"Jangankan orang lain, tak jarang orangtua kita sendiripun belum tentu mengerti. Sejak aku mengenal kaum hawa, aku kira pertanyaan sia-sia yang paling populer dari mereka adalah, 'Kenapa gak bisa ngertiin aku?'"
Tak ada yang benar-benar mengerti selain diri sendiri. Kesepian barangkali semacam menu yang melekat pada tiap insan. Terutama, mereka yang senantiasa mengejar cahaya. Berpegang teguh di dalamnya. Bersinar karena kebaikan-kebaikan yang ditebar, apapun yang diterimanya.
Seorang Soe Hok Gie juga merasakan kesepian dalam menjalani hidupnya. Merasa sepi karena orang-orang tertentu tak mampu memahami jalan pikirnya. Idealisnya. Namun dia tetap fight dengan hal itu.
Begitupun Pramoedya Ananta Toer, selaras merasa kesepian—tersebab memang beberapa orang di sekitar kita barangkali memang tercipta bukan untuk memahami, tapi membentuk diri berjalan lebih tenang sendiri—tanpa puja puji.
"Bila memang yakin, jalan yang ditempuh adalah kebaikan, lakukan. Toh, kita diciptain biar bermanfaat untuk orang lain 'kan? Itu yang selalu kamu bilang ke aku Ay!" Seru Nia.
"Iya, Ni. Tapi ..., ini pilihan berat buatku. Aku tak tega meninggalkan ibu. Beliau memiliki riwayat sakit parah. Tapi aku juga tak mungkin berhenti bekerja. Cuma aku yang bisa bantu mereka." Ayya mengucapkannya tanpa berkaca-kaca. Seakan tak ada sendu di dalam hatinya.
"Tapi jujur, aku juga tak ingin melewatkan kesempatan mengambil beasiswa kuliah ini," lanjutnya.
"Aku tau ini berat buatmu. Kamu tak perlu buru-buru, Ay. Aku janji bakal cari tempat kerja lain yang lebih fleksibel waktunya. Biar kamu bisa juga jagain Ibu. Dan yang gak kalah penting, biar kamu tetep bisa lanjut kuliah. Ok?"
"Aku salut sama kamu, Ay."
"Sabar ya, Ay. Nanti kita cari cara bareng. Sekarang fokus kerja dulu. Keep fighting!!"
"Yess. Fighting!!"
***
Seorang anak perempuan berlari kecil di toko kue Legita—toko kue tempat kerja Ayya dan Nia. Entah apa yang sedang dirasakannya—ia terlihat begitu bahagia. Gantungan tas berbentuk kartun kucing berbunyi begitu riangnya. Seakan turut jadi teman bahagianya.
"Adeek, jangan lari-lari. Ini toko, bukan tempat main, sayang. Ayukk, pulang." Seorang perempuan berambut pirang dan bermata sipit terlihat mencoba menenangkannya.
"Yaaah... emang udah, Kak? Aku suka tempat ini. Banyak kuenya. Kalau besar nanti, aku pengin punya toko kue lebihhh besar dari ini," ucapnya riang.
"Iya-iya. Aamiin. Sekarang kita pulang, yuk. Kasian nanti banyak yang mau beli keganggu sama adek gimana?"
"Ehm... emang kuenya udah? Trus mana?"
"Kuenya kan pesen dulu. Lagian, ultah adek besok 'kan? Biar bentuknya lebih spesial."
"Asiiik. Kartun kucing kan 'Kak?"
Perempuan berambut pirang itu mengangguk. Mereka berdua pun segera meninggalkan toko.
***
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga ya, Ni. Aku langsung pulang yah."
"Oh iya, Ay. Salam ya buat Ibu di rumah."
"Siaap. Daah. Assalamualaikum."
"Hati-hati. Wassalamualaikum."
Kriing...
Sebuah bunyi benda terdengar di telinga Ayya. Kakinya tak sengaja hampir menginjak sesuatu. Sebuah gantungan kunci berbentuk karakter kartun kucing. Berinisialkan huruf SKC.
"Lucu banget. Punya siapa ya? Ah, aku simpan dulu aja deh." Ucap Ayya.
***
"Maaf ya, Bu. Sementara Ibu dirawat di rumah dulu. Hayya belum bisa bawa Ibu ke rumah sakit. Besok Hayya usahain." Ayya menunduk di hadapan Ibunya.
"Nggapapa, Nak. Ibu juga baik-baik aja. Tadi cuma jatuh dan agak sulit bernapas. Tapi sekarang sudah sehat. Ayya lihat sendiri, 'kan?"
Ayya tersenyum. Setelah beberapa saat membantu Ibunya meminum obat.
"Maafin Ayya ya, Bu. Belum bisa jaga Ibu dengan baik. Ayya selalu pergi pagi pulang petang. Tak ada di samping Ibu."
"Ibu yang minta maaf, Nak. Karena Ibu, kamu jadi yang harus bekerja. Sekali lagi maafin Ibu ya, Nak."
Ayya menggelengkan kepala. Memeluk tangan Ibunya. Erat.
"Nak, di bawah laci sana masih ada barang kesukaan Ibu saat usia Ibu sepertimu. Nenek yang mengajari Ibu merajut, membuat kue, boneka kecil, dan benda kerajinan lainnya. Siapa tau kamu suka. Ibu titip sama kamu ya, Nak?"
Hayya mengangguk.
"Masih ingat cara merajut?"
"Masih, Bu. Tapi perlu waktu lama. Ibu kan tau, Ayya pulangnya jam segini. Mungkin agak sulit, tapi Ayya akan coba."
"Jangan dipaksain, Nak. Di sana ada bahan lain. Kamu bisa coba semaumu. Makasih ya, sayang." Ibunya tersenyum.
"Kamu tadi kehujanan 'kan? Bebersih dulu. Biar gak sakit. Jangan lupa ambil di laci Ibu tadi, ya. Ibu simpan di kotak berwarna biru."
"Iya, Bu. Ibu istirahat, ya. Ayya mau bebersih dulu."
Ibunya tersenyum. Terlihat wajahnya yang yang rindu tapi sendu. Sendu tapi rindu. Seakan tak ingin ditinggal pergi anaknya. Meski sebentar saja.
"Naak ...," Tangan Ibunya menahan Ayya.
"Iya, Bu?"
"Jaga diri baik, ya."
Ayya mengangguk.
Ada perasaan haru yang tergambar di wajah Ayya. Saat kecil, tepatnya saat mata Ibunya belum tertanam api dan penuh derai air—ia pernah diajari Ibunya merajut. Menyulam benang, pita, membentuk aneka bunga.
Mungkin lewatnya, tak sadar Ibu menanam baju bernama kesabaran. Lewatnya pula, ia berlapis dengan baju ketulusan. Biar bagaimanapun, kebaikan Ibunya selalu berusaha ia ingat. Di luar segala luka masa lalu yang cukup menyakitinya. Mata Ibunya bukan lagi berapi dan berair mata. Tapi seperti mata air yang sejuk—yang dirindukan setiap pengelana.
Banyak orang memelas kasih untuk dimengerti. Tapi hati yang tulus, selalu berusaha untuk lebih mengerti—memahami orang lain tanpa tapi. Bukankah dengan itu kita akan lebih mengenal rasanya daun yang jatuh tak pernah membenci angin dan pohonnya? Juga rasanya gerimis dan hujan yang menumbuhkan bunga-bunga tapi meski dicaci maki sebagian manusia?
Sejenak, Ayya teringat. Berahun-tahun lamanya Ibunya Ayya memang sudah berusaha. Diluar ia yang belum memiliki telinga yang enak didengar bagi Ayya. Namun, sebenarnya ia begitu kuat dan membuatnya bangga. Tak terbayang, berapa karung goni yang ia cari—untuk meredakan api yang tumbuh di mata suaminya. Mata yang sering menangis, karena api selalu tumbuh tiba-tiba di mata Ayah.
Hari itu tiba. Hari dimana ibunya merasa ada bunga yang hilang. Dan menyaksikan kesakitan tak termaafkan. Kabarnya, bunga itu dicuri untuk perempuan lain. Ibu bisa bersabar dengan segala kemarahan ayah. Tapi tentang apapun bentuk perselingkuhan, Ibunya tak pernah memaafkan. Tak berapa lama, ia menggugat suaminya.
Sejak saat itu, Ibu tak pernah mencari karung goni. Juga tak pernah membanjiri matanya karena sakit hati. Sebaliknya, mata itu telah tumbuh jadi tanah yang sabar. Berbagai tanaman penyayangpun kian subur di atasnya. Lengkap dengan tanaman berbagai bunga.
Dan yang terindah ada kupu-kupu di sana. Perlahan, mata Ibu terus melahirkan kupu-kupu. Serupa anak dari kesabaran dan kasih sayang, lahirlah kebebasan. Ya, kebebasan. Begitukah alasannya engkau melahirkan kupu-kupu itu, Bu?