Chereads / Aku Adalah Hujan / Chapter 6 - Part 6 - Bagaimana Kenangan Bekerja (Memori Aksa)

Chapter 6 - Part 6 - Bagaimana Kenangan Bekerja (Memori Aksa)

Keesokan harinya, dua orang membawa Ibunya untuk penyelidikan.

"Berapa lama penyelidikannya, Pak?"

"Saya belum bisa pastikan. Nanti akan dikabari. Masnya tenang saja. Ibu Mas aman. Hanya akan dimintai keterangan."

"Nak, jaga diri baik di rumah, ya."

"Bu...."

Mau tak mau, Aksa merelakan Ibunya dibawa begitu saja.

"Kamu, apa kabar, Ay?" Lirihnya teringat sosok yang dulunya menampung berbagai ceritanya. Sekarang? Ia akan cerita ke siapa?

Seperti sebuah mimpi, keesokan hari harus melihat Ibunya tak berada di sisi. Terdengar kabar, sebuah perusahaan atau entah beberapa pihak di perusahaan yang tidak terima dengan tulisan di berita—dimana berita itu ditulis oleh Ibu Aksa, mengajukan keberatan. Mereka menempuh jalur hukum. Membawanya, menuntut redaksi tempat Kinanthi bekerja mencabut kembali beritanya. Memang, menjadi penulis berita investigasi adalah jalan yang tak biasa. 

Entah, Aksa pun masih tak terpikir kenapa Ibunya mau menempuh jalan penuh resiko ini. Sekarang, ia harus melihatnya sendiri. Ibunya yang kuat, sabar, lembut harus menjalani kasus seperti ini. Namun, ia pun makin bertekad mengikuti jalan Ibunya. Mencintai sastra. Meski untuk hari-hari ini, ia mendapati dua hal paling menyesakkan dalam hidupnya. Baru saja ayahnya tersandung korupsi. 

Sekarang, Ibunya dibawa pihak tertentu karena berita investigasi. Rumah sepanjang rumah itu kini remah. Entah apa yang akan Aksa lakukan untuk Ibunya kini. Apakah Aksa mampu menjalani? Bayangan Ayya sekelintas menghampiri, "Ayya, apa kamu masih membenciku? Di saat seperti ini, aku sungguh rindu sisi lembutmu."

***

Sejak pertemuan di hujan malam itu, Ayya alpa. Seakan ditelan masa yang entah darimana datang dan perginya. Dia bahkan tak berkabar meski hanya sedikit. Semuanya mendadak pahit. Tak ada semanis kopi, yang ada hanya pahitnya di hati.

Aksa membawa berbagai tanya. Sampai ia tak tahu akan ditaruh dimana berbagai tanya itu. Di tepian jalan dengan pohon yang teduh? Di pelataran rindu? Ia sendiri tak tahu. Ingatan-ingatan jatuh seketika. Membasahi mata, menumbuhkan rindu di pipi wajahnya.

***

Aksa Mahardika

Rumah ini pilihan Ibu. Dipilih karena batu-batu rindu. Disapu oleh berbagai waktu. Karena Ibu, lalu rumah ini juga pilihan Ayah. Dibangun dengan payah. Lahirlah aku: Aksa Mahardika. Kau pasti sudah bisa menebak siapa ayahku, bukan? Ya, Mahardika. Lengkapnya, Rudi Mahardika.

"Nak, kamu ndapapa nda berangkat sekolah. Asal tetep giat belajar,"

"Kenapa begitu, Bu?"

"Sebab sekolah hanya satu tempat belajar. Kehidupan adalah tempat kamu belajar sesungguhnya."

Aksa masih ingat, pagi ini Ibu mengucapkannya ke dua ratus tujuh puluh tiga kali. Ya, ia menyebut itu karena ia selalu menuliskannya di buku diary.

Aksa memahami kalimat itu begitu dalam. Hanya dengan Ibunyalah, ia lebih merasai makna kehidupan. Ayahnya belum sepenuhnya memahami. Keinginan dari anak satu-satunya itu. Berbagai hal nekad pun dilakukan Aksa. Laki-laki berwajah tegas tapi tak begitu yakin dengan tindakannya. Namun, ia seperti hanya mengikuti kegelisahan batinnya sendiri.

***

Suatu sore, ia tak sengaja melihat seorang anak mengemis di jalanan. Ia tanyai anak itu. Rasa iba hatinya begitu dalam. Didapatinya anak itu putus sekolah. Aksa seakan tak bisa diam, kalau sudah melihat penderitaan orang lain. Iapun memutuskan tak berangkat sekolah tiga hari. Menemui anak itu, dan menyelami lebih dekat kehidupannya.

***

"Kamu mau jadi apa?" "Orangtua banting tulang untuk nyekolahin kamu. Kenapa malah bolos?" Rentetan tanya menyerbu Aksa seketika dari mulut Ayah.

"Kenapa diam saja, hah?"

"Aksa pergi ketemu anak-anak, yah."

Begitu dapat pemberitahuan dari sekolah, ayahnya marah. Sebab itu pula, Aksa tak begitu dekat dengan Ayah. Tapi tidak dengan Ibunya. Ibunya tak pernah memarahinya. Ibunya pula yang lebih memahami. Bahkan tersenyum dengan kejadian ini.

Aksa memeluk kejadian itu sendiri. Sebelum esok hari, ia taruh di mata perempuan itu; Hayya.

***

Aku ingin menceritakan seporsi kenangan, Ayya. Tentang masa-masa itu. Masa dimana siang jadi malam. Malam kian temaram. Sesunyi itu rasanya. Meski deru nampak kulontarkan. Namun sepi tak terhindarkan. Aku senang memesan kenangan itu kembali, Ayya. 

Entahlah. Sedikit banyaknya, agar kamu mengerti. Sebenarnya, karena kamu punya mata yang selalu kurindukan. Didalamnya, seperti banyak kisah, namun menjadi misteri tak terpecah. Karena kamu sendiri memilih memasuki kubu 'a women's heart is deeper than ocean for a secret.' Entah, memaknai gimana.

Yang kuingat adalah kamu. Kamu yang bisu dari kata-kata. Tapi pendengar setia. Sebab itu pula, dengarkan aku kali ini, Ayya. Sebentar, kulihat-lihat dulu menunya, ya. Aku menunjuk menu kenangan itu. Lima menit kemudian, tersaji menu kenangan di meja ingatan. Awan mulai membumbui kembali menu ingatanku.

"Aku bosan sekolah."

Rona wajah laki-laki yang duduk di samping Ayya berubah. Nampak gurat sedih mulai menjalari otot wajahnya. Perempuan berambut panjang, yang mendengarkan itu hanya menjawab dengan ekspresi—seakan bahasa tubuh berdialog, "Kenapa begitu?"

Namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Inilah yang cukup harus Aksa kunyah tiap kali cerita padanya. Ia harus sabar, tidak mengharap dia lekas berkomentar. Namun, justru sifatnya inilah yang membuatnya betah bercerita panjang lebar dengannya.

Aksa melanjutkan ceritanya sendiri. Aneh memang. Absurd memang. Begitulah, laki-laki pun terkadang semenyebalkan itu. Tapi bagaimanapun itu, Aksa; adalah sahabat terbaiknya. Ya, kala itu hanya sahabat.

"Aku bosan sekolah, Ayya. Ya ... aku ngrasa bosen aja. Seakan semua orang berlomba-lomba nyari ijazah. Selama pembelajaran di kelas, kepalaku rasanya ingin pecah. Aku tak mampu melahap semua pelajaran itu. Di kelas sosiologi kita belajar arti bersosial, tapi apa pernah kita peduli bagaimana keadaan pengamen jalanan bisa makan tiap hari?"

"Aku merasa ... sekolah ini aneh aja, Hayya. Pernah gak sih, ngrasa gitu?"

Angin menjawab desaunya. Ayya—perempuan berambut panjang dan bermata teduh—yang Aksa rindui bola matanya itu, belum menjawab sepatah kata pun. Justru ia menatap langit.

Beberapa menit seakan menyeka air mata yang hampir menetes dari mata yang Aksa rindui itu. Tidak. Aksa tak akan membiarkannya menangis dulu. Katanya, 'air mata adalah hal yang berharga kedua setelah mata air.' Apa yang diucapkannya ia ingat begitu refleks. Ia lalu menundukkan kepala dan tersenyum pada Aksa.

Ya, ia tahu. Isyarat itu adalah kode agar Aksa mengabaikannya, dan melanjutkan cerita sampai tuntas. Bahkan, tak ia sadari. Bersahabat dengan makhluk misterius yang ia rindui matanya ini, Aksa seakan terbawa. Kepekaan yang lebih dari kemarin. Aksa agak senyum-senyum sendiri mengingatnya. Ternyata, peka itu menyenangkan juga. Pikirnya.

Aksa melanjutkan lagi ceritanya yang belum tuntas. Ia petik diam dari awan yang menjantung di dermaga langit. Meski ia agak pelit. Namun, Aksa paksa juga ia memberi keteduhan. Agar diamnya, kian tak membosankan. Aksa pesan lagi, kenangan kemarin saat ia baca buku, jawabnya pada pelayan yang berada di balik awan itu.

"Ayya, aku tahu ini hanya kegelisahanku. Tapi aku tak punya hal lain yang bisa kulakukan lebih untuk membantu mereka. Kita seharian sekolah disini, tapi semakin aku belajar, semakin merasa hampa," 

"Aku pengin ngelakuin lebih aja. Kamu tahu 'kan?" Keluhnya. 

"Kemarin aku absen dua hari untuk tahu lebih dekat anak-anak di jalanan itu. Dan ... begitu orangtuaku tahu, ya diomelin deh. Tahu deh, pusing."

"Sekarang, aku tanya kamu. Apa yang harus kulakukan sekarang?" Aksa mulai terdiam. Rasanya begitu perih mengingat kenangan yang ia pesan dari awan siang—yang mendung kali itu.

"Kamu ingin tetap jadi orang baik, Sa? Yang tak sekadar baik, tapi bisa membahagiakan banyak orang 'kan?"

Aksa hanya menganggukkan kepala. Sebuah kode—bahasa tubuh Aksa sudah begitu rindu kata yang keluar dari mulutnya.

"Barangkali, kesadaranmu kali ini, adalah salah satu pintu rahmat-Nya bukan? Allah ingin melembutkan hatimu lewat keresahan jiwamu. Tak nyaman dengan penderitaan orang lain. Ingin berbuat sesuatu, tapi tak tahu. Iya, 'kan?"

"Cara terbaik melawan kenangan, biarlah jadi kenangan. Suatu saat kau pun akan memesannya lagi pada awan mendung itu 'kan? Yang barangkali kau bisa ceritakan kembali pada mereka yang pernah sama sepertimu hari ini. Katanya, mengajak orang lain kepada kebaikan, kita ikut dapat kebaikannya juga lo. Indah bukan?"

"Jangan ulangi lagi bolos sekolah. Kasian orangtua. Kan berbakti juga bagian dari berbuat baik 'kan?"

Aksa tersenyum mendengar suaranya nan lembut.

"Gausah sok bad boy," ledek Ayya.

"Apaan?" "Ya sok keren pengin bantu orang lain, tapi bikin susah orangtua. Sama aja boong." "Iya deh iya yang rajin bantu orangtua."

"Ya nggak gitu juga."

***

Kenangan-kenangan mulai berdatangan. Sesekali Aksa jenguk. Pikirannya seolah mengatakan "Kamu boleh menjenguk, tapi tidak untuk dipeluk-peluk." Tapi di saat yang tak dikehendakinya, refleks begitu saja. Yang awalnya hanya menjenguk, jadi dipeluk-peluk. Entah, esok akan datang dari memori yang mana? Aksa merawat kepingan-kepingan itu di hatinya. Sampai kapan?

"Engkau selalu ada di saat susah sedihku, tapi aku? Ayya, maafkan aku. Aku sangat bersalah padamu." Gumam Aksa.