"Siap!"
"Otw!"
Aksa menimpali jawaban dari ponselnya. Ibunya yang sedari tadi duduk di sofa memerhatikannya. Sesekali menggelengkan kepala. Bisa melihat anak satu-satunya itu, suatu kebahagiaan tersendiri bagi Ibunya.
"Nak... udah mau pergi lagi?"
"Iya, Bu. Aksa mesti selesaikan berkas pindahan buat kampus baru."
"Kamu ndakpapa pindah ke Tegal?"
"Ndakpapa, Bu. Udah, ya. Ibu ndak usah kawatir. Lagian, kita kesini juga biar deket sama nenek kan?"
Ibunya tersenyum.
"Yasudah, hati-hati ya. Jangan sampai jatuh lagi seperti kemarin."
"Iya, Bu. Aksa janji bakal lebih fokus. Aksa berangkat dulu ya, Bu."
Aksa mencium tangan Ibunya. Berpamitan. Beberapa waktu setelah kakinya hampir menyentuh pintu, ia berbalik.
"Oh ya, Bu."
"Ya? Ada yang ketinggalan?"
"Ndak. Kalau ada apa-apa jangan lupa calling, ya?" Tangan Aksa membentuk telepon ke telinganya.
Wajah Ibunya nampak bangga. Aroma ketulusan dan ketenangan semerbak di pagi hari itu.
"Iya, Nak. Hati-hati, ya."
Aksa mengangguk. Menutup pintu. Melangsungkan perjalanan menuju satu; menyelesaikan masalah dengan temannya sebenarnya. Alasan menyelesaikan berkas hanya pengalih agar Ibunya tak terlalu kawatir padanya.
Jaket navy dikenakannya. Motor matic biru pun jadi teman setianya. Semula, ia ingin mengajak salah seorang teman. Namun, ia berpikir ulang.
"Bagaimanapun, aku harus selesaikan masalah ini sendiri."
Semilir angin pagi menyerbak rambutnya yang sedikit berponi. Hidung mancung genetik Ayahnya sangat jelas terlihat dari wajah Aksa. Pun matanya yang tajam menatap segala, tapi teduh dan meneduhkan.
"Semoga saja kali ini aku juga ndak ketemu kamu, Ay. Aku belum berani menjelaskan apapun." Gumam Aksa.
Tak berapa lama kemudian, ia sampai di depan kampus. Mengingat kondisi pandemi, kampusnya cukup sepi. Tak terlihat kerumunan mahasiswa yang biasanya terlihat dimana-mana. Mungkin, sebagian besar kuliah daring.
Dengan sneakers putih dan celana jeansnya, Aksa melangkahkan kaki. Berjalan ke suatu tempat dimana ia biasa berkumpul dengan teman-temannya. Base camp keadilan, mereka menyebutnya. Lebih tepatnya, adalah ruangan Dewan Mahasiswa (DEMA) yang tak terpakai dan dialihfungsikan untuk para aktivis sepertinya.
Kebanyakan dari kalangan mahasiswa hukum, tapi tak sedikit pula mahasiswa lainnya yang memang punya ketertarikan yang sama.
Aksa menyusuri tiap bangunan menuju base camp keadilan itu. Perasaan gugup sempat menggelayutinya. Bagaimana kalau ia tiba-tiba diserang begitu saja oleh teman-temannya? Dikatakan pengecut, dan semacamnya?
Aksa melihat ke salah satu pohon besar. Tak jauh letaknya dari base camp yang ditujunya. Terpampang suatu pamflet yang mencengkan. Aksa menghentikan langkahnya. Tertera kalimat yang sangat menohok.
DICARI!!
ANAK KORUPTOR YANG LARI DARI PENGUSUTAN KASUS AYAHNYA. BILA BERTEMU DENGANNYA, HUBUNGI BASE CAMP KEADILAN
Pamflet itu juga terpampang foto Aksa yang dicetak hitam putih keseluruhannya.
"Bangsaat!!" Geram Aksa.
Ia mencabut pamflet itu. Meremasnya dalam satu kepalan tangan. Ia mempercepat langkahnya. Di persimpangan menuju base camp, sempat bertemu salah seorang mahasiswa. Tatapan penuh tanda tanya menyambutnya.
Tak jarang, yang berbisik-bisik mengenainya. Aksa tak pedulikan itu semua. Sempat terngiang satu nama dalam benaknya. Genta.
"Apa benar semua ini ulahmu, ta?!"
Hanya beberapa langkah lagi Aksa sampai di pintu basecampe keadilan. Terlihat beberapa pasang sepatu dibalik ruangan itu. Artinya, ada beberapa orang di dalamnya. Aksa berhenti sejenak. Mengatur ulang napasnya.
"Haaah.... aku harus bisa tenang. Tenang, Aksa. Tenang..."
Ia melepas sepatunya. Mengetuk pintu sejenak dan menengadahkan kepalanya.
"Assalamualaikum...."
Tak ada jawaban salam darinya. Mungkin, terkesan basi bagi mereka. Ini makij menguatkan Aksa untuk meninggalkan teman-temannya di sana. Teman yang Aksa anggap sudah seperti keluarga kedua, sebelumnya.
"Hello, Bro!! Akhirnya pahlwan kita datang! Hei... ayo kesini semua. Ada pahlawan yang kita tunggu-tunggu, nih." Pekik Genta memanggil teman-temannya di ruangan sebelahnya yang tertutup sekat.
"Oh... akhirnya orang yang kita cari datang juga. Apa kabar, bro?"
Aksa hanya tersenyum kecil. Tangan kanannya refleks meremas pamflet yang dicabutnya dari pohon.
"Ouh... sudah baca, ya? Sorry, Bro. Itu cuma upaya perhatian kami." Genta berusaha menepuk pundak Aksa. Seolah berlagak menenangkannya. Namun, sebenarnya menyindirnya telak.
"Siapa yang punya rencana sepicik ini? Jawab!" Bentak Aksa.
"Kenapa diam? Jawab!! Atau saya ganti nama basecamp ini jadi base camp banci!!"
Bugg!!
Sebuah pukulan mengenal mulut Aksa. Satu pukulan dari Genta diiringi tawanya yang menyeringai.
"Ouh... ini respon kalian saat melihat kawan kalian terkena musibah? Hah? Begini caranya? Dimaki, dicaci, disebar di pamflet seolah kalian makhluk paling suci?"
"Iya. Kenapa? Gak suka? Hah?" Jawab Genta.
Tak ada teman-teman lainnya yang berani jawab selain Genta. Mahasiswa hukum yang sedari dulu sangat mengincar posisi Aksa sebagai ketua dari kelompok aktivisnya.
"Buat apa kalian bicara keadilan, kalau tak mampu bedain mana harus membela dan melawan, hah?"
"Dari sekian cacian yang masuk beberapa hari sejak kasus ayah saya, apa ada di antara kalian yang inisiatif ke rumah? Konfirmasi apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai saya harus pergi dari kota ini, hah?"
"Kalian semua sama saja. Pengecut sejatinya kalian semua!! Persetan bicara keadilan! Kalau hati kalian sudah hilang oleh kepedulian."
"Ganti saja nama base camp ini dengan base camp banci!!" Aksa merutuki semua uneg-unegnya. Awalnya yang berusaha tenang, tetap saja ia lebih lega meluapkannya.
"Ah, rasanya percuma saya ngomong sama orang yang udah hilang empati. Saya kesini cuma mengabari. Saya sudah pindah kampus. Silahkan, yang selama ini menginginkan posisi saya di sini, ambil!"
"Pakai semau kalian jabatan apapun yang kalian ingini di sini. Tapi ingat satu hal, selagi itu tak berdasar dengan kejujuran dan kepedulian hati, apa yang akan kita bela pun hanya omong kosong saja!"
"Saya pamit. Assalamualaikum." Aksa balikkan tubuhnya segera. Terdengar lirih satu ucapan salam dari salah seorang di sana.
Aksa memakai kembali sepatu sneakersnya. Selesai membenarkan tali sepatunya dan bersiap pergi, salah seorang menahannya.
"Sa!! Tunggu!!" Ia menepuk pundak Aksa. Aksa pun membalikkan tubuhnya.
"Oki? Kenapa?"
"Maaf. Aku ndak bisa mencegah semua ini. Tapi percayalah... aku pun tak setuju dengan semua rencana Genta yang kamu lihat hari ini. Dimana semua medsos bahkan ia menyebarkan pamflet kebencian padamu."
"Aku sepenuhnya di pihakmu. Aku yakin tak ada satu anak di dunia ini yang bangga atau mengharapkan ayahnya korupsi. Ini semua bukan salahmu, Sa."
"Aku pikir di dalam sana juga masih ada beberapa teman yang sama dengan pemikiranku. Hanya saja mungkin takut bicara dan ancaman Genta."
"Ancaman?"
"Ya. Genta bahkan mengancam siapa yang di pihakmu, ia akan menyebarkannya sebagai pihak tak terpuji yang mendukung anak koruptor."
"Picik sekali dia, memang. Aku lebih memilih keluar. Benar katamu, Sa. Bagaimana mungkin kita berjuang atas nama keadilan. Kalau kita sendiri belum bisa bedain mana harus membela dan melawan."
"Terima kasih, Ki."
"Aku ikut denganmu."
"Ikut? Aku mau balik ke Tegal."
"Ya. Anggap saja permintaan maaf karena belum sempat ke rumahmu menanyakan kabar sesungguhnya."
"Ndak keberatan kan?"
"Paling kayaknya badanmu aja yang tambah berat, Ki." Ledek Aksa.
"Ah, bisa aja lu!"
Mereka pun menuju parkiran dan bersiap pulang.