Tubuhnya yang tinggi terlihat sedikit gontai. Langkahnya sedikit menunduk lalu ditegakkannya kembali. Terik matahari yang mulai tenggelam membasuh jingga di wajah Aksa. Jaket jeans dipakainya. Helm biru segera dipasangkan di kepalanya yang kian membatu.
"Apakah aku terlalu egois bersikap pergi begitu saja, Ay?" Gumam Aksa.
Namun, ia tak begitu pedulikan. Meskipun ketidakpedulian bisa bermakna kesungguhannya untuk peduli.
"Aku rela kau bahagia, bahkan jika itu tanpa aku, Ay. Maafkan aku yang payah ini." Bersamaan dengan ucapannya, Aksa menancap gas motor matic birunya.
Jalanan pantura dengan kendaraan yang mulai ramai, tak begitu dihiraukannya. Angin yang kian terasa berisiknya ternyata tak lebih berisik dari isi kepalanya.
Mata tajam Aksa memandang ke depan dengan fokusnya. Namun, ia hilang kendali.
Braaak!!!
Sebuah lubang di jalan, tak terlihat olehnya. Ia jatuh tersungkur. Untungnya, tak ada kendaraan berat yang menghantamnya.
"Mas... gakpapa, Mas?" Seorang bapak memapahnya.
"Ndakpapa, Pak. Makasih." Ucap Aksa singkat.
"Kalau capek, mending istirahat dulu, Mas. Jangan dipaksain. Mari mampir warung istri saya." Bapak itu menawarkan.
"Terima kasih, Pak. Tapi-"
"Jangan dipaksain, Mas. Bahaya. Atau lagi ada yang nungguin? Mending dikabarin aja biar yang nungguin juga paham posisi Masnya."
"Kok Bapak tahu?"
"Saya juga pernah muda, Mas. Hehe."
Aksa sedikit tersenyum dan menahan sakit di lutut dan sikunya.
"Sini. Motornya biar saya yang bawa. Masnya bonceng saja."
"Ndak ngerepotin, Pak?"
"Ndakpapa. Ayok."
Aksa pun mengikuti arahan Bapak yang belum mengenalkan namanya itu.
Di perjalanan, Bapak itu seperti berusaha menghibur Aksa dengan berbagai ceritanya.
"Untung Masnya pakai jaket dan helm lengkap. Jadi masih mendinglah kenanya jaket. Dulu saya, Mas. Lebih parah," bapak itu mengajaknya sambil ngobrol.
"Oh ya, Pak?"
"Iya. Saya nakal dulu, Mas. Ngapain pake helm? Kepala juga kepala saya. Haha dulu gitu. Bandel emang."
"Haha." Tak sadar, Aksa juga mulai mengikuti obrolan itu.
"Kalau Bapaknya Mas, juga bandel apa ndak? Eh, keliatannya mah ndak, ya. Wong anaknya aja ndak."
Aksa terdiam. Ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun tentang ayahnya.
"Mas? Kok diem? Eh, maaf saya menyinggung, ya? Maaf ya, Mas. Saya emang suka guyon."
"Ndakpapa, Pak."
"Masnya emang darimana mau kemana?"
"Dari Brebes mau ke Tegal, Pak."
"Ouh... emang dari Brebes. Kirain dari mana. Yasudah... nanti tinggal dikabari yang di rumah saja, Mas. Biar ndak kawatir juga."
"Iya, Pak. Terima kasih."
"Saya juga punya kenalan yang di Tegal, Mas. Orangnya ramah-ramah di sana ya, Mas."
"He... iya, Pak. Ngapak."
"Bener. Oh ya, sebentar lagi sudah sampai, Mas."
Bapak itu menghentikan laju motornya Aksa.
"Masih kuat jalan, Mas? Mau saya papah?" Bapak itu menawarkan diri.
"Astaghfirulloh... saya lupa nanya siapa namanya. Keasikan ngobrol. Masnya namanya siapa?"
"Aksa, Pak."
"Aksa. Nama yang bagus. Pas sama anaknya. Ganteng. Mari, Mas. Ini warung istri saya. Biar santai dulu di sini."
Aksa mengangguk tersenyum. Tak pernah menyangka bertemu orang tak dikenal dalam perjalanan pulangnya. Apalagi sampai bertemu dan ngobrol seperti itu.
"Bu... ada tamu, nih. Ada teh hangat?"
"Oh ya, Bu. Obat luka ada?"
"Siapa yang luka, Pak?"
"Itu anak muda."
Seorang perempuan memakai daster bermotifkan mawar merah keluar. Wajahnya teduh dengan sedikit kerutan di pipinya.
"Astaghfirulloh... jatuh, Mas?"
"Iya, Bu."
"Duduk dulu, Mas. Biar saya buatkan teh hangat."
"Iya, Bu. Makasih."
Sambil membuatkan teh, Ibu itu juga sama ramahnya dengan suaminya.
"Masnya ini namanya siapa?"
"Aksa, Bu."
"Darimana mau kemana emangnya, Mas?"
"Dari Brebes mau ke Tegal, Bu."
"Satu jam-an lagi, ya?"
"Iya, Bu."
"Hati-hati ya, Mas. Kalau di jalan ndak boleh ngelamun. Bahaya. Kita ndak tahu di belakang kita ada kendaraan berat atau apa. Mesti bener-bener fokus."
Aksa menganggukkan kepala.
"Ini teh hangat, Mas. Diminum dulu. Sebentar, ya. Saya panggilkan suami saya dulu. Tadi mau ngambilkan obat tapi kok lama banget."
Aksa menganggukkan kepala lagi. Ia menghembuskan napas panjang. Sambil menahan nyeri luka di siku dan lututnya.
"Ya Allah... apa yang hendak kau tunjukkan padaku?" Lirih Aksa.
Aksa melihat jam di ponselnya. Menunjukkan pukul setengah tiga sore.
"Aku harus segera pulang. Tapi tak mungkin aku pulang dalam keadaan begini."
"Ah, apa Ibu sudah pulang?"
"Aku harus telepon."
Aksa menghubungi seseorang yang mengabari kepulangan Ibunya.
"Hallo, Pak. Maaf, saya ada halangan di jalan. Belum bisa jemput Ibu saya tepat waktu. Gimana kabar Ibu saya? Aman?"
"Hallo, Mas. Alhamdulillah... aman, Mas. Tadi ada yang jemput, Mas. Ibunya aman. Sudah pulang kemungkinan."
"Sudah ada yang jemput? Siapa, Mas?"
"Saya kurang tahu siapa. Tapi katanya kenalan Ayahnya Mas. Mungkin Mas tahu? Saya kira malah Mas Aksa sudah tahu."
"Oh begitu. Yasudah, Pak. Terima kasih."
Klik. Ponsel dimatikannya.
"Orang suruhan Ayah? Darimana Ayah bisa tahu Ibu kena fitnah? Bukannya Ayah sedang di penjara?"
"Ah, apalagi ini?" Raut wajah Aksa mulai cemas. Matanya penuh tanda tanya.
Namun, ia segera mencari kontak ponsel Ibunya. Panggilan telepon berkali-kali dilayangkannya. Tak ada jawaban. Akhirnya, Aksa mengirim pesan ke Ibunya.
"Bu, Ibu apa kabar? Apa benar sudah di rumah? Maaf, Aksa belum bisa jemput Ibu tepat waktu."
Beberapa menit kemudian, balasan pesan yang ditunggu, terjawab.
"Alhamdulillah, Ibu aman, Nak. Ibu sudah di rumah. Kamu sendiri dimana? Sudah bicara langsung ke Hayya? Gimana, kabarnya?"
"Syukurlah. Aksa ada halangan di jalan. Sebentar lagi pulang ke Tegal. Nanti Aksa ceritain di rumah. Ibu jaga diri baik, yah."
"Iya, Nak. Hati-hati, ya."
Seulas senyum tergambar di wajah Aksa.
"Syukurlah. Ibu sudah aman." Ucap Aksa.
"Mas Aksa. Maaf ya, lama. Sini biar saya saja yang obatin. Bapak mana bisa ngobatin," ucap istri dari Bapak yang menolong Aksa.
"Hehe..." Bapak itu cuma menyeringai.
"Ouh ya, Pak. Gimana ceritanta bisa jatuh?"
Sambil mengobati lukanya Aksa, ia sengaja mengajak bicara.
"Bapak ndak sengaja lihat pas lagi jalan mau pulang tadi."
"Berarti ndak tahu kenapa? Ndak ada yang nabrak kan?" Raut wajah cemas khas seorang Ibu pada anaknya tergambar dari perempuan itu.
"Sepertinya jatuh sendiri. Bukankah begitu Mas Aksa?"
Aksa mengangguk. "Iya, Bu. Saya yang jatuh sendiri. Ada lubang di jalan, dan ndak keliatan sama saya. Jadi ya gini."
"Ouh... lain kali hati-hati, ya."
"Makasih, Bu."
"Sama-sama. Diminum dulu. Biar lebih enakan tubuhnya."
"Iya, Mas Aksa. Mau makan?"
"Ndak usah, Pak. Ini saja sudah cukup."
"Mau Bapak antar?"
"Ndak usah, Pak. Masih bisa nyetir sendiri, ko."
"Yakin?"
"Iya, Pak. Barusan saya juga berkabar ke Ibu di rumah mau segera pulang. Jadi saya mau izin pulang dulu. Terima kasih ya, Pak. Bu."
"Jangan lupa mampir ke sini, Mas. Kalau kesini dan lihat."
"InsyaAllah, Pak. Yaampun saya lupa nanya namanya Bapak."
"Ouh ya. Saya juga lupa ngenalin. Saya Andi dan ini istri saya Nike."
"Terima kasih banyak Pak Andi dan Bu Nike."
"Sama-sama. Hati-hati ya, Mas. Jangan lupa dzikir. Biar nyetirnya lebih tenang."
Aksa menganggukkan kepala. Tersenyum dan berpamitan. Tak pernah menyangka perjalanan pulangnya akan dipertemukan dengan mereka. Orang-orang ramah yang tak mengenal siapa, tapi bisa berbuat baik pada sesama.
"YaAllah... terima kasih telah menunjukkanku pada ketulusan mereka. Meski sekarang Ayah tak ada, aku masih bersyukur masih ada Ibu di rumah." Lirih Aksa.
Apa lagi yang Aksa lakukan untuk menyembuhkan dirinya? Dan tentang yang menjemput Ibunya, apakah benar suruhan Ayahnya? Bagaimana ia mampu berdamai dengan Ayahnya? Simak terus kelanjutanya, ya :)
Dukung cerita ini dengan vote, komentar setelah baca, ya. Terima kasih