Aksa berusaha merawat kepingan-kepingan kenangan itu di hatinya. Sampai kapan?
***
Aksa selalu mencari apa yang dia sukai dan tak sukai. Layaknya kekasih yang selalu ingin mengerti. Memahami. Meski dia bukan pencerita: tapi Aksa mengajaknya bercerita. Meski kerap dirinya kalah: ia yang lebih sering bercerita. Tanpa jeda.
"Ay, perutku sakit banget," celetuknya.
"Minum dulu gih," Ayya menyodorkan tumblernya yang berisi air mineral beserta potongan lemon. Infused water, katanya.
"Lagi baca buku apa sih? Serius banget. Aku lagi sebel banget tau, Ay," keluh Aksa.
"Emang kenapa?" dia tak menjawab pertanyaannya dan bersiap jadi pendengar yang baik.
"Iya. Masa tadi tugasku diomelin gajelas sama guru geografinya. Padahal kan udah perfect banget. Pake ngejabarin teori yang salah lagi. Aku betulin, malah tambah menjadi," imbuh keluhnya.
"Aksa ..., " ia menyebut namanya pelan setelah menutup bukunya.
"Terkadang, tak semua yang benar harus dikatakan langsung. Bukan karena takut, tapi mungkin kitanya yang belum paham mana harus diem dan mana tidak," jelas Ayya.
"Tapi, Ay ...," sangkal Aksa.
"Do'ain gurunya biar lembut."
"Kepalaku pusing banget. Capek." Keluh Aksa lagi.
"Jangan banyak mikir dulu. Aku pulang duluan, ya. Lupa, ada jadwal. Takut telat."
"Jadwal apa, Ay? Hati-hati ...." ia berkemas diri dan lari terburu.
***
"Permisi, Ibu tahu Ayya dimana?" Aksa bertanya pada salah seorang tetangganya.
"Barusan katanya Ayya kecelakaan, Mas. Ayo bareng ke rumah sakit."
Aksa tak menyangka kejadian secepat ini. Baru saja ia menaruh lelah dan keluh. Keluh dan lelah. Tapi Ayya pergi dengan payah. Luka berdarah.
"Kenapa bisa kecelakaan, Bu? Gimana ceritanya?"
"Saya juga gak tau."
"Semoga gak papa, ya, Bu."
"Iya, Mas. Saya juga kasian."
***
5 panggilan tak terjawab: Pak Fahri Redaktur
"Bu, sebentar yah. Daritadi ada yang nelfon."
"Lho, itu kan hpnya Mbak Ayya? Kok ada di Mas Aksa?"
"Iya, ketinggalan di kelas. Tadinya mau balikin. Sebentar, Bu. Ada yang nelfon lagi," Aksa gugup.
"Hallo, Maaf, Mas... Ini hp Ayya ketinggalan. Jadi yang pegang saya, Aksa."
"Oh Iya. Tolong bilangin Ayya suruh buka e-mail sekarang ya, Mas. Ada revisi naskah kemarin. Deadline cuma dua hari soalnya,"
"Maaf, Pak. Ayya habis kecelakaan. Ini saya mau jenguk. Pastiin keadaannya. Maaf, Pak."
Klik. Hp dimatikannya segera. Aksa tak mau ambil pusing memikirkannya. Apalagi segala sesuatu yang akan membebankan Ayya. Segera ia langkahkan kaki mencari ruangannya.
Terlihat Ibu Ayya begitu sedih. Memerah mata. Mengalirkan mata air dari jernih kasih sosok seorang Bunda.
"Ayya gak sama lagi," rintih Ibunya.
"Maksudnya, Bu?"
"Kata Dokter, tangan kirinya patah. Perlu waktu untuk bisa sembuh. Kalaupun sembuh, biasanya tetep ada cacat. Ndak akan sama seperti semula," ia begitu berkaca mengucapkannya.
Aksa tenangkan segala isaknya. Berusaha menenangkan, meski hati ini rasanya ingin remuk.
"Mestinya aku saja yang mengantarmu pulang, Ay. Maafkan aku yang payah ini. Selalu tak mengertimu. Meski kau begitu mengerti dan memahahmi." Gerimis batin Aksa sendiri.
Di depan matanya, Ayya masih terbaring. Ia belum sadarkan diri. Kepalanya juga mengalami benturan.
"Kenapa kau begini? Maafkan aku, Ay."
"Aku janji. Bakal gantiin kesibukanmu saat sakit. Aku janji. Pasti. Meski tak kan pernah menggantikan sisi pendengarmu yang baik hati."
***
3 Panggilan Tak Terjawab: Bu Nana (Panti Asuhan An-Nur)
"Assalamualaikum, Nak Ayya. Sudah perjalanan kesini?"
"Waalaikusalam, maaf Ibu. Ini Saya Aksa, Ayyanya sedang di rumah sakit. Barusan kecelakaan."
"Innanillahi.... terus gimana kondisinya, Mas?"
"Masih dirawat, Bu."
"Ngapunten, Mas. Boleh minta tolong? Soalnya anak-anak sudah menanti Mba Ayya kesini. Atau gini aja, Mas. Masnya yang kesini, sekedar menyapa dan menjelaskan ke anak-anak. Itung-itung sekalian ngajak do'a mereka, Mas. Biar do'ain Mbak Ayya."
"InsyaAllah, Bu. Saya kesana."
Sesampainya di panti, Aksa disambut riuh anak-anak. Wajahnya penuh raut gembira dan sedih. Sedih dan gembira.
"Mas Aksa, yah? Pacarnya Mba Ayya?" Celetuk salah satu anak.
"Ssstt ... ayo anak-anak kesini dulu." Seru seorang Ibu berwajah sendu.
"Hari ini, Mbak Ayya gabisa datang dulu."
"Yaaah." kompak mereka mengeluh.
"Nanti siapa yang ngajarin nulis puisi?"
"Nanti siapa yang ngedongengin?"
"Kemarin kata Mbak Ayya, ceritaku dimuat di Majalah Baba. Aku penasaran." Mereka saling mengajukan tanya.
"Sssttt ... semuanya tenang dulu, ya. Ini Mas Aksa bicara dulu. Kalian duduk yang tenang,"
"Hai, anak-anak ...," Aksa berusaha tenang.
Semua anak terdiam. Satu suara kecil menjawab, "Hai ...," disusul suara lainnya.
"Biasanya Mbak Ayya gak gitu nyapanya. Aku mau sama Mbak Ayya aja!!" Keluhnya.
Setelah Ibu Lasri menenangkan, barulah Aksa menjawab pelan. Menahan sendu.
"Mba Ayya lagi sakit. Untuk sementara ini, Kakak dulu yang gantiin, ya. Ayo, hari ini do'a bersama dulu, yuk. Buat Mba Ayya semoga bisa lekas sembuh. Biar bisa nemenin kalian lagi."
***
"Hallo, Mbak. Gimana, naskah novel kemarin? Deadlinenya dua hari lagi, ya. Penulisnya sudah nungguin,"
Salah seorang redaktur penerbit mengabari. Dua tugas dalam waktu dua hari. Aksa sama sekali tak ada bidang khusus dunia desain dan editing. Bahkan, sedikitpun tak pernah tertarik. Bagaimana aku membantumu?
Aksa lihat catatan di hp Ayya. Tertera berbagai deadline di sana. Rapi. Tiga deadline ia amati penuh jeli.
8 Maret 2018: Layout Naskah Novel Redaksi Penerbit Sastra Bunga
9 Maret 2018: Desain Cover Naskah Novel Redaksi Penerbit Matahari
10 Maret 2018: Kirim Desain Cover Buku "Angel In The Rain" di Penerbit Sastra
"Ay ... kenapa aku baru mengerti kamu begini? Kenapa aku hanya sekedar tau kamu pecandu puisi? Bukan desain cover, bukan editor, bukan perawat tawa anak panti dengan potensimu mengajak mereka membaca dan menulis puisi?" Matanya tak menghujankan tangis. Tapi nampak tidak dengan batinnya sendiri. Ia merasa menjadi laki-laki teregois di muka bumi ini. Betapa tidak, untuk hal-hal seperti ini ia tak memahami. Tapi Ayya tak pernah sedikitpun mengeluh di depanku: menahannya sendiri. "Sahabat macam apa aku ini, Ay?" Gerutunya.
***
"Ampunn, susah banget," keluh Aksa sendiri.
Aksa mencoba membaca lautan kata-kata ini. Aksa harus memastikan apakah desain cover yang akan ia buat sesuai dengan ceritanya atau tidak. Ia hampir menyerah. Tapi tak sampai hati, kalau hanya karena ini, Ayya kehilangan kepercayaan lagi.
"Gimana, sudah selesai?"
"Sebentar lagi, Pak. Malam ini juga saya kirim ke e-mail."
"Buset dah. Apa perlu nanti masuk jurusan sastra biar paham duniamu, Ay?" Gumam Aksa.
***
"Gimana sih, Mas? Masa desainnya kayak gitu. Bisa komplain nanti!"
"Maaf, Pak. Saya pasti perbaiki. Kasih waktu lagi, Pak. Saya mau bikin Hayya tetap dapat job ini,"
"Ayya gapernah saya suruh revisi sampai empat kali! Mentok, dua kali!"
"Iya, Pak. Saya mohon. Kasih saya waktu lagi untuk perbaiki." Aksa bermohon diri via telepon.
"Baiklah, tapi ini terakhir. Kalau masih banyak kegini. Terpaksa saya kasih ke yang lain aja, Mas."
Aksa buka naskah hasil desain covernya. Ia mencari berbagai referensi yang biasa Ayya bikin.
"Imajinasimu, Ay. Kamu keren banget! Sesaat, Aksa takjub dengan desain cover yang dibuat Ayya. Ia berhasil menemukan file itu. Ia namai sebagai 'hujan'"
"Kenapa namanya 'hujan'? Ada-ada saja kamu, Ay." Gumam Aksa.
***
Aksa lihat jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul tujuh. Ia terbangun dengan segala pemandangan baru. Buku-buku desain.
***
"Assalamualaykum, Aksa. Alhamdulillah Ayya sudah sadar. Dia cari Nak Aksa. Ibu tunggu, yah,"
Kabar baik menyapanya. Baru ia selesai mendesain, segera ditutup jendela bukunya. Ia taruh di tas, dan bersegera membalaskan rindu agar tuntas.
"Baik-baik duhai Ayyaku yang lembut hatinya."
***
Matanya sayu tapi jernih. Wajahnya pucat tapi berseri. Bibirnya kelu tapi damai. Amat menentramkan hati.
"Apa kabar, Ayya?"
Ia tersenyum lembut.
"Alhamdulillah, Ayya baik-baik aja. Kamu juga 'kan?"
"Tugas geografinya sudah beres, 'kan?"
Di saat seperti ini ia masih saja peduli.
"Kamu tuh ya. Sakit aja cerewet. Jelas aku baik-baik aja. Kamu yang belum baik. Cepet sembuh. Biar bisa baca puisi lagi. Ke toko buku nyari buku lagi,"
"Cuma nyari buku? Gak beli?"
"Kan kamu sukanya nyari buku yang bukaan dulu. Dicium aromanya, kalau cocok baru beli," hibur Aksa.
"Kamu bisa aja, ya,"
"Ay, Maafin aku ya. Selama ini gabegitu mengertimu."
"Memangnya kenapa, Aksa?"
Aksa mendekatkan diri. Ia genggam erat tangan kirinya. Menenangkan wajah kawatirnya.
"Tidak apa-apa. Aku cuma ngrasa bersalah. Selama ini kamu sering dengerin aku apa aja. Bahkan keluhan receh pun kamu mendengarnya tanpa tapi. Tapi, aku? Aku baru tau kamu bekerja freelance ngedesain lah, ngelayout lah, di berbagai media."
"Yang kerjaannya dikejar deadline Redaksi. Dan kelembutan hatimu merawat senyum anak-anak panti. Aku baru tau, Ay." Ia tundukkan kepala di genggaman tangannya sendiri.
"Aku akan selalu mendengarkanmu, Aksa. Menjadi pendengar yang baik," ucapnya pelan.
"Tidak, Ay. Mulai sekarang aku yang mau belajar lebih mendengarkanmu. Aku ini laki-laki. Harus bisa jadi sandaranmu," "Lebay, ah!"
Ia hanya tersenyum. Meraba dinding langit. Mendudukkannya pada belaian kepala Aksa yang menunduk.
"Tidak adil rasanya kamu selalu berusaha memahamiku, tapi aku?"
"Sudah, Aksa. Aku nggak papa. Aku kegitu juga karena butuh. Anggap saja usahaku agar nanti bisa kerja di penerbitan. Minimal, toko buku."
"Toko buku? Biar bebas ngirup aromanya pertama kali?" Ledek Aksa.
"Hahaha." Ayya tertawa.
"Lagian Ayya, dengerin kamu justru seneng. Letak gak adilnya dimana? Melihat orang lain bahagia itu membahagiakan," tambahnya.
"Tanganmu perlu waktu untuk sembuh. Aku janji akan jadi tanganmu untuk ngedesain lagi. Nulis puisi lagi. Aku juga akan bantu bacain buku yang kamu mau baca, bila perlu. Aku janji."
"Editing? Entahlah. Itu yang aku susahin."
"Mau bacain puisinya Sapardi? Atau Joko Pinurbo kesukaanmu? Oh ya, prosa Cuacanya Dee Lestari aja? Gimana, gimana?" Aksa berusaha menghiburnya.
"Terima kasih, Aksa Mahardika yang uwuwu." Ledeknya.
***
"Pada akhirnya, perempuan yang cantik dan hanya sekedar cantik, akan kalah dengan menariknya perempuan yang menyukai sastra, seni, buku, dan kesepertiituan. Yang memang benar-benar menyukai salah satu dari keempatnya itu. Bukan karena paksaan, ataupun dorongan dari lingkungannnya."
"Ayya, aku mencintaimu. Dan akan terus mencintaimu. Dengan segalaku." Tulis Aksa di buku hariannya.
***
Namun esok, tetap tanda tanya. Aksa dan Ayya akan menemui berbagai rintangan hidupnya. "Apa kabar esok?"
***
Bersambung...
***
Gimana setelah baca kisah Aksa dan Ayya dalam novel "Aku Adalah Hujan" ini? Saran, kritik, dan saling sapa, bisa via fb Ana Oshibana ^^