Tak ada waktu yang menunggu. Ia akan terus bergerak meski kamu meminta nanti dulu. Yang datang untuk pergi. Kepergian akan menemani yang datang.
"Datang dan pergi persoalan waktu. Atau ... persoalan aku yang tak rela membiarkanmu pergi? Memilih menunggu adalah salah satu jalanku, Bu." Gumam Ayya.
Ayya mengamati kotak biru. Sebuah kotak titipan Ibu. Ada beberapa bahan di dalamnya. Mulai dari benang sulam, pita, jarum, dan berbagai pernik lainnya. Ibu biasa menekuninya saat di rumah—menunggu pulangnya Ayya.
Beberapa boneka pernah Ibu buatkan untuknya. Asli, buatan jemari Ibunya. Tak jarang, ia menyulam beberapa bahan jadi hiasan. Mulai dari bunga, pemandangan, dan lainjta. Terpajang rapi di dinding rumah mereka. Ada sisi kelembutan Ibu dari dulu. Hanya saja Ayah tak mampu membacanya. Hingga yang terbaca hanya segala hal yang menyebalkannya—yang membuatnya naik darah.
Kalau terus terpikir, Ayya seperti tak tega. Bagaimana hari itu ia memulai hari tanpa Ayah. Hanya ia dan tentu Ibunya. Sahabat setianya, Aksa pun menghilang begitu saja. Kepedihan bertubi-tubi. Ia tanggung sendiri. Jiwanya sudah dibiasakan menyimpan sakit sendiri. Kecewa, rasa penyesalan, marah, benci, disimpannya sendiri. Yang nampak dari wajahnya adalah wajah matahari. Sebuah wajah yang senantiasa ceria menerangi.
"Aku bikin apa yah enaknya?" Celetuk Ayya.
Ayya mulai terpikir membuat sesuatu. Ia pun mengambil sebuah kertas dan pensil. Mulai menggambar desainnya. Mengira-ngira, mengecek bahan, dan mulai membuatnya.
Lama tak bersentuhan dengan alat-alat demikian, cukup membuat Hayya agak kaku.
"Awww! Aduh, berdarah lagi."
Tak sengaja jarum yang sedang digunakannya melukai jemarinya. Ia pun segera mengobatinya sendiri. Tak berapa lama, Ayya melanjutkan membuat sesuatu. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Namun, terlihat dari desainnya, ia seperti akan membuat boneka. Bukan boneka besar. Tapi boneka sangat kecil, imut sekali. Ukurannya sekitar sepuluh senti meter. Kepalanya berbentuk awan dengan aksen pelangi. Ekspresinya tersenyum manis sekali.
Setelah beberapa saat, dacron terisi dan Ayya pun meletakkan kembali alat tempurnya.
"Alhamdulillaah, akhirnya jadi juga. Lucu juga yah." Ayya mengucap pelan, seakan berbicara dengan boneka gantungan kunci buatannya.
"Aku namai apa yah... Ehm." Ia kembali berceloteh sendiri.
"Rainy. Ya, itu saja, deh." Ia menambahkan sendiri.
***
Sebuah kue ulang tahun nampak menunggu. Bentuk kartun kucingnya seakan menggoda mata siapa saja yang melihatnya. Warna pink kian memanjakan mata. Terpajang rapi di etalase toko kue Legita.
"Akhirnya datang juga. Gimana Ibu, Ay?" Celetuk Nia.
"Alhamdulillah, udah mendingan. Do'ain ya, Nin. Biar sehat trus."
"Pasti."
Ayya tersenyum. Pandangannya teralihkan oleh sebuah kue. Ya, kue ulang tahun berbentuk kartun kucing itu. Ternyata di sampingnya ada sebuah kue lagi. Berbentuk pelangi, dengan warna pastelnya yang menenangkan hati. Tak kalah manisnya.
"Eh, kok kuenya ada dua? Bukannya pemesan kemarin cuma pesan satu ya, Ni?"
"Ouh ini? Iya pas yang jaga kita emang satu. Katanya itu pesanan tambahan. Aku kurang tau sih buat apa. Tapi manis banget yah. Kayak aku," celetuk Nia dengan pedenya.
"Yeee. Kebetulan aku bikin sesuatu yang sama dengan kue itu. Ya..., gak sama-sama banget si. Tapi kayaknya cocok deh buat bonus. Taraaa."
Ayya mengeluarkan sebuah boneka gantungan kunci. Wajahnya berbentuk awan yang mengandung hujan dengan pernik pelangi. Manis sekali.
"Waaah. Aku mauuu!!" Nia mengambilnya begitu saja dari tangan Ayya.
"Iya, iya. Besok aku buatin lagi. Ini buat yang pesan kue itu dulu aja ya. Gatau kenapa ngrasa cocok aja sama kuenya."
"Yaaah. Nunggu deh." Keluh Nia.
"Emang hidup itu tentanh nunggu 'kan? Hehe." Canda Ayya.
***
Kado terbaik akan menyertai siapa saja yang terus bergerak. Meski seluruh anggota tubuhnya meminta berhenti. Tapi yang membuat hidup adalah tekad hati. Seseorang bisa saja lemah fisiknya. Namun, selagi ada semamgat dalam hidupnya—ia akan tetap indah begitu adanya.
Serupa musim, tak ada musim yang menunggu. Menunggu kotanya siap sedia. Tak ada. Yang ada adalah kesiapan kota. Dengan berbagai kejutan musim dan cuaca.
Cuaca hari itu cerah sedikit mendung. Tak sedikit mata yang membacanya memilih menepi. Adapula yang murung. Mata yang menepi, membacanya sebagai kesiapan akan turun hujan. Sedangkan mata yang murung, adalah ketaksiapan diri—lalu membacanya sebagai musibah yang menyebalkan : hujan.
Gerimis memang sempat menyapa setelah cuaca itu. Tapi hanya beberapa saat. Ada cerah kembali seolah kejutan untuk mata yang merindukan. Ya, mereka yang merindukan warna-warna selendang pelangi.
"Tante ..., lihat ada pelangi. Cantiknya." Celetuk seorang anak dengan perempuan berambut pirang itu.
"Iya, sayang. Nanti juga ada kue pelangi. Makanya, ayo kita cepetan jalan lagi."
"Emang ada kue pelangi?"
"Ada, dong."
Sesampainya di toko kue Legita, perempuan berambut pirang itu masuk. Bersamaan dengan anak kecil berponi dan berkepang dua. Manis sekali. Ada yang berbeda dari sebelumnya. Ya, tasnya tak berbunyi seriang sebelumnya.
Tak berapa lama, kue berbentuk kartun kucing sudah di depan matanya. Disusul sebuah kue berbentuk pelangi warna pastel.
"Wahh ini ya, Tante kue pelanginya. Cantik." Celetuk anak itu.
"Oh ya, kemarin saya menemukan ini di lantai toko. Sepertinya punya adek ya?" Ayya menunjukkan sebuah gantungan kunci berbentuk kartun kucing. Lengkap dengan loncengnya yang masih berbunyi.
"Iya, ini punya aku." Anak berkepang dua itu segera mengambilnya begitu saja dari tangan Ayya.
"Eh, bilang apa sama Mbaknya?" Seorang perempuan berambut pirang itu menegurnya.
"Makasih, Mbak." Cerianya.
"Terimakasih, ya. Itu gantungan kunci kesayangannya. Pas tahu hilang, ngambek kemarin. Maklum anak-anak. Makasih, ya." Tutur seorang perempuan berambut pirang yang dipanggil Tante itu.
"Sama-sama."
"Eh, ini apa? Lucu sekali."
"Itu hadiah. Kebetulan saya sendiri yang membuatnya."
"Wah..., cantik. Lucu lagi. Saya suka pelangi. Meski sementara indahnya, tapi memang begitu 'kan hakikat kebahagiaan?" Perempuan berambut pirang itu nampak bahagia disusul terdiam.
"Oh, ya. Sekali lagi, terimakasih, ya. Saya permisi dulu. Sudah ada yang nunggu di luar." Ia berpamit diri.
"Ayo, sayang. Di luar sudah ada yang nungguin." Ia mengajak anak berkepang dua itu.
Bersamaan saat kaki hampir sampai di bibir pintu, seorang laki-laki berwajah tegas dan bermata sipit itu mengampiri.
"Nahh, itu om."
"Sudah? Ayok, di rumah sudah pada nungguin." Ia membantu membawa kuenya.
Dari kejauhan, tak sengaja Ayya melihat sosok itu. Ia coba memperjelas pandangannya.
"Laki-laki itu yang pernah kutolong 'kan? Oh, ya. Kelana. Jadi itu istrinya?" Celetuk Ayya. Bertanya-tanya.
***
Siapa sebenarnya Kelana? Dan siapa perempuan yang dipanggil Tante oleh anak itu? Akankah Kelana masuk kembali dalam kehidupan Ayya, tak sekedae tamu? Simak ceritanya, ya. Vote dan comment kalau kalian suka