"Saat marah, seseorang tak boleh membuat puisi." Kata Sapardi. Agar ada jarak antara realita dan luapan emosi diri—Sebab itu perlu jeda.
Ehm... atau barangkali, memang muaranya sama—dalam segala tindak apapun perlu ketenangan. Entah bicara atas nama keadilan, kepedulian, atau tanpa atas nama apapun. Ada titik ketenangan tersendiri—meski luapan emosi marah pun—akan jadi marah yang elegan. Bagaimana membentuknya?
Aksa pun sepertinya tak tahu. Barangkali lewat membaca foam moccacino yang dibentuk cantik sedemikian rupa—tapi tak pernah protes kecantikannya dirusak; demi dinikmati penikmatnya. Atau... gemericik air jatuh yang meneduhkan—meski dirinya jatuh sedemikian menyedihkan. Ah, apakah kesedihan itu? Apakah hanya karangan manusia—yang tak mampu membaca kesenangan lainnya?
Aksa senang membaca gelap jalanan hutan. Ia pun suka membaca gemericik air jatuh tiba-tiba—saat membaca berbagai (warna) mata. Belum pernah ia jumpai hal terindah dari manusia selain ketulusan hati. Dimanapun. Dalam hal apapun. Dan.. siapapun. Nampak pada wajahnya, sebuah kecewa dan rindu yang tak tertahankan. Seperti ingin diungkapkan tapi tak ingin tersingkap. Ia memilih mendekap. Hingga kecewa dan rindu kian tersekap. Lenyap.
***
"Kenapa bisa kambuh begini, Bu?"
"Ibu habis ngapain tadi?"
"Gatau, Nak. Pas Ibu tengok ke kamarnya, Dek Nuke ini sudah terbaring di lantai."
"Astaghfirulloh, Bu. Maafin Ayya gabisa jagain adik-adik di sini." Kesedihan tak bisa dibendung lagi. Kini, dua orang perempuan itu sibuk menanti kabar. Salah satu adik di panti yang tak kunjung sadar. Lalu lalang pasien lain, dokter, suster, pengunjung, turut jadi pemandangan gelisah di halaman matanya.
"Gimana, Dok? Adik saya baik-baik saja 'kan?" Ayya panik. Matanya berusaha menilik. Seorang pasien dibalik pintu itu. Yang tak lain adalah salah seorang anak di panti, yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri.
"Sabar, ya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Allah berkehendak lain. Kami turut berduka cita."
Ayya tak menghiraukan perkataan dokter itu lagi. Ia langsung masuk ke ruangan empat puluh satu. Ruangan adiknya yang membujur meninggalkan kelu. Kelu di mata Ayya juga Ibu penjaga panti, Bu Nana.
"Dik, Adek bangun yah? Ayya sudah bisa bikin puisi untuk adek. Besok bisa baca bareng. Dek, bangun yah?"
"Sudah, Nak. Ikhlasin... Dia udah pulang." Bu Nana berusaha menenangkan.
Ayya terus mendekap adiknya.
"Adek, Adek capek ya? Hayya berhenti kerja aja biar temenin adek di panti, setuju 'kan?"
"Kalau adek setuju, Ayya akan segera pamit keluar kerja, Dek."
"Nak, udah... dia udah pergi." Bu Nana memeluk Ayya. Berusaha menenangkan kesedihannya.
Pecah segala duka.
Air mata jadi bahasa kesedihan paling nyata. Tumpah di ruangan bercat biru muda. Dindingnya yang kokoh, tak sebanding dengan penghuninya. Berbagai kisah tertuang. Puzzle memori bersama anak-anak di panti yang sudah dianggap seperti keluarganya—terutama Nuke, yang kini meniada. Ayya seperti memandang berbagai kejadian selama ia bersama Nuke. Kesukaanya membaca, mendengarkannya membaca puisi, dan berbagai kenang lainnya.
"Nak, apa perlu kita kabarin ayahnya?" Bu Nana menyempatkan diri memecah duka.
"Apa baiknya Ibu saja."
Bu Nana keluar sebentar dari ruangan itu. Mencari kontak bapaknya Nuke di teleponnya. Tetapi, yang ada hanya dering nadanya. Tak ada jawaban.
"Gimana, Bu?"
"Gak ada yang ngangkat, Nak."
"Sudah aku duga. Tak ada yang peduli lagi sama Nuke, Bu. Cuma kitalah orang terdekat bagi Nuke. Tapi... kenapa dia pergi secepat ini? Aku merasa begitu bersalah. Seharusnya malam kemarin aku pergi tidur menemaninya saja."
"Sstt, sudah. Kematian tidak ada yang tau datangnya. Kamu yang ikhlas, ya."
"Nuke sudah tak anggap adik sendiri, Bu. Dia sudah cukup kesepian. Tapi kenapa pergi begitu cepat?"
***
"Sa! Lo dimana? Gak ke panti lagi?" Tanya Nia menyempatkan diri mengabari Aksa.
"Gak, Ni. Aku lagi sama anak-anak di luar."
"Ngapain? Jadi selama ini lo ngilang kesana? Kesini deket kan? Beneran lo gamau kesini?"
"Emang ada apa?"
"Penting, Sa! Adeknya Hayya...,"
"Adek? Bukannya Hayya tak punya adek?"
"Adeknya yang di panti itu. Masa lo gatau, sih. Yang deket banget sama Ayya. Nuke. Nuka meninggal, Aksa. Barusan gue dikabarin. Makanya ini langsung ngabarin lo."
"Tau sendiri kan, orangtua Nuke lama tak ada kabarnya. Gue sedih aja kalau nanti ke pemakaman, mereka cuma berdua bareng Bu Nana aja."
"Pemakaman jam berapa?"
"Mungkin nanti sore, Aksa."
"Aku kesana nanti!"
Klik.
Telepon segera dimatikannya. Suara Aksa menghilang begitu saja tanpa salam.
"Ah, apakah tak mengapa aku kesana? Bukannya Ayya masih tak suka denganku sejak hujan malam itu?" Gumam Aksa.
"Kalau sudah urusan cinta baru cepet." Nia menggerutu. "Kisah yang rumit." Imbuhnya.
***
"Nak, kamu dimana? Kapan pulang?"
"Aksa lagi di luar, Bu. Nemenin anak-anak belajar."
"Ibu minta waktunya dulu, ya. Kamu mesti pulang sekarang. Ayahmu, Nak. Ayahmu."
"Kenapa dengan Ayah, Bu?"
"Kamu pulang dulu. Ibu gak sanggup bilangnya."
"Bu, tapi... temen Aksa baru ada yang meninggal adeknya. Rencananya mau nyusul kesana."
"Siapa?"
"Adek di panti. Adek kesayangan Ayya."
"Innanillahi..."
"Kamu nanti juga akan ketemu dia. Sekarang, kamu mesti pulang dulu, Nak. Nanti kamu bisa nyusul ke pemakamannya lain hari."
"Ini darurat. Ibu takut."
"Baik, Bu. Aksa segera pulang."
Tawa lepas bersama anak-anak, seketika redup dari mata Aksa. Ia dengan berat hati meninggalkan mereka.
"Maaf ya, Bro. Aku mesti pulang dulu. Aku titip anak-anak, ya. Kalau ada perlu lainnya bisa kontak temenku di rumah baca sana. Ok?"
"Ok, Bro!" Ucap temannya.
***
"Kamu kelihatan cemas banget, Ni. Ada yang ditunggu?" Ayya menegurnya.
"Ehm... gak, Ayya. Ayo, udah mau ke pemakanan kan?"
"Iya. Beneran mau ikut?"
"Iyalah. Cuma lagi kepikiran aja."
"Kepikiran apa?"
"Gak, ko. Gapenting. Yuk!"
***
"Kenapa, Bu? Ada apa?" Aksa memeluk Ibunya yang sedang menangis. Dibalik layar komputernya, ia terus menangis.
"Apa yang terjadi, Bu? Kenapa dengan Bapak?"
"Bapakmu terjerat kasus korupsi, Nak. Kemarin dibawa untuk tahanan sementara."
"Bapak... " Aksa terdiam seketika.
"Ibu? Ibu gak kenapa-napa 'kan?"
"Ibu juga lagi ada masalah, Nak. Perusahaan yang sedang diselidiki kasus korupsinya, orangnya gak terima. Mereka menuntut media tempat Ibu bekerja. Beberapa jurnalis investigasi akan ikut diseret ke pangadilan, Nak."
"Ibu gasalah. Ibu gausah takut, ya."
"Iya, Nak. Ibu cuma kawatir sama kamu."
"Aksa gapapa, Bu."
"Kamu masih kuliah. Pasti banyak teman-teman kampusmu yang akan tahu hal ini cepat atau lambat."
"Mendiskusikannya, untuk kemudian unjuk rasa menuntut tegas koruptor. Ibu tak terbayang gimana perasaanmu nanti, Nak. Melihat foto bapakmu nanti di sana."
"Aksa sudah lama tak ikut demo, Bu. Ibu tenang saja. Kemarin saja Aksa bolos."
"Tetap saja. Kamu ini aktivis. Dan harus jadi aktivis. Itu sebagian tugasmu sebagai mahasiswa. Meski sekarang kamu memilih jalan lain. Tapi kamu gabisa lari membela rakyat, Nak."
"Ibu gapapa kalau kamu mau ikut bersama teman-temanmu kelak, Nak." Ibunya terbata. Menahan haru dan duka.
"Ibu tenang, ya."
"Apa yang akan Ibu lakukan sekarang? Ibu pengin apa?"
"Ibu pengin pulang ke kampung, Nak."
"Pulang ke Tegal? Bukannya disini ada nenek yang mesti dijaga?"
"Kamu lupa? Di sana juga ada nenekmu yang mesti dijaga juga."
"Ibu perlu ketenangan."
"Baiklah, kalau itu mau Ibu. Aksa nurut."
***
"Hello, Bro!! Lo dimana? Kita mau rapat nih buat aksi nanti. Lo ikut kan?"
"Dasar, aktivis abal-abal! Giliran bokapnya yang tersangka, anaknya pergi! Hahaa, dasar anak koruptor!"
"Aksa, lo dimana? Masih di rumah baca? Gue tunggu kabar lo! Keadaan genting!"
"Aksa, lo baik-baik aja 'kan? Kemarin lo udah absen terus. Lo mau balik ke kampus kapan? Besok mau ada aksi besar-besaran. Lo mesti ikut yah!"
Berbagai pesan, baru dilihat Aksa dari teleponnya. Berbagai emosi terasa bercampuran. Namun, yang ada saat itu adalah menenangkan Ibunya.
"Apa apa, Nak?"
"Gapapa, Bu. Ayo, nanti ketinggalan bus."
"Beneran gapapa?"
"Motormu gimana, Nak?"
"Gampang. Nanti bisa minta tolong temen. Ibu gamungkin bonceng Aksa naik motor, kan?"
"Kamu nggakpapa, Nak?"
Aksa mengangguk. "Sampai dimana gejolak emosi ini kutahan??"
Berbagai kabar duka menerpa Aksa seketika. Ditinggalkan seorang kekasih yang masih dicintai, kabar pilu bapaknya sendiri, dan tentu hiruk pikuknya sebagai aktivis di kampusnya.
"Apa yang akan dilakukannya ke depan? Apa yang harus aku katakan padamu kelak, Ayya? Aku bingung harus gimana. Apakah kamu akan mengerti kalau aku mengatakannya nanti?" Aksa berkutat dengan cemas dan dukanya sendiri.
***
Kritik saran bisa kalian sampaikan via komentar, ya. Atau, bisa bertegur sapa seputar literasi lewat instagram @anaoshibana dan symbolic @hujanmatahari