Aksa melanjutkan perjalanan kembali ke rumah. Meski orang yang ditemuinya, sudah bertemu. Namun, ia memutuskan menjauh. Terlebih, dengan berbagai masalah yang dihadapinya. Aksa tak yakin akan menceritakannya saat itu pada Ayya.
Seperti membuat jarak tersendiri pada hatinya.
"Hayya, bagaimana mengertimu? Kenapa perempuan begitu aneh?!" Aksa berusaha mengurai sendiri tanyanya.
Aksa melanjutkan perjalanan kembali ke rumah. Meski orang yang ditemuinya, sudah bertemu. Namun, ia memutuskan menjauh. Terlebih, dengan berbagai masalah yang dihadapinya. Aksa tak yakin akan menceritakannya saat itu pada Ayya.
Seperti membuat jarak tersendiri pada hatinya.
Aksa mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Nia.
"Aku titip Ayya ya, Ni. Maaf, selama ini aku menghilang dan banyak berbuat salah padanya. Semoga kamu sebagai sahabatnya bisa menjaganya dengan baik. Maaf, aku belum bisa menjelaskan semuanya untuk sekarang."
Terkirim. Aksa melanjutkan perjalanannya pulang. Menjemput Ibunya.
***
Di jalan yang lain, Ayya berusaha terus menebar kasih. Ia tetap membaca buku. Menulis sesuatu. Mengeluarkan percik kembang api dari pena. Meluapkan amarah pada halaman buku yang penuh mata dan telinga. Menebar senyum dan tawa pada anak-anak.
Pun, menawarkan teduh puisi pada mereka. Ia terus saja begitu. Seakan melupa, hujan tak lagi datang dan pergi bersamanya. Hujan tak lagi turun dari langit. Tapi dari matanya yang terus menebar kesejukan. Tanpa terhalang siapapun yang mengecewakannya. Bedanya, ia sudah memiliki aktivitas tambahan; pegawai toko kue di daerahnya.
Sebagaimana Aksa yang memilih menjauh, demikian juga dengan Ayya. Bahkan, Ayya masih menjuluki dirinya sebagai Hujan. Sebutan yang dulu untuk Aksa. Ia memutuskan menjauh sejauh-jauhnya dengannya. Merawat segala duka dan lukanya sendiri.
"Akulah hujan. Yang mulai hari itu, bertekad untuk senantiasa menyibukkan memberi kebaikan pada sesama. Bukan berkeluh, menceritakan kesedihan pada lainnya. Dan akulah hujan. Akan bicara apa yang akan kutumbuhkan bukan apa yang jatuh berserakan."
"Ya. Aku adalah Hujan. Yang percaya dibalik hujan memiliki beribu keajaiban. Aku akan lebih menagih diri berbuat baik untuk orang lain. Pun, mendamaikan setiap pasangan yang bertengkar di bumi ini. Demikian keindahan cinta bekerja, bukan?" Gumam Ayya, perempuan berbaju navy yang membawa payung hitam itu.
"Hujan yang semula panggilan untukmu, biarlah kini kunamai pula diriku adalah hujan. Sebab kamu adalah aku yang lain. Aku adalah kamu."
"Aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan lebih banyak menagih diri membantu orang lain, menebar kasih tanpa pamrih. Serupa hujan, tetap menyejukkan meskipun dikutuk habis-habisan." Ucap Ayya bertekad diri.
"Cuma dengan berbuat baik pada orang lain seperti inilah, aku merasa lebih bisa merawat perasaan ini. Meskipun aku tak tahu akan kemana ia terlabuhkan." Lanjutnya.
Apa yang akan Aksa dan Ayya lakukan untuk melanjutkan perjalanan cintanya?
***
Ayya berjalan kembali ke toko kue tempat kerjanya. Payung hitam dilipat dan dimasukkannya ke dalam tas. Ia sengaja membawanya, entah karena menyukainya.
Sejak pertemuan terakhir di malam hujan itu, Ayya tak bisa memaafkan Aksa. Baginya, ia bisa memaafkan apapun dari laki-laki, asal bukan pengkhianatan. Sekalipun nanti ia bisa memaafkan, mungkin butuh proses yang begitu panjangnya.
Wajahnta menunduk seakan mencari sesuatu. Ia buka pintu toko kuenya.
"Permisi... aku kembali." Ucapnya lemah.
"Eh, balik juga. Kenapa cemberut gitu?"
"Tadi ketemu Aksa?"
"Ay... jawab dong. Tadi ketemu Aksa kan?"
Rentetan tanya dilontarkan Nia begitu saja.
"Aku haus. Bisa tolong ambilkan minum? Rasanya capek sekali." Ucap Ayya sambil duduk pasrah menyandarkan wajahnya di meja.
"Sebentar."
Nia segera mengambilkan segelas air putih padanya.
"Ini, diminum dulu."
"Makasih. Kamu emang sahabatku yang baik."
"Hm... udah, minum. Baru jelasin."
"Aku gapengin jelasin sekarang. Lagian udah waktunya kerja kan? Sebentar lagi jam istirahat habis kan?"
"Iya juga. Yaudah, pokoknya nanti setelah ini kamu harus cerita. Aku gabisa lihat kamu kegini."
"Iya, bawel."
"Tuh... udah ada pelanggan masuk."
Demian siang itu berlanjut sampai sore. Ayya dan Nia bekerja seperti biasanya. Melayani para pembeli kue.
"Akhirnya, bisa pulang juga."
"Eh, inget. Ceritain! Kamu harus cerita, Ay!"
"Cerita apa sih?"
"Tadi ketemu Aksa, kan?"
"Dia beneran balik ke sini kan? Kesini selamanya atau cuma ketemu kamu?"
"Entahlah. Aku gak tahu."
"Kalian masih berantem? Kenapa sih?"
"Kalau begini aku yang bingung."
"Bingung kenapa?"
"Ya... aku gamau kalian rumit gini."
"Aku gapapa, Nia. Makasih yaa udah kawatir."
"Iya. Tadi emang ketemu dia. Gak sengaja. Tapi...."
"Tapi apa, Ay?"
"Tapi... yasudah begitu saja."
"Ih... kamu mah. Pasti ada sesuatu yang gak beres."
"Hahah... gapapa. Gausah kawatir. Lagian, sekarang kan aku sudah punya julukan baru."
"Julukan baru? Apaan?"
"Hujan. Aku ingin seperti hujan. Kamu juga percaya malaikat di bawah hujan kan, Ni? Hujan selalu identik dengan rahmat. Ketulusan memberi. Aku ingin fokus berbuat baik pada orang lain."
"Seperti malaikat di bawah hujan."
"Maksudmu, Ay?"
"Ya. Meskipun hatiku sakit, terluka, kecewa. Aku ingin menjadi diriku yang berbeda. Aku ingin lebih menagih diri berbuat baik pada orang lain."
"Misalnya tetap menulis yang baik-baik, tetap ke panti menghibur anak-anak di sana, atau... bisa juga mendamaikan seluruh pasangan yang bertengkar agar kembali penuh kasih."
"Halah. Aku gak mudeng blass."
"Hahah."
"Kamu cocok dengan Aksa, Ay. Dia kan juga pengagum sastra. Kenapa sih kalian gak bersatu lagi? Lagian kenapa? Apa sebabnya? Selama ini kan kamu gak pernah cerita, Ay." Geruta Nia.
"Maaf ya Nia, sahabatku yang cantik, lucu, dan menggemaskan. Aku belum bisa cerita kenapa. Tapi aku sangat berterima kasih untuk kepedulianmu."
"Doakan saja aku tetap kuat menjalani hidup biar tetap bermanfaat untuk orang lain. Ok?" Ayya kini berubah semangat. Seakan mendapatkan kekuatan dan alasannya tersendiri menjalani hidup. Meskipun pelik.
"Ah, aku sampai tak tahu lagi apa yang harus aku katakan."
"Katakan semoga baik-baik saja. Itu kayaknya kalimat klise yang cukup baik."
"Heih... yasudah semoga kamu dan Aksa baik-baik saja."
"Nah, itu lebih enak didengar. Udah ah. Yuk, pulang!"
Ayya menggandeng tangan Nia. Berjalan dan berteduh pada halte. Menanti bus yang membawanya pulang.
Jarak sedih dan bahagia terlihat sangat begitu dekatnya. Siang itu, padahal Ayya menangis seduh. Hatinya penuh luka. Pertemuan yang juga dirindukannya, ternyata hanya pintu dari perpisahan lainnya.
Meskipun begitu, dalam beberapa waktu ia bisa mengambil energi semangatnya kembali. Betapa ajaibnya hati dan semangat hidupnya.
Ya. Perempuan aneh yang menjuluki dirinya adalah hujan itu.
"Aksa, semoga kamu baik-baik saja di sana. Dimanapun kamu sekarang." Gumam Ayya.
Bus yang mereka nanti pun datang. Bersiap pulang dengan semangat baru. Meskipun perpisahan dan pertemuan jadi jembatan duka dan bahagianya, hari itu Ayya lebih percaya. Bahwa keduanya senantiasa berdampingan. Barangkali, semacam meyakini bahwa menerima semua itu juga perlu usaha dari diri.
"Cuma dengan lebih fokus berbuat baik pada orang lain begini, aku berharap lebih merawat perasaaan ini, Sa. Aku, biarlah menjadi hujan." Gumam Ayya. Bersamaan, rintik hujan membasahi kaca jendela Bus yang ditumpanginya.