Laki-laki itu masih tertegun. Ia seperti seorang manusia dengan setengah kesadaran. Matanya menunduk seakan mencari kesalahan. Bukan hanya mencari, tapi mengutuk dirinya.
Wajahnya kian menyedihkan, saat menatap hujan. Menatap hujan membuatnya teringat gadis ajaib penyuka hujan dan malam itu. Ya, tak lain adalah kekasihnya. Ayya.
Kekasih? Agaknya malam itu adalah jembatan pemutus kasih. Sebuah kesalahan fatal dilakukan laki-laki itu. Aksa.
Seorang mahasiswa semester awal yang menggilai sastra. Ia siap berhadapan dengan siapa saja atas nama membela kebenaran. Pria idealis, begitu banyak orang menyebutnya.
Aksa masih memegang kertas itu. Sebuah kertas ucapan ulang tahun dari kekasihnya. Seorang gadis yang selain pencinta hujan dan malam. Iapun penggila buku. Barangkali, lewat itu mereka bertemu.
Dipandanginya kertas ucapan itu. Wajahnya kian menyedihkan. Ditenggelamkan dirinya sendiri. Layu. Dan semakin layu.
"Ayya, maafkan aku. Kamu hanya tak tau. Ini bukan kemauanku." Gumamnya.
"Kumohon, semoga kau mengerti."
Malam masih menitikkan bulir bening dan heningnya. Aksa melirik jam tangan di tangan kirinya. Pukul sepuluh lebih empat puluh delapan menit.
Ya, laki-laki itu masih menaruh kertas ucapan ulang tahun kekasihnya di jaket merah mudanya. Oh, bukan. Sudah berpindah ke jaket navynya.
Meskipun, saat pulang. Tak ada Ibunya di rumah. Seketika, Aksa teringat nasihat Ibunya tentang wanita. Ya, memori itu teringat begitu saja.
"Darimana saja kamu, Nak?" Sapa Ibunya setelah terlihat capek menunggu di sofa tamu.
"Tadi kehujanan, Bu. Alhamdulillah aku sudah bisa lihat Ibu lagi."
"Iya, Nak. Alhamdulillah, semua bisa diselesaikan baik-baik. Kebenaran menemui cahayanya."
"Oh ya, sama Ayya? Habis jemput dia?"
"Ehm, tadinya iya, Bu. Tapi... gajadi."
"Lho, kenapa? Padahal Ibu kangen sekali sama dia. Kapan-kapan ajak kesini, yah?"
Aksa tertunduk. Wajahnya kembali meraba sedih. Namun, diangkatnya kembali wajah itu.
"Sudah tak bisa, Bu. Ayya sepertinya gak bisa main ke sini nemenin Ibu."
"Kenapa sayang? Kalian berantem?"
"Entahlah... Aksa capek, Bu. Mau ke kamar dulu ganti baju."
"Jangan lupa trus makan. Ibu sudah masakin buat kamu."
"Iya."
Aksa sadar. Ibunya belum bisa di sisinya. Kesepian, menjadi teman sejati saat ini.
"Ibu, Aksa janji akan bawa pulang Ibu. Aksa juga akan temui Ayya." Tekadnya.
Baru saja ia tersadar dari kenangan Ibunya, dering ponsel mengagetkannya.
"Aksa!! Besok ke kampus lebih cepet, ya! Besok ada rapat penting!!"
"Alerta!! Alerta!! Besok lo mesti ke kampus, Bro! Temen-temen nungguin lo!"
Berbagai pesan mendarat di ponsel Aksa. Namun, ia seperti belum selera membalasnya. Ia malah membuka kembali kertas ucapan dari Ayya.
Selamat ulang tahun, Hujanku.
Semoga kau tetap merawat satu bunga di halaman matamu.
Ia baca dua kalimat itu. Ia terus membacanya. Mungkin, rasanya seperti berbagai benda tajam menusuknya berkali-kali. Ia telah melukai gadis berhati bening itu. Gadis yang tak pantas dilukai sedikitpun.
Namun, seakan percuma. Ayya dikenalnya sebagai orang yang sabar. Baik hati. Penuh kepedulian. Namun, saat marah... jangan ditanya. Marahnya orang yang sabar, sungguh menakutkan.
Itulah mungkin alasan Aksa begitu membaca ulang kesalahannya.
"Kenapa juga aku harus kesana dengan perempuan lain? Haahh Aksa!! Kamu gimana?"
"Sampe pake jaket murah muda punya perempuan lain, untuk menjemput kekasihmu sendiri. Dimana otak cerdasmu yang bisa kamu pakai menganalisa, hah?!" Ia memaki dirinya sendiri.
Terus memaki. Saat kembali memegang kepalanya sendiri. Merenung di meja kamarnya.
Sebuah telepon berdering.
Tak lain adalah temannya yang tadi mengiriminya pesan. Kembali membuat kepalanya terasa mau pecah.
"Hallo, Bro. Lo dimana? Gawat, besok mesti ke kampus! Temen-temen butuh lo!"
"Ada apa?"
"Pokoknya lo mesti ke kampus. Besok jam tujuh pagi. Jangan telat!"
Aksa sengaja belum mengabari temannya tentang kepindahannya.
Klik. Telepon dimatikannya.
"Ish... bikin tambah pusing aja." Gerutunya.
***
"Naak... makan dulu. Kamu belum makan." Suara Ibunya seolah terdengar dari kamar Aksa.
Tak mau membuatnya kawatir, Aksa pun keluar.
"Naah, sini makan dulu."
"Kamu beneran gapapa, Nak? Wajahmu terlihat lesu. Masih kepikiran Ayya?"
"Ndapapa, Bu. Aksa baik-baik aja."
"Ayya itu perempuan baik. Hatinya lembut. Sabar. Perempuan sepertinya jangan pernah disia-siakan. Jangan pernah sedikitpun kamu menyakitinya."
Aksa mendengarkan tutur Ibunya seksama.
"Memang, dia sabar, baik, peduli sama orang lain. Namun, saat di hatinya sudah kecewa, perlu ekstra perjuangan mendapatkan hatinya kembali. Itupun kalau masih bisa."
"Kamu inget dulu bagaimana mendapatkan hatinya Ayya, 'kan?"
"Perempuan sepertinya tak mudah membuka hati untuk orang lain 'kan?"
Ibunya bertanya, tapi seakan tak perlu jawaban anaknya. Diamnya Aksa sudah jadi jawaban bagi Ibunya.
Aksa terdiam. Wajahnya masih penuh kekawatiran.
"Sudah... kamu tenang saja. Kamu masih ingat rahasia wanita yang pernah Ibu bilang?"
"Rahasia?"
"Ya. Rahasia wanita."
"Maksud Ibu?"
"Ehm, lupa, ya. Perempuan seperti Ayya bukan perempuan sembarangan. Yang bisa luluh hatinya, hanya dengan bunga, puisi, apalagi gombalan tak berisi. Benar 'kan?"
Aksa memandang Ibunya. Seolah menebak-nebak apa maksud dari yang akan dijelaskan Ibunya.
"Perempuan sepertinya itu istimewa. Kamu harus mengerti bagaimana merawat hatinya. Bukan hanya mendapatkannya."
"Maksud Ibu? Aksa gak paham."
"Kamu... aktivis tapi gak paham tentang cinta. Gimana mau jadi aktivis yang bener-bener aktivis?"
"Ibu... jangan menyindir. Langsung saja kasih Aksa nasehat yang Aksa mudah mengerti."
"Begini. Kamu harus belajar sabar. Menjaga hati perempuan lebih perlu perjuangan daripada hanya sekedar mendapatkannya. Seperti saat sekarang, kamu ini, Nak."
"Kamu inget dulu bagaimana mendapatkannya? Meraih hatinya yang sulit membuka hati untuk pria manapun?"
"Tapi kamu berhasil mengetuk hatinya. Itu artinya, Hayya melihat keindahan berbeda dari dirimu, Nak. Kamu inget-inget lagi apa itu."
"Itu semacam rahasia wanita. Dalam memandang pria. Tapi, kali ini entah apa masalah yang kamu lakukan ke Ayya, kamu harus lebih sabar."
"Sudah. Makan dulu yah?"
"Kenapa perempuan selalu sulit dimengerti, Bu? Lebih pusing dari ngurusin permasalahan negara." Gerutu Aksa.
"Haha. Permasalahan negara, bisa juga berawal dari tak bisa mengurusi negara kecil dari keluarganya bukan?"
"Oh ya, Bu. Besok aku mau berangkat cepet ke kampus."
"Ada apa? Ada masalah lagi?"
"Kata temen sih gitu. Gawat katanya. Ibu tau sendiri temen-temen suka nungguin petuahku." Ucap Aksa sedikit melegakan perasaan sedihnya.
"Itulah anak Ibu."
Dalam benak Aksa, berbagai tanya seperti masih menggantung. "Bagaimana mengurai rahasia wanita itu? Aku sungguh tak mengeti maksud Ibu."
"Oh, Mimpi?" Aksa terbangun dari tidurnya. Ternyata ia ketiduran di sofa setelah kesal dengan rentetan kabar dari temannya yang mengancam.
"Ouh, apakah ini artinya aku harus menemui Ayya?"
***
"Selama ini kamu mungkin terus mengira Aksa yang telah mengecewakanmu. Tanpa kamu mau berusaha mendengar sedikitpun alasannya. Yang kukenal sejak dulu, itu bukan Ayya." Tegur Nia, sahabatnya itu.
"Kalau suatu saat nanti Aksa mengajak kita bertiga ketemu, kuharap kamu bisa menerimanya. Setidaknya menyambut baik seseorang yang juga pernah membuatmu tak merasa sendirian dan punya semangat seperti sekarang, Ayya." Nia terus mengeluarkan yang ada di benaknya.
Ayya masih terdiam. Pertemuan terakhir hujan malam itu kian memenuhi kepalanya.
"Kenapa Nia bisa tau? Kenapa aku harus bertemu kembali dalam suasana seperti ini? Dalam cuaca begini?"
***
Apakah Aksa akan menemui Ayya? Apa saja yang akan dikatakannya kalau benar-benar berjumpa?? Simak terus kelanjutannya, ya.
Jangan lupa vote dan komentarnya 🙂