Chereads / Aku Adalah Hujan / Chapter 21 - Part 21 - Kehilangan dan Menemukan

Chapter 21 - Part 21 - Kehilangan dan Menemukan

"Ay, sudah tiga hari ini kontak wa Aksa off. Gimana nih?"

"Ya gimana?"

"Kamu mah... apa gak ngrasa, dia cemburu? Sejak pertemuan tak disengaja di Masjid Al Jamaah itu, dia off Ay. Apa kamu gak curiga? Minimal, kawatir gitu?"

"Ya, mungkin dia sibuk, Ni. Lagian kemarin juga palinh cuma mampir kan? Gamungkin dia balik kesini lagi kan?"

"Aneh kamu mah ya. Terserah deh. Gitu aja trus sampe langit berubah jadi warna-warni!"

"Kok marah, Ni?"

Klik.

Telepon dari Nia mati tiba-tiba. Entah bagaimana perasaan Ayya sekarang. Nia hanya berusaha mengabari kondisi. Tapi Ayya?

***

Pertemuan kemarin, menyisakan kisah. Sebuah kisah, yang barangkali inilah awal dari perjalanan hati Ayya dan Aksa.

Begini, tepatnya.

Setelah Aksa sholat, ia tak lagi lewat ke jalan yang sama saat melihat Ayya dengan Kelana. Nia sudah berharap Aksa akan lewat, tapi ternyata berbeda.

"Ay, kamu tau 'kan? Tadi ada Aksa. Kamu gapengin bicara apapun gitu?"

"Inget, Ay. Dia sudah di sini. Alasan selama ini menghilang juga aku rasa bukan sepenuhnya salah dia. Sampai kapan kamu kegini trus? Pura-pura cuek, tapi sebenernya perhatian. Sampai kapan, Ay?" Nia sedikit kesal.

"Apalagi tadi pas lihat kamu dengan Kelana. Wajahnya berbeda. Kamu gak curiga, hah?"

"Nin, sudahlah. Kita kesini bukan untuk itu."

"Iya, aku tahu bukan untuk itu. Tapi ini hal mendesak. Yang lebih perlu dari pada aku! Ini tentang perjalanan hatimu sendiri, Oh Nurul Hayya!" Nia semakin kesal.

"Ayya yang aku kenal itu pendengar yang baik. Mudah peduli dengan orang lain. Apalah arti semua itu, kalau untuk memaafkan orang lain dia begitu egois? Itu bukan Ayya yang aku kenal."

"Apa kamu gak pernah ngerasa gimana perasaan Aksa diginiin trus sama kamu, Ay?"

"Kalau bukan karena Ayya sayang sama kamu, dia pasti sudah punya pacar selama ini. Kamu nyadar gak si? Dan, setelah datang, kamu trus kegini, hah? Kamu egois, Ay!" Nia semakin kesal.

"Nia.. dengerin aku dulu."

"Apa? Kamu mau bahas apa?"

"Gini aja. Kamu selesaikan urusanmu dengan Aksa. Minimal, temui dia. Jangan seperti ini terus. Aku sudah pernah merasakan bagaimana dikecewakan."

"Rasanya sakit, saat melihat orang kita cintai memilih berpaling hanya karena salah mengerti diri kita sendiri."

"Yang... barangkali memang itu karena keegoisan kita sebagai perempuan, Ay. Sepertimu ini. Selalu minta ingin dimengerti. Tak pernah sedikitpun terpikir, bagaimana tertatihnya seorang laki-laki."

"Aku pamit dulu aja, Ay. Aku sedih lihat kamu kegini. Kamu temui aku pas sudah selesai. Minimal, temui Aksa. Jangan sampai dia salah paham. Mengiramu lebih memilih Kelana. Kejar atau kamu akan kecewa selamanya, sepertiku, Ay!"

"Sorry, Ay. Aku mesti pergi." Nia segera meninggalkan Hayya sendiri. Wajah kebingungan menyelimutinya.

"Ya Allah, kenapa jadi kegini? Apa yang harus aku lakuin?"

"Padahal, aku kesini pengin minta sharing ke Nia tentang hari pertamaku di Derana Florist. Tapi, kenapa jadi seperti ini?"

Ayya menunduk. Melipat halaman buku yang dibacanya. Menaruhnya kembali di tasnya.

"Apa aku harus temui Aksa? Tapi, kenapa harus aku?"

***

"Nia, bisa temenin aku sebentar?"

"Nia, kamu dimana? Sehat?"

"Ni... kamu apa kabar?"

Berbagai chat Ayya layangkan ke Nia sejak kejadian di Masjid Al Jamaah itu. Namun, tak sedikitpun dibalasnya. Toko Kue Legita pun, tak ada gerak-gerik Nia.

"Kamu kemana sih, Nia?"

"Ya Allah... apa bener kata Nia? Aku begitu egois?"

"Tapi kenapa harus aku yang hubungin Aksa?"

"Ah, menyebalkan." Celetuk Ayya.

Ia kembali mengayuh sepeda putihnya. Namun, Nia sama sekali tak ada di sana. Kata leadernya, dia mendadak cuti seminggu. Tapi tak bisa mengatakan alasannya pada Ayya.

"Nia, kamu sebenernya kenapa? Kenapa jadi giniin aku?"

"Padahal, selama ini kamu satu-satunya sahabat yang aku miliki. Kenapa pergi tiba-tiba begitu saja?"

"Nia, semarah inikah kamu sama aku?"

"Apa aku harus segera menemui Ayya?"

Tiiiiiiittt.

Sebuah klakson sepeda motor matic mengagetkan Ayya. Ia hampir saja tertabrak olehnya. Ayya setengah terjatuh. Memegangi sepedanya yang hampir jatuh ke arah kiri.

Saat helm pemilik motor itu dilepas, tak disangka. Dialah orang yang sedang dipikirkan Ayya. Dialah orang yang membuat berbagai tanya di pikiran Ayya. Dialah orang yang membuat degupnya lebih terasa, saat berjumpa. Dialah orang yang membuat matanya bisa tiba-tiba berkaca saat mengingatnya. Dialah Aksa.

"Hayya? Sorry... aku buru-buru tadi. Maaf, ya. Kamu gapapa?" Aksa berusaha membantu Ayya berdiri.

"Aku gapapa, ko. Aku juga yang salah. Aku nglamun tadi. Kurang fokus."

Aksa tersenyum kecil. Dan mengangguk.

"Aku juga salah. Terburu-buru. Ada yang luka, Ay? Mau ke puskesmas?"

"Udah, gapapa, Sa. Aku baik-baik aja, ko."

"Ehm, gitu ya. Yaudah, hati-hati ya. Aku jalan lagi. Soalnya buru-buru." Wajah Aksa tiba-tiba bingung. Ragu menyelimuti wajahnya.

Saat starter motornya dinyalakan, hampir jalan, Ayya mencegahnya.

"Sa, Tunggu!"

"Ya? Kenapa, Ay? Kamu sakit? Gabisa jalan? Mau aku temenin?"

"Aku pengin ngomong sama kamu. Bisa?"

"Tapi kalau gabisa juga gapapa, ko. Ini juga gak penting."

Aksa mencoba mengurai tabir dari wajah Hayya. Ia mendiamkannya beberapa saat, baru menjawab.

"Mau ngomong dimana? Gimana kalau kamu ikut aku, dan taruh sepedanya di parkiran sana dulu?" Aksa menunjuk parkiran toko kue Legita.

"Ehm, bukan apa-apa. Aku cuma mau mastiin kamu baik-baik aja."

"Ehm, Iya, Sa. Gapapa. Aku ikut kamu."

"Mau dimana? Hum?"

"Terserah kamu aja, Sa."

"Ok. Aku temenin kamu naruh sepedanya dulu aja, ya. Yukk."

Ayya mengangguk. Ia menuntun sepedanya ditemani Aksa. Setelah selesai, Ayya ikut dengan Aksa.

"Kamu gapapa, Sa? Bukannya tadi buru-buru?"

"Iya si, tadi. Tapi tenang aja. Aku tadi udah kabarin Ibu, ko. Aman. Tenang. Gausah kawatir. Soal temen, gampang menyusul."

Aksa berusaha menenangkan Ayya.

"Gimana kabar Ibumu, Sa?"

"Alhamdulillah baik, Ay. Ibumu juga sehat 'kan?"

"Iya." Ayya berbohong kala itu. Ia tak ingin membuat cemas Aksa.

"Syukurlah. Ibuku selalu nanyain kamu lo, Ay."

"Oh ya?"

"Iya. Kenapa sekarang gak lagi sering sama Ayya? Bla bla bla. Ya gitu deh." Cerocos Aksa.

Ayya tersenyum.

"Oh ya, kamu laper gak, Ay?"

"Ehm, sedikit."

"Yaudah, sambil makan aja, yah."

Ayya mengangguk.

Sampailah mereka berdua di depan tempat penuh kenangan itu. Sebuah tempat yang amat memorial bagi ingatan yang masih mau merawatnya. Tempat teduh di depan sebuah SMP negeri.

"Sampe, yuk turun."

"Kamu duduk di sini dulu, ya. Biar aku pesenin makan."

Ayya mengangguk. Menunggu di bawah kipasan sejuk pohon yang teduhnya selalu beribu tabah. Rasanya, ketabahan dan kesejukan sudah jadi jalan hidup pohon itu.

"Tempat ini. Adakah kamu juga masih merawat ingatan itu, Sa?" Ayya bertanya kepada angin dari pohon teduh itu.

"Pak, cuanki dan es jeruknya dua, yah?"

"Makan di sini, Mas?"

"Iya. Di sana ya." Aksa menunjuk posisi duduk Ayya.

"Siaap."

Aksa kembali menemui Ayya yang masih duduk di tempat semula.

"Kamu beneran gapapa, Ay? Gak ada yang luka?"

"Gapapa, Sa. Aku baik-baik aja."

"Syukurlah. Lega rasanya."

Ayya tersenyum. Entah apa makna senyum itu.

"Ahhh sudah lama banget ya, kita gak ke tempat ini. Gimana menurutmu, Ay?"

"Hum?"

"Ya tempatnya... masih nyamankah untuk diingat?"

Ayya terdiam seketika. Seakan menyusun ribuan puzzle ingatan dalam hatinya sedemikian rupa. Apakah Aksa tak tahu, bagaimana ia selalu merawat ingatan dan kenangan itu? Meski selama ini Ayya terlihat cuek, dialah yang diam-diam perawat sejati untuk kenangannya.

"Ay? Kok diem?"

"Gapapa, Sa."

"Ini cuankinya." Tiba-tiba, seorang pedagang kaki lima menghampiri mereka.

"Dan ini es jeruknya."

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama."

"Yaudah, makan aja dulu, Ay. Siapa tau tambah lebih enakan."

"Es jeruk. Kesukaanmu, kan?"

Ayya tak mampu menjawab seketika pertanyaan Ayya. Ia hanya menatap Aksa beberapa saat. Seakan ingin menegaskan diri. Apakah pertanyaan itu muncul benar-benar dari ucapannya? Apakah dia tak salah? Apakah benar kata Nia? Aksa pun selama ini begitu menjaganya di hatinya?

***

Hari itu Ayya memang cemas kehilangan sahabat karibnya, Nia. Entah kemana. Namun, bersamaan ia kembali menjumpai Aksa. Satu hal tak terduga. Apakah ini artinya awal dari solusi permasalahan mereka selama ini? Adakah keduanya akan dengan mudah mengungkapkan perasaannya?

Simak terus dan jangan lupa vote, komentar, dan dukungannya, ya.