunga asli kah?" Ayya menunjuk sebuah pigura foto yang berhiaskan bunga-bunga. "Ya, betul sekali. Oshibana namanya. Nanti saya ajarkan setelah kita ke kebun belakang. Mau?"
"Mau. Kalau boleh." Segaris senyum tertuang di wajah Ayya.
Ia tak menyangka, tempat kerja barunya lebih dari sebuah tempat kerja. Banyak hal yang ia dapatkan di hari pertamanya. Dan, tahukah kamu apa yang Ayya katakan dan terua ia pikirkan sepanjang hari pertamanya itu?
***
Hari pertama Ayya sangat tak terduga. Apa yang sempat dicemaskannya, ternyata hanya kekawatiran belaka. Apa yang akan ia hadapi selanjutnya? Mampukah ia merawat Ibunya yang sakit dengan pekerjaan barunya itu? Dukung cerita ini dengan vote dan komennya, ya. Terima kasih