"Nak, kamu masih bekerja di toko kue itu?" Ibunya Ayya bertanya dengan suara lembut anaknya.
"Iya, Bu. Ayya masih bekerja di sana."
"Mau sampai kapan? Kamu gapengin lanjutin studimu?"
"Bu? Ayya mau deket Ibu. Jangan bahas itu lagi, ya. Maafin Ayya."
"Nak, tak ada Ibu yang tega membiarkan anaknya sedih dan susah. Ibu merasa malu."
"Ayya gak sedih, Bu. Juga gak merasa susah. Ayya lakuin ini dengan senang hati, Bu. Buat Ibu, biar tak sedih meski tanpa Ayah."
Beberapa saat kemudian, mata Ibunya seperti membaca dinding kamarnya. Mengumpulkan tanya-tanya. Kemudian, lahirlah kembali tanya.
"Nak, kamu masih berteman dengan Aksa? Gimana kabarnya sekarang? Ibu lama sekali gak lihat dia."
"Alhamdulillah, dia baik, Bu."
"Syukurlah. Kenapa kamu jarang cerita? Ibu lihat kamu juga gapernah lagi keluar sama Aksa."
"Aksa sudah pindah sama keluarganya ke Tegal, Bu. Dia melanjutkan kuliahnya di sana. Tak berapa lama saat Dek Nuke meninggal, Bu."
"Lalu, sudah ketemu? kamu tahu kabarnya darimana?"
"Tidak, Bu. Ayya tahu juga dari Nia." Ayya mengucapkannya dengan sedikit menunduk. Seakan menyeka yang berusaha jatuh dari matanya.
"Nak, kamu masih sering berkabar lewat telepon?"
Ayya menggeleng.
"Surat?"
Ayya kembali menggeleng.
"Kenapa? Dia kan sahabat dekatmu. Apa kamu gak kangen, Nak?"
"Ayya kangennya sama Ibu. Naah, sekarang Ibu makan dulu, ya. Ayya suapin." Ayya melangkah keluar. Beberaa saat kemudian membawa makanan dan minuman untuk Ibunya.
"Nak, selagi orang yang kamu sayangi masih ada di dunia ini. Dan ia pun masih tulus menyayangimu. Sinarilah. Rengkuh segala sedih dan susahnya. Tak ada kesedihan paling menyedihkan saat melihat orang yang kita sayang pergi meninggalkan kita dengan cinta yang tak pernah retak."
"Bu ..."
"Laki-laki itu seperti pejalan, Nak. Kadang-kadang, kamu cukup jadi langitnya yang mendengar segala ceritanya. Sejauh melangkah seorang pejalan, ia pasti akan kembali pada hati yang meneduhkannya."
Ayya tak tahan menyimpan rindunya. Iapun memeluk Ibunya. Sambil menyeka air matanya.
"Yang sabar, Nak. Dia pasti kembali."
***
"Maaf, kalau boleh tahu sedang mencari apa di sini?"
"Kalung saya hilang. Tadi saya lewat sini saat mengantar keponakan saya. Barangkali jatuh di sini."
"Boleh saya bantu nyari?"
"Boleh saja, kalau tidak menganggu."
Ayya ikut mencari kalung yang dicari lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini belum ia tahu namanya. Enggan menanyakannya. Meski ia tak tahu bentuk kalungnya, tapi ia mencarinya begitu saja.
Akhirnya, tak sadar Ayya melihat sesuatu di balik rerumputan yang terhalang batu. Agak berkilau karena sinar matahari mulai memamerkankan diri. Ayya agak terkejut saat mengambilnya. Simbol salib, melekat di kalung itu. Tapi ia singkirkan rasa penasaran, segera ia tanyakan.
"Maaf, apa ini kalungnya?" Ayya menanyakan sambil menunjukkan kalung yang ia temukan.
"Oh My God, Benar, itu benar kalung saya. Ini kalung pemberian Oma. Ini berharga sekali buat saya."
"Syukurlah bisa ditemukan." Ucap Ayya sopan.
"Terimakasih, Mbak. Maaf, namanya siapa?"
"Sama-sama. Saya Ayya."
"Oh, ya. Saya Kelana. Sekali lagi, terimakasih. Saya mau menjemput Oma dulu di gereja. Maaf, saya pamit duluan. Terimakasih, Mbak Ayya. Semoga kita bisa bertemu lagi."
"Oh iya. Sama-sama." Ayya mengucapkannya sambil agak membungkuk.
"Salib? Gereja? Jadi dia bukan Muslim?" Pertanyaan itu seketika seperti keluar dari kepalanya. Wajahnya seakan mengeluarkan berbagai tanya. Tapi tak begitu ia pikirkan. Kembali, mengayuh sepeda kuningnya. Menuju tempat kerja, yang tak dapat ditebak warnanya.
***
"Naah, ini dia orangnya. Kamu kemana aja. Telat sepuluh menit tahu." Nia cerewet menanyakannya.
"Iya, Maaf. Tadi habis bantuin orang di jalan. Nyari kalungnya yang hilang. Kasian, ya aku tolong."
"Emang kamu kenal orangnya?"
"Kenal sih nggak. Tapi yaa kasian aja."
"Trus? Trus? Kamu temuin?"
"Iya."
"Emang kalung apa, Ay?"
"Ih, kepo banget deh."
"Ih, kalau cerita jangan tanggung. Aku juga bawa kabar penting buat kamu."
"Kabar penting apa?"
"Kepo kan? Makanya kasih tahu aku dulu. Kalung apa yang dicari."
"Kalung salib."
"Hah?"
"Iya. Sepertinya dia bukan seperti kita."
"Ehm, ya gapapa juga si. Trus namanya?"
"Gapapa apanya nih? Beneran kepo banget deh."
"Ya kan penasaran, Ay. Tinggal bilang aja susah amat."
"Namanya Kelana. Udah tau kan?"
"Udah. Biasa aja kali. Gausah nyolot."
"Haha... yaudah, tadi bawa kabar penting apa?"
"Oh iya. Aksa, Ay. Aku lihat Aksa seperti merindukanmu."
"Darimana kamu nyimpulin itu?"
"Dia upload fotonya saat pendakian gitu. Trus baca deh captionnya. Aku langsung kepikiran kamu."
Sejauh aku melangkah
Masih tak kupungkiri segala gundah
Pejalan selalu ingin didengar
Tapi tak sembarang orang mampu ia percaya jadi pendengar
Aku merindukanmu.
Malaikat di bawah hujanku, yang matanya teduh dan meneduhkan segala kelu
Yang telinganya enak didengar selalu.
Di bayang matamu,
Mt. Prau, 2565 mdpl.
"Tuh, benar 'kan? Siapa lagi kalau bukan kamu, Ay? Kamu kan yang selalu kek jadi Ibunya. Dipercaya mendengar segala ceritanya."
"Padahal dia kan terkenal pendiam kalau bicara pribadinya. Tapi cuma denganmu dia bisa cerewet bercerita."
"Ay, apa kamu tak merindukannya juga?"
"Ay?" Nia menjadi bingung sendiri. Melihat Hayya terdiam.
"Eh, Makasih kabarnya yah. Aku ganti seragam dulu."
"Yeee, malah kabur. Aku belum selesai Hayya!"
"Kamu sebaiknya bikin akun instagram atau facebook deh. Biar tau kabarnya!!" Sambil agak teriak Nia mengucapkannya.
"Ya. Nanti aku bikin."
"Lagian kalian tuh ya, aneh banget. Sudah tahu sama-sama suka. Malah jauh-jauhan gak komunikasi sama sekali. Satunya egois satunya egois banget. Mana bisa ketemu?" Cerocos Nia.
"Heran deh. Sudah tahu Aksa sudah ndak di sini. Masa gak ada kangen-kangennya, Ay?"
"Heran aku tuh. Kesel sama kalian!" Gerut Nia sambil menggelengkan kepalanya.
"Hoho... terima kasih yang sudah begitu mengkawatirkanku. Tapi aku baik-baik aja, Ni." Ucap Hayya seolah merasa tenang, padahal hatinya juga tak rela. Berat melihat Aksa sudah tak ada di dekatnya.
"Ay!"
"Ya?"
"Emang kamu gak penasaran, kenapa Aksa pindah tiba-tiba?"
"Hum? Emang kenapa?"
"Emang kamu belum tahu? Ayahnya, Ay. Ayahnya kan lagi ramai diperbincangkan di berita-berita."
"Oh ya? Aku belum nonton tv."
"Deuh, ribet emang punya temen udah gak punya sosmed. Gak nonton tv. Kudet deh. Yang dibaca novel mulu, sih."
"Emang kenapa ayahnya Aksa, Ni?"
"Nih." Nia menunjukkan sebuah artikel berita yang ramai di sosial media.
"Astaghfirulloh... Aksa."
"Tuh... liat, kan? Aku pikir Aksa butuh bantuanmu, Ay. Kasian dia."
Hayya terdiam.
"Aksa? Apa benar kamu merindukanku? Kenapa seperti perkataan Ibu langsung terjawab hari ini? Adakah sabar menjelma kabar? Memang aku sudah sabar? Hingga kabar pantas berkabar?" Gumamnya.
Apakah Ayya dan Aksa akan bertemu kembali? Kalaupun bertemu, apakah mereka mampu jujur pada diri sendiri??