Chereads / Aku Adalah Hujan / Chapter 8 - Part 8 - Kabar Menggemparkan!!

Chapter 8 - Part 8 - Kabar Menggemparkan!!

Dering pemberitahuan mengusik lelap tidur Aksa. Ironisnya, baru satu jam lalu dia mampu membenamkan diri dalam bantal mimpi. Aksa memegangi kepalanya yang terasa pening.

"Aksa, apa benar ayahmu ditahan?"

"Aksa, berita di televisi itu cuma gosip, kan?"

"Aksa, ayahmu korupsi berapa banyak?"

"Cuih, lagak lu berantas korupsi, tapi ayah sendiri koruptor. Dasar munafik!" 

Berderet-deret pesan masuk kembali memberondong Aksa. Sebagian pengirim pesan barangkali bertanya karena sungguh peduli. Sebagian lagi nampak jelas sebatas menyuapi keingintahuan dan lentur lidah mereka.

Belum kusut kaset memori Aksa yang merekam perjuangan menjunjung idealisme. Berbaris rapi bersama rekan seorganisasi, menyuarakan gerakan anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahkan tatkala salah satu anggota DPRD kotanya didakwa terjaring kasus korupsi, Aksa berada di barisan terdepan, menuntut penangkapan dan pengusutan. 

Pun saat terjadi kasus serupa di kampusnya, ia tak segan berada di barisan paling depan. Namun kini, tanpa disangka-sangka idealisme itu dilumpuhkan oleh sang ayah. Aksa merasa dibodohi, jijik atas denyut nadi tubuh yang tanpa disadari terkontaminasi uang haram.

Segelas air putih membasahi kerongkongan Aksa yang kerontang. Air putih yang diteguk sayangnya tak cukup menyelamatkan hati yang dilalap api benci. Aksa melangkah gontai menuju ruang keluarga, di mana hiburan biasa didapatkannya.

"Rudi Mahardika yang telah dibekuk aparat atas tuduhan korupsi dana bantuan sosial (bansos) kini resmi mendekam di sel tahanan. Dana tersebut ditaksir bernilai lebih dari sembilan milyar rupiah. Rencananya besok siang Rudi Mahardika akan diterbangkan ke gedung KPK pusat yang berada di Jalan HR Rasuna Said Kav C-1, Jakarta."

Laporan reporter salah satu televisi nasional itu melenyapkan selera menonton Aksa. Lekas dia menekan tombol off pada remote lantas mengempaskan alat berbahan plastik tersebut ke sofa. 

Beberapa kejap kemudian, Aksa menyambar jaket dan kunci sepeda motor. 

Tanpa memedulikan cemas teringat larangan Ibunya—perempuan kalem yang nyaris tak pernah marah pada anak lelaki tunggalnya—Aksa memacu sepeda motor matic birunya keluar dari kompleks perumahan.

Di perempatan jalan, berjejer barisan rupa-rupa kendaraan bermotor menunggu lampu hijau bersinar. Hitungan mundur pergantian nyala lampu terasa merangkak. Aksa menggerutu lirih.

"Koran … Koran. Kak? Banyak berita terbaru." Seorang anak kecil menjajakan koran mendekati Aksa.

Aksa iseng membeli sebuah koran lokal. Sepasang matanya membaca sambil lalu tiap judul di halaman pertama. Baru sepersekian menit, dadanya serasa dihantam tinju ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah berita di pojok kiri. PENANGKAPAN RUDI MAHARDIKA: KORUPTOR DANA BANTUAN SOSIAL. 

Segera saja surat kabar celaka itu dilipat lalu diselipkan ke dalam saku jaket. Sebuah entakan gas penuh emosi melajukan sepeda motor Aksa, tanpa mengacuhkan pengguna jalan lain.

"Kak, kembaliannya, Kak!" Seorang anak kecil itu berusaha mengejar Aksa, tapi tak sampai.

Kabut asap yang dekat dengan udara kota seolah menyesakkan kembali pikiran Aksa. 

Aksa bingung, tak tahu harus ke mana dan kepada siapa meminta penawar luka. Ataupun sekadar bercerita. Dia pun memilih pulang. Meski sempat terlintas tentang nama seseorang. Tak lain adalah Ayya.

"Kamu dimana, Ayya? Apa kabar? Aku kangen kamu." Lirihnya.

***

Sejak kapan kebahagiaan dan kesedihan senantiasa berdampingan? Katanya, begitu selalu yang diucapkan para penasihat, orang bijak, motivator, atau entah apa saja namanya. 

Namun, sebelum ia berdampingan bukankah harus dicari dulu agar berdampingan? Mencari atau menemukan? Meski keduanya tak bisa dipisahkan. Terus mencari dan yakin akan ditemukan adalah dua hal yang barangkali tepat mewakili pikiran Aksa. 

Ia berusaha mencari jalan keluar terbaik dari masalah yang menerpanya kini. Termasuk bagaimana dengan kelanjutan studinya, karirnya ke depan, organisasi kampus yang sudah seperti keluarga kedua baginya. 

Pun sebuah pertanyaan yang kini seakan membanjiri benaknya. "Apa yang akan kulakukan saat kembali?" "Apa yang akan kukatakan saat aku bertemu kembali denganmu, Ayya?" "Apakah kamu masih seperti Ayya yang selalu memiliki mata yang enak dipandang dan telinga yang pandai mendengar atau akan abai begitu saja seperti beberapa hari setelah pertemuan kita itu?" "Cuaca apa yang akan kembali mempertemukan kita?" 

Bahagia dan takut mengalir begitu saja dari matanya. Namun dibungkusnya segera. Barangkali menemukan hanya kata singkat tentang anak kalimat. Ya, seperti sebuah kalimat lengkap. Ada induk kalimat dan anak kalimat. 

Hakikatnya, segala hal yang menurut kita adalah ajaib, tak mungkin, merasa begitu menakjubkan hanya bagian dari ekspresi manusia atas takdir-Nya. Bila kita meyakini, hal sekecil daun yang jatuh adalah kuasa-Nya, setitik air yang jatuh dari awan bagian dari kuasa-Nya, pun berbagai waktu dan cuaca yang seolah begitu saja mempertemukan Aksa dan Ayya. 

Jadi, apa hakikat menemukan itu? Adalah mengikuti induk kalimat bernama keyakinan. Yakin atas segala keputusan yang ada, adalah yang terbaik untuk kita. 

"Menemukanmu?"

"Ya, aku akan selalu menemukanmu dalam hening yang panjang. Tetaplah indah dan mengindahkan. Sejuk dan menyejukkan." Ucap Aksa.

"Aku akan selalu merindukanmu, Ayya. Sungguh merindukanmu." Gemuruh di dadanya seolah meluap begitu saja. 

***

Tak ada kepastian di dunia ini. Satu-satunya kepastian adalah ketipastian itu sendiri. Ia selalu meyakini hal itu. Harum aroma malam kian lekat. 

Tak ada bintang mati. Tak ada harapan tanpa tuan. Selagi meyakin, bahagia dan sedih hanya cuaca hati yang bisa berubah dengan jarak semili.

Jendela kaca yang menemani pandangan matanya, seakan berisik kembali menuangkan gemuruh yang dirasakan Aksa.

"Menemukanmu?"

"Ya, aku akan selalu menemukanmu dalam hening yang panjang. Tetaplah indah dan mengindahkan. Sejuk dan menyejukkan."

"Aku akan selalu merindukanmu, Ayya. Sungguh merindukanmu." Gemuruh di dadanya seolah meluap begitu saja.

"Jabatlah jemariku. Berikan suara indah itu. Telinga yang selalu enak didengar. Mata yang enak dipandang. Yang lembut dan selalu sejuk. Atau kau ingin aku berteriak sekencang-kencangnya? Memintamu mengerti? Tidak, bukan?"

"Aku akan mencarimu. Tapi biarlah takdir yang kan menemukanmu. Mempertemukan kita."

***

"Aksa! Lo sebenernya dimana? Kenapa kemarin gak kesini, hah?"

"Begini cara seorang pria aktivis yang katanya idealis itu merawat cintanya? Cuma segini makna cintamu pada Ayya, hah?!" Rentetan pesan mendarat di ponsel Aksa. 

Ya, pesan itu dari Nia. Sahabat dekat Ayya. Ia begitu peduli dengan Ayya. Bahkan, peduli dengan Aksa. Ia turut serta merawat cinta mereka. Meski rumit, jadi satu kata yang cukup mewakili kisah mereka.

Bagaimana mungkin, seorang aktivis yang dikenal idealis. Namun, dikenal juga selalu tak mulus urusan percintaannya, akan membiarkan begitu saja kisahnya dari Ayya?

"Lo tau kan Aksa. Ayya dulu gimana sama lo. Jangan pernah sakitin dia seperti ini. Cepat kesini! Temui dia!" Lanjut pesannya.

"Aku akan ke sana." Balas Aksa, tapi dihapusnya. Ia tak sanggup mengirim balasan itu. Bulir bening jatuh dari langit seketika. Hujan mengiringi sendu dan lukanya.

"Sebegini bertubikah penderitaanku? Namun aku harus bertahan! Ya, aku harus bertahan!" Gumam Aksa.

***

Bersambung....