Chereads / Aku Adalah Hujan / Chapter 2 - Part 2 - Dijual Wajah Kejujuran (Memori Ayya)

Chapter 2 - Part 2 - Dijual Wajah Kejujuran (Memori Ayya)

Wajah langit mulai menunduk lesu. Tak lama kemudian, ia begitu sendu. Menitikkan air mata sedih. Ah, tau darimana ia sedih? 

Seorang pemuda mencoba membaca wajah sahabat perempuannya. Mengapa ia sering tiba-tiba menitikkan air mata? Memangnya mata air di matanya sedalam apa? 

Berkali ia membaca, yang didapatinya hanya kalimat singkat, "Aku gapapa."

***

Wajah Ayya itu kian tertutup mega. Sempat ada keinginan mencuri matahari agar terlihat berseri. Sesekali terlintas, ingin merampok purnama--agar dijadikannya objek puisi paling abadi--para penyair di luar sana. Ia pun memiliki ide gila. Menggadaikan wajahnya. 

Di perjamuan malam pukul sembilan, ia mengendapkan langkah. Mencari-cari wajah. Ya, wajah mana yang ia akan pilih dari etalase di sana. Dadanya berdegup tak seperti biasanya. Berbagai wajah nampak menarik mata. Ia kebingungan dan capek. Capek dan kebingungan. Terperangkap dalam kepalsuan.

"Aku mau gadaikan wajahku dengan matahari." Ucapnya ragu.

"Kenapa?"

"Karena orang yang kukagumi sepertinya hanya menyukai matahari." Tegasnya setengah gugup. Gugup dan tegas.

Pemilik pegadaian wajah itu segera mengambilkannya. Sesuai pesanan. "Ini hanya bisa dipakai esok hari. Kalau wajah purnama, baru bisa dipakai malam ini."

"Tidak apa-apa. Memang aku butuh untuk esok hari." Ia semakin mantap menggadaikan wajahnya.

"Aku ambil wajah matahari." Ayya meyakinkan diri.

"Benar, tak ingin wajah purnama?" pemilik pegadaian wajah itu seperti membaca gerak wajahnya.

"Tidak. Aku ambil wajah matahari. Terimakasih." Ayya pun segera pergi dengan wajah barunya.

***

Keesokan hari Ayya seperti lebih percaya diri. Dengan bangga, memakai wajah matahari. Bersiap menemui idaman hati. Meski itu hanya dipendamnya dalam hati. Padahal, tak jauh dari rak topeng wajahnya: tersimpan sejuta misteri. Lautan sabar yang berusaha terus digali. Hanya satu yang tak pernah ia simpan: mata api. Ia hanya punya wajah bermata sejuk. 

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" Aksa menyapanya.

"Sangat baik," kekasihnya tersenyum berseri-seri.

"Duduklah... ." Pinta Aksa.

"Aku mau ceritain kamu satu hal, Sayang. Tapi kuharap kamu jangan marah, ya?"

"Ceritakan saja. Aku akan selalu jadi pendengarmu yang baik." Sinar matahari nampak kian bersinar dari wajahnya.

"Aku merasa bodoh saat di dekatmu, Ay. Sungguh."

"Mengapa begitu, Sayang?"

"Aku tak pernah memahamimu seutuhnya. Wajah mana yang kau pakai hari ini? Atau yang kau beli hari ini?" "Hanya untukku?" "Tidakkah kau memikirkan dirimu sendiri?" "Kita sahabat sudah cukup lama. Tapi aku tak pernah memahamimu seutuhnya." Aksa menunduk. Laki-laki itu meneriaki sinar mataharinya. 

Diredupkannya dengan mendung sedemikian rupa. Persahabatan mereka sudah menginjak tiga tahun. Berbagai kisah sering dituangkan Aksa ke wajah sahabat perempuannya itu-- Ayya. Tapi semakin ia menuangkan kisah, ia makin tak mengerti. Mengapa perempuan terasa sangat sulit dipahami.

"Aku tak bermaksud membuatmu menangis, Ay. Aku hanya ingin kamu jadi dirimu sendiri." Aksa mencoba meneguhkannya.

"Apa kamu mampu melihat wajahku?" "Bukankah selama ini yang kamu inginkan adalah matahari dan bulan dari wajahku?"

Ayya beranjak pergi meninggalkan. Ditaruhnya wajah matahari itu di saku sweaternya. Hujan menemani pelataran pipinya seketika. 

***

"Wajah mana lagi yang akan kau beli, Ayya?"

Pertanyaan itu kian memutar di kepalanya. Ia ingin selalu membahagiakannya. Tak ingin terlihat lemah dengan segala air mata. Khas seorang perempuan pada umumnya. 

"Aku harus bagaimana?" batinnya kian bergemuruh.

Niat hati menggadaikan dengan wajah bulan diurungkannya. Ayya tetap ke tempat pegadaian wajah itu. Tapi tidak seperti biasanya. Wajahnya menunduk lesu. Seolah mengamati apa yang sendu di balik wajahnya. Apakah benar-benar sendu?

"Aku ingin mengembalikan wajah matahari ini," "Terimakasih sudah meminjamkannya." Ayya memantapkan diri.

***

Ayya, kumohon kamu kesini, sekarang. Aku punya kejutan untukmu.

Sebuah pesan singkat menyapa di layar ponsel Ayya. Ia mencari wajah di almari. Tapi anehnya, wajah yang ia koleksi, mendadak berubah sama. Iapun tak jadi memilihnya. Ketakutan sempat melewati wajahnya saat itu. Sebelum akhirnya ia bergegas diri. Kejutan apa yang akan diberikan kekasihnya itu? Beberapa hari ini perempuan itu sengaja menghilang. Bukan untuk mencari wajah. Tapi menenangkan segala resah. Ada berbagai masalah yang tak diceritakan. Ada berbagai keluh yang tak sempat ia curhatkan. Ada berbagai sedih yang tak diekspresikan. Akhirnya, ia pun memutuskan menemui kekasihnya.

Kedai "Kejujuran Kopi"

Dijual: Wajah Kejujuran. Temukan aroma wajahmu sebenarnya di sini.

Sebuah kedai kopi dengan tagline aneh membuatnya bertanya-tanya. Lelakinya sudah menunggu di meja paling rindu. 

"Silahkan, Ay. Semoga kamu suka," sapa Aksa penuh kasih.

"Maafkan aku kalau sering membuatmu sedih. Aku akan lebih belajar membuatmu bahagia. Kita tetap sepasang kekasih yang percaya keajaiban cinta dari malaikat di bawah hujan 'kan?" Aroma suara lelakinya nampak berbeda. Ada kesejukan yang tak bisa dijelaskan kata. Mata bahagia mulai bersinar dari perempuannya.

"Maafin aku juga, ya Aksa. Selama ini aku gapernah cerita apapun ke kamu tentang masalahku. Sedih dan susahku. Aku cuma merasa, kau cukup bahagia dengan kisahmu. Aku tak ingin merusaknya."

Aksa tersenyum. Berusaha menenangkan gundahnya.

"Oh ya, apa maksud tagline kedai ini, Aksa? Unik sekali." Wajah Ayya tergakum. Pipinya merona.

"Ini hadiah spesial hari lahirmu. Maafkan aku tak pernah mengingatnya. Maafkan aku yang terkesan selalu memaksamu berwajah matahari dan bulan."

"Aku ingin di sini, kamu bisa mengenali wajahmu sendiri. Bahkan, meski tanpa aku nanti."

Aksa memperlihatkan berbagai wajah di sana. Ada laki-laki yang asik bersenda gurau dengan berbagai dialeknya. Tanpa malu dengan berbagai orang di sekitarnya. Ada barista, supir kejujuran di kedai ini. Ia selalu bilang apa adanya apa yang dirasakannya terhadap kopi racikannya. Pun, nun jauh di sana, ada pelanggan kedai yang berencana menggadaikan wajahnya. Karena ragu, ia pergi ke kedai ini. Ia adalah seorang editor yang hampir stress diburu deadline. Namun, tak kuasa mengatakan jelek pada naskah penulisnya. 

Ia dibuat ragu dengan dirinya sendiri. Mungkin, ia tak kuat lagi menahannya. Hingga saat suara marah-marah dari ponselnya, ia pun agak berteriak mengatakan, "Bukan salahku sepenuhnya! Tulisannya memang sangat berantakan! Aku perlu waktu lebih untuk mengeditnya. Bukan masalah profesional atau nggak! Mengerti?" Yap! Berhasil. Dia berhasil menemukan wajahnya sendiri.

"Untuk itulah, Ayya. Jadilah dirimu sendiri. Wajahmu sendiri. Tak perlu memakai wajah matahari atau bulan demi aku. Aku ingin melihatmu bahagia dengan wajahmu sendiri, Ayya. Wajahmu sendiri." Aksa mengatakan setengah berkaca. Air matanya hampir jatuh. Tapi segera ia tahan sendiri.

"Memang kamu tau wajahku sekarang?"

"Wajah penuh kerinduan." Celetuknya sambil mengacak-ngacak rambut Ayya.

***

Waktu berganti satu demi satu. Dari hari sampai bulan paling rindu. Sudah setahun ini Aksa tak kunjung mengajaknya bertemu. Sedikitpun tak ada kabar yang ditaruhnya. Meninggalkan matahari dan bulan tanpa pura-pura di wajah Ayya. Sebuah wajah yang tak akan pernah digadaikannya. Apapun itu wajahnya. Semenarik apapun wajah yang ditawarkannya. Agaknya, Ayya sudah menemukan titik dimana ia percaya. Kekasihnya sungguh tak pernah menginginkan wajah yang dibuat-buat agar orang tertarik. Namun, wajah kejujuran yang senantiasa ia harapkan.