Chereads / Aku Adalah Hujan / Chapter 20 - Part 20 - Cemburu?

Chapter 20 - Part 20 - Cemburu?

Ayya tak membuka ponselnya. Kebiasaannya selalu mensilentkan hp. Membuat siapa saja yang menelepon, sering diabaikan begitu saja. Termasuk saat itu.

Sepuluh kali panggilan tak terjawab dari Kelana. Sampai menjelang dhuhur, Ayya baru membuka ponselnya.

"Hah? Kelana menelponku? Ada apa ya? Aku balas atau nggak? Ah udah dhuhur. Aku mesti ketemu Nia. Biarin deh!" Ucapnya terburu bersiap diri.

"Nia. Aku otw, nih." Sebuah pesan Ayya layangkan dari ponselnya.

Ayya tersenyum. Bersama sepeda putihnya, ia menuju ke Masjid Al Jamaah.

"Kira-kira ada apa ya, Kelana menelponku? Apa ada hubungannya sama Derana Florist?"

Telepon dari Nia menjedakan kayuhan sepedanya.

"Hallo, Ay. Sorry banget nih. Kayaknya agak telat. Ini masih ada pesanan yang perlu dibicaraain sama karyawan baru. Cuma sepuluh menitan ko."

"Iya, Ni. Gapapa."

"Kamu udah jalan ke Masjid?"

"Iya ini masih setengah perjalanan."

"Sorry banget ya, Ay. Jadi nunggu."

"Gapapa, Nia."

Nia memang sahabatnya yang cukup absurd. Aneh. Dia rela kerja paruh waktu untuk biaya kuliahnya. Padahal, orangtuanya adalah pemilik beberapa perusahaan terkenal. Bisnis restorannya pun sudah sangat terkenal. Tapi Nia memilih kerja di tempat orang lain.

Untuk ukuran perempuan, dia begitu unik dan keren. Ayya begitu mengagumi sahabatnya itu. Meskipun Nia seringkali cerewet, ceroboh, tapi dia punya hati yang tulus. Juga sangat pekerja keras. Pantang mengeluh. Sifat-sifat itulah yang juga sangat lekat dengan Aksa.

Bagi Hayya, ia butuh seseorang untuk menyemangati. Tentu seseorang yang benar-benar tulus hati. Dan itu, sudah cukup ada pada sahabatnya: Nia.

Ayya kembali mengayuh sepeda putihnya. Terik mentari tak memutus semangatnya.

"Alhamdulillaah... akhirnya sampai." Ucapnya setelah memarkirkan sepedanya.

***

Ayya segera menuju ke tempat mengambil wudhu. Kesejukan yang selalu dirindukan. Di Masjid Al Jamaah ini, sudah paket komplit segala rindunya. Sejuknya sarana beribadah, ademnya semilih angin di luarnya. Bagi Ayya, itu sudah sangat cukup menyejukkan perasaannya.

Beberapa saat kemudian, setelah sholat ia beranjak ke luar. Duduk tak jauh dari pelataran pintu masuk area sholat. Ia duduk membiarkan kakinya mengulur ke tanah. Dan menyuguhkan hijau bersemilir angin, jadi pemandangan untuk mata.

"MasyaAllah, suasana sejuk yang selalu kurindukan."

Ayya tersenyum. Ia lihat waktu di jam tangan di tangan kirinya. Sebuah jam tangan bergambar bunga matahari.

"Lima menit lagi, Nia selesai. Masih ada beberapa saat. Aku baca buku aja dulu ah." Ayya mencari buku di tasnya. Membawa buku saat bepergian sudah jadi kebiasaannya.

Tepatnya, saat bersama Aksa. Aksa selalu membawa buku puisi Joko Pinurbo untuk sesekali dibacakan di hadapannya. Terkadang, ia juga membacakan puisinya Sapardi. Tapi katanya, ia begitu mengagumi Joko Pinurbo.

Entahlah, Ayya tak banyak berkomentar soal puisi. Kala itu, ia hanya ingin selalu menjadi pendengarnya yang baik.

Ayya membaca buku cerita pendek seorang penulis perempuan yang cerkas: DEE. Ia membaca buku tentang kue dan segala kisahnya. Khas penulisnya dalam bertutur.

Tiba-tiba, dari kejauhan seorang laki-laki kian mendekati Ayya duduk. Laki-laki itu terus mendekat, dan menyapanya.

"Ayya... " suaranya pelan dan tegas.

Ayya menengok. Wajahnya kaget.

"Kelana? Kamu sudah lama di sini?"

"Ndak, tadi gak sengaja saya lihat kamu di sini. Makanya saya samperin. Lagi nunggu siapa, Ya?"

"Ouh, nunggu temen."

"Ehm, siapa? Laki-laki?" Wajah Kelana nampak berbeda.

"Ehm, bukan. Perempuan."

"Ouh, kirain." Kelana nampak lega.

"Oh ya, maaf sebelumnya gak ngangkat teleponnya. Hp saya tak silent. Baru lihat notifikasi, pas tadi mau berangkat."

"Oh iya, gapapa, Ayya. Gapenting ko."

"Yakin, gapenting? Sampe sepuluh kali gapenting? Ada yang mau disampein kah? Mumpung temenku belum dateng maksudnya."

"Ouh, emang kapan datangnya?"

"Ehm, mungkin lima menitan lagi."

"Ehm, sebenernya... " Kelana menjedakan ucapannya sendiri.

"Ya? Kenapa?"

"Sebenernya ada yang pengin diomongin, Ayya."

"Iya, bilang aja. Gapapa ko."

"Tapi kamu jangan marah, ya. Aku sebenernya nyari momen yang tepat buat sampein. Tapi aku bingung kapan. Dan perasaan ini terasa kian membuatku risau."

"Gapapa. Bilang aja biar gak risau."

"Kamu yakin, Ayya? Gabakal marah ke aku??"

Ayya mengangguk.

"Ehm sebenernya... ."

Ayya terdiam. Lalu menunduk. Entah apa yang sedang dicari atau berusaha ia tahan sendiri.

"Ayya? Kamu gak akan marah 'kan?"

Yang ditanya masih menunduk. Beberapa saat baru mengangkat wajahnya kembali.

"Gak, ko. Aku gak akan marah. Bilang aja."

"Jadi, sebenarnya...." Suasana mendadak kian hening.

Drrrttt

Dering telepon ponsel Hayya memecahkannya.

"Maaf ya, Mas Kelana. Saya harus ketemu temen saya."

"Ouh iya. Saya juga kesini sebenarnya ngantar temen saya sholat. Kebetulan aja lihat kamu di sini. Maaf, ganggu."

"Ouh ndakpapa. Saya duluan ya."

Ayya meninggalkan Kelana dengan ucapan bersambungnya. Ia pun fokus berbicara lewat panggilan teleponnya dengan Nia.

"Iya? Udah sampe? Maaf, tadi ada orang."

"Udah, nih. Kamu dimana? Aku di luar ko. Gak jauh dari area sholat."

"Ok. Aku kesana."

Nia terburu berjalan menemui Ayya.

Brrakkk

Auwhhh!!

"Aksa?"

"Nia?"

"Maaf, ya aku gak sengaja, Ni."

"Ouh gapapa, Sa. Aku yang salah. Tadi terburu-buru. Kamu mau ke Masjid juga? Sejak kapan balik lagi ke sini?"

"Iya. Belum sholat soalnya. Tadi sama temen kebetulan lewat sini. Temenku masih di sini soalnya."

"Ouh. Yuk, bareng ke sana."

"Sa... "

"Iya, Nin?"

"Kamu ngabarin Ayya gak sih?"

"Ngabarin apa?"

"Ngabarin kamu mau kesini."

"Aku gak tau Ayya bakal kesini juga malah."

"Ehm... emang jodoh kali ya. Aku tuh ada janji sama Hayya di sini. Eh, malah ketemu kamu juga. Buruan gih. Nanti samperin Ayya."

"Jangan egois. Mengalah sedikit saja. Sesekali dengarkan Ayya bicara sesukanya. Siapa tau... ia mau membicarakan perasaannya."

"Maksudmu, Ni?"

"Udahlah, gausah tutup-tutupin lagi. Kamu suka sama Ayya 'kan?!"

"Awas, lho. Takutnya keduluan orang lain. Ntar nyesel!"

"Yaudah, aku ke tempat wudhu dulu, ya."

Aksa sempat terdiam beberapa saat. Memikirkan perkataan Nia, nampaknya tak ada salahnya. Namun, ia belum siap mengatakan apapun pada Ayya.

Aksa juga pergi ke tempat wudhu. Namun, ia selesai lebih dulu. Dan segera ke tempat sholat. Saat akan masuk, ia melihat Ayya dengan laki-laki lain.

"Ayya?"

Ayya kaget mendengar suara yang tak asing di telinganya.

"Aksa?"

Melihat Ayya sedang bicara dengan seorang laki-laki lain, Aksa segera berpamit diri.

"Maaf, aku sholat dulu."

Ayya bertanya-tanya. Wajahnya kini bercampur gugup.

Tak lama kemudian, Nia bertemu Ayya.

"Ay? Maaf ya lama."

"Gapapa, Ni."

"Aku tadi langsung ke tempat wudhu dulu. Belum sholat soalnya. Aku sholat dulu, ya."

Ayya mengangguk.

Beberapa menit kemudian, Nia keluar menemui Ayya.

"Eh, Kelana mana? Tadi bukannya di sini sama kamu? Kamu janjian sama dia? Tapi bukannya dia non muslim?"

"Nia... "

"Maaf, Ay. Aku kaget aja ko bisa ada Kelana."

"Kami gak sengaja ketemu. Dia mampir ke Masjid dari perjalanan karena temennya yang muslim belum sholat. Kebetulan lihat aku. Udah, itu aja."

"Ouh..."

"Ouh, ya. Aku juga tadi ketemu sama Aksa. Kamu lihat?"

Ayya mengangguk.

"Trus? Dia bilang apa, Ay?"

"Dia melihatku pas ada Kelana juga. Dia hanya memanggil namaku, dan langsung pamit untuk sholat."

"Aduhh gawat!!"

"Apa sih, Nia?"

"Dia cemburu!! Pasti!!"

***

Benarkah Aksa cemburu? Apa pula yang akan dikatakan Kelana sebenarnya pada Ayya?