"Ay, aku dapat kabar Aksa sedang kesini. Apa kamu tak merindukannya juga?"
"Ay?" Nia menjadi bingung sendiri. Melihat Ayya terdiam.
"Eh, Makasih kabarnya yah. Aku ganti seragam dulu."
"Yeee, malah kabur. Aku belum selesai Ayya!"
"Kamu sebaiknya bikin akun instagram atau facebook deh. Biar tau kabarnya!!" Sambil agak teriak Nia mengucapkannya.
"Aksa? Apa benar kamu merindukanku? Adakah sabar menjelma kabar? Memang aku sudah sabar? Hingga kabar pantas berkabar?"
"Ni, aku pergi ke masjid dulu, ya. Gatau kenapa pengin sholat di sana."
"Ehm, jangan lama-lama tapi, ya."
***
Laki-laki berponi dan berkacamata coklat itu memilih mencari beberapa referensi—untuk melanjutkan membaca.
Melihat orang lain bahagia karena karyanya, nampaknya membuatnya bahagia. Ya, itulah Aksa. Membuat orang lain bahagia, adalah kebahagian tersendiri baginya—hal yang cukup memotivasinya.
Cuaca kota bawang itu begitu terik. Namun, ada satu tempat yang tetap sejuk, meski terik. Tak lain, adalah salah satu tempat favoritnya—rumah baca. Aksa pun mengayuh melaju kesana. Menaruh jaket dan tasnya, bersiap bertemu anak-anak.
Namun, Aksa teringat ia belum sholat dhuhur. Ia pun mampir ke sebuah masjid tak jauh dari rumah baca itu.
Cuaca yang teras panas, kian membuat air yang mengalir dari kran terasa lebih sejuk. Tak berapa lama, ia berjalan menuju tempat sholat. Ia sholat tepat tak jauh dari AC yang dinginnya kian membuat syahdu.
Hiasan lampu masjid, yang menyerupai bunga tulip melingkar—sanggup membuat mata siapa saja takjub. Masjid itu memang tak terlalu besar, tapi nuansanya begitu menyejukkan. Ada kenyamanan tersendiri bagi Aksa.
Ia telah selesai sholat dhuhur. Ia pandangi sejenak di hadapannya. Aroma sekitarnya. Kesejukan yang berbanding terbalik saat sudah keluar dari masjid itu. Rasanya ingin berlama-lama di sana. Tas dan jaketnya ia taruh kembali. Duduk bersandar. Menikmati kesejukan yang selalu ia rindukan. Namun, tak berapa saat beberapa orang mulai masuk. Aksa tak enak hati, kawatir mengganggu sholat, ia pun segara beranjak.
***
"Maaf, Mba. Bisa minta tolong kasihkan jaket ini ke Mas yang pakai baju navy itu? Sepertinya punya dia. Istri saya sudah nunggu soalnya. Maaf, ya. Tolong." Seorang laki-laki menghampiri Ayya yang lewat di pintu masuk tempat sholat.
"Ouh, iya. Saya segera sampaikan."
"Suwun."
"Sami-sami."
Hayya segera mempercepat langkahnya.
"Assalamualaikum, Mas. Tunggu."
Laki-laki yang dipanggilnya berbalik. Waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Kekawatiran bercampur hal yang sulit dikatakan kata-kata. Pandangan mata merekalah yang paling melukiskannya.
"Aksa?" Ayya terkejut. Begitupun laki-laki yang dipanggilnya.
"Maaf, aku cuma mau ngasih ini. Tadi ada bapak-bapak yang nitipin tas ini suruh kasih ke kamu." Hayya menyerahkannya.
"Astaghfirulloh, lupa. Makasih, Ay." Aksa langsung kembali berbalik.
"Kamu mau langsung pulang setelah lihat aku disini? Setelah berapa lama kita tak bertemu?" Ucap Aksa.
Langkah Ayya tertahan. Ia terhenti. Entah oleh kata-kata Aksa atau kerinduannya yang tak pernah sanggup ia katakan. Ia merasa tak sanggup mendengarkan apapun dari Aksa. Setelah kejadian malam hujan itu.
"Boleh aku bicara? Sebentar." Pinta Aksa.
"Tapi..."
"Cuma beberapa menit. Tolong. Aku gatau kapan aku akan ke kota ini lagi."
"Kamu tahu dari mana aku di sini, Ay?"
"Gapenting aku tahu darimana."
"Ay.. Aku pergi untuk kembali. Setialah menanti," ucap Aksa dengan sendu tapi yakin. Yakin tapi sendu.
"Memang semua yang pulang akan mendapatkan?" Ayya meraba bening matanya.
"Aku takkan lama. Percayalah." Ucap Aksa lagi meyakinkan dan ragu. Ragu dan meyakinkan. Hingga jarak ragu dan yakin tak terukur bilang.
"Memang sejak kapan aku tak memercayaimu?" Ayya berusaha menyejukkan matanya yang runtuh oleh air mata.
Tidak ada yang pasti di dunia ini. Satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian itu sendiri. Tentu selain kepastian adanya kematian.
Ayya pandangi punggungnya yang gelisah. Untuk kesekian kali Aksa balikkan wajah. Menatap Ayya dengan resah. Dalam wajahnya, Ayya seperti titipkan bekal yang tak kan pernah kadaluarsa—adalah do'a-do'a agar senantiasa dalam lindungan-Nya.
Pada kedalaman hatinya, ia titipkan sebuah do'a—semoga ketenangan jiwa senantiasa menyelimuti Aksa. Meski untuk waktu yang ia tak tahu—akan tiada dirinya di dalamnya. Bukankah perihal kasih itu hanya memberi tak mengharap kembali?
"Lalu, sejak kapan narasi, 'pergi untuk menggapai dimulai, Aksa?"
"Sejak mata kita saling berusaha menenangkan baik-baik saja untuk ketidak baik-baik saja? Atau, sejak jatuhnya daun-daun hijau yang jatuh dari pepohonan sekitar kita? yang rela bersitabah—tak menuntut meski jatuh pasrah?" Dalam wajahnya yang menjenguk Ayya kembali, untuk kesekian kali. Dengan sangat lembut ia katakan tepat di wajah Ayya.
"Matamu adalah rumah untukku pulang. Jaga dirimu baik, Ay. Maafkan aku yang membuatmu sedih. Aku akan kembali pergi."
Namun, Ayya tak menjawab. Hanya beberapa saat setelah kepergiannya, mulutnya bertutur lirih.
"Dan suaramu adalah jalan pulang mataku, Aksa."
"Aku hampir selalu kalah untuk tak menahan derai mutiara dari mataku saat rindu padamu."
"Kamu percaya 'kan? Kamu akan tetap jadi Ayyaku, 'kan? Meski aku tak kan berharap. Kamu bebas menentukan pilihan. Maafkan aku, Ay. Maafkan aku yang payah ini."
Racauan mulai keluar begitu saja. Seakan memaksanya untuk duduk dan tenang saja di dekat Ayya. Mendengarkan lagu daun yang berirama dengan angin. Mendengarkan lagu angin yang berirama dengan daun. Tapi tekadnya merahasiakan yang dirasa, jauh lebih kuat hari itu. Rahasia itu kian diam dan dalam. Dalam dan semakin diam.
Ia teringat beberapa saat bersama Ayya. Duduk di taman yang sejuk, membaca daun dan angin. Membicarakan mimpi-mimpi. Ya, kala itu. Tak disangka adalah detik-detik menjelang akhir temu. Sebelum hujan malam itu.
"Perempuan boleh menangis kan, Aksa?"
"Menangislah. Tapi jangan lama."
"Emang kenapa?"
"Takut lupa cara tertawa." Ia kembali membuat Ayya tersenyum.
"Ayya, kamu yakin gamau cerita?"
"Aku belum siap, Aksa. Aku cuma capek."
"Yasudah, biar gacapek. Bentar ya," Aksa beranjak dari tempat duduknya. Beberapa menit kemudian eskrim coklat dan sebungkus stroberi di tangan kirinya.
"Khusus untuk perempuan sok misterius. Yang nangis, tapi gamau cerita. Semoga harimu manis, Nona," Aksa ingat. Ia yang selalu berusaha menenangkannya. Meski sering sebaliknya.
"Apaan sih, Aksa."
"Ay, boleh nanya nggak?"
"Hum?"
"Kamu pengin apa dalam hidup ini?"
"Maksudnya?"
"Mungkin, semacam mimpi. Hampir setiap orang besar, punya mimpi, Ay. Aku pengin dengar mimpimu," Aksa menatap dalam Ayya. Matanya seolah menyiapkan alarm untuk telinganya mendengar dengan bijaksana.
"Aku gatau. Aku gapunya mimpi."
"Hmm ... aku yakin, kamu cuma belum menemukannya aja."
"Emang kamu punya mimpi apa?"
"Simple. Membuat sebanyak mungkin orang lain bergembira."
"Seperti?"
"Mungkin ... seperti hujan yang jatuh tapi menyejukkan hati para perindu. Atau, seperti matahari yang menyinari dan membuat senyum padi-padi petani."
"Lebay!"
"Ih ... nyastra gitu lebay. Dasar gatau seni. Huh!" Ledeknya.
"Sekarang, aku udah punya mimpi."
"Oh, ya? Cepat sekali. Emang apa?"
"Mengaamiinkan segala mimpimu."
"Ini baru lebaay!"
"Jangan lupa nanti tetap berkabar, yah. Apapun yang terjadi." Pinta Ayya dulu kala.
"Eh ... jangan cemberut lagi."
Ayya menganggukkan kepala. Angin berhembus mesra. Meninabobokan segala di sekitarnya. Tapi tidak dengan yang berdegup di dada.
Kenangan terputar begitu saja. Pertemuan yang menyesakkan itu tetap membawa air mata.
Waktu berlalu. Musim berganti setelah menunggu gilirannya dengan tabah hati. Tinggallah Ayya dan Aksa bersama sunyi yang kian sembunyi. Bersama dirinya masing-masing.
Aksa mengangkat wajahnya yang sendu. Ia cari bayang wajah Ayya yang menghilang. Ia cari. Matanya terus mencari. Tapi sepi. Hingga dering ponselnya, memecah sunyi.
"Assalamualaikum, ada apa?"
"Waalaikumsalam, Ini Mas Aksa? Saya mau mengabari Ibunya sudah bisa dijemput pulang."
Beberapa hari setelah Ayahnya ditangkap, Ibunya memang sempat diduga bermasalah sebagai jurnalis investigasi. Meskipun, hal itu bisa ditepisnya. Ibunya hanya difitnah.
Klik.
Aksa matikan segera ponselnya. Beberapa detik kemudian, tak ada bekas sedih dari wajahnya. Ia luruh bersama angin yang membelai mesra sebagian poni di rambutnya.
"Maaf, Ay. Aku harus segera pergi."
Ayya terdiam menatap punggung Aksa yang kian menghilang.
Baru saja Aksa dikejutkan kehadiran Hayya di depan matanya. Sekarang, perasaan itu, kembali harus ia simpan dalam-dalam. Entah sampai kapan, ia jadi penabung rahasia paling ulung atas segala perasaannya.
Bergantian wajah cemas mengingat kabar Ibunya, ada satu pertanyaan yang muncul bergantian. Memutar sepanjang perjalanannya.
"Apa aku akan kembali menemukanmu, Ay?"
"Cuaca mana yang akan mempertemukan kita tanpa kecewa?" "Pada sebelum hujan turun atau malam tanpa kesedihan?" Aksa bertanya-tanya.
***
"Hei, Aksa! Gimana? Katanya jadi kesini?"
Sebuah pesan mendarat di ponsel Aksa. Namun, tak ia segera membalasnya.
"Dasar, ya. Gak bisa diandelin!" Gerutu Nia, sahabat Ayya.
Nia tak tahu, orang yang dinantinya itu telah sampai. Bahkan telah sampai sebelum ia bertanya. Hanya sebuah takdir mempertemukan Aksa dan Ayya tak terduga. Dan perpisahan, menjadi jalan yang tak bisa ditebak. Apalagi diperselisihkan.
Akan kemana nasib membawa perasaan mereka berdua?