Senja berhasil dicuri dari peraduannya hari ini. Tinggallah ia bersama ruangan paling gelap di muka bumi. Pewarta hati. Mereka cerewet sekali. Melemparkan berbagai tanya. Ia tetap diam dengan mematung begitu saja. Sesekali memeluk lutut. Memandangi mata mereka. Lalu menunduk, dan menjatuhkannya di tepian mega.
Ayya menarik suara-suara. Berharap masih ada yang mengendap, setelah jeda. Pertarungan kaca beterbangan dan api dari mata selalu menyapanya. Ini kali ketiga di bulan paling tabahnya Sapardi. Tapi ia tak merasa paling tabah--kecuali diri yang makin merasa sunyi.
Riuh musik dari piring yang terbang. Mangkok, panci, dan saudaranya menghibur telinga Ayya. Dari mata yang sering mengeluarkan api. Adalah Ayahnya sendiri. Sudah ribuan kali, Ayah mencangkul tanah--yang didapat hanya payah. Tapi Ibu selalu membantunya mencangkul langit--usahanya yang remeh pun tampak melejit. Selalu ada celah keberkahan tersendiri. Mungkin, ini yang namanya rezeki yang berkah.
***
Ayah tak bisa melihat Ibu hanya mencangkul langit. Saat kecewa, api di matanya menggelora. Tiada tara membaranya. Ibu sering ketakutakan--mencari karung goni basah--untuk meredam api di mata Ayah. Namun alpa. Mata Ayah kian membara. Mencengkram apa saja di hadapannya. Termasuk mengeluarkan kata-kata tak sepantasnya.
"Bangsat!! Sana kamu saja yang mencangkul tanah!"
"Ibu hanya coba kasih saran," sambil merintih menahan mutiara dari ekor matanya.
"Capek nyangkul tanah! Emang kamu kerjaannya hanya nyangkul langit?!"
"Gak usah sok ngatur!!"
Ayya mendengarnya dari bilik kamarnya. Kejadian itu hanya satu dari sekian yang tak pernah alpa dari telinganya. Ada satu kerinduan darinya. Yakni mencari telinga yang enak didengar. Di usianya yang remaja--ia sangat ingin menceritakan segala apa. Tapi keadaan--memaksanya lebih banyak mendengar gemuruh api dari mata dan mata air dari lautan mata.
***
Ayya baru saja pulang dari sekolah. Kegiatannya yang menambah--hanya membuat bebannya kian payah. Ia makin memimpikan kehadiran telinga yang enak didengar itu. Tapi tak tahu, dimana harus mencarinya??
"Bu,... Ayya mau cerita sama Ibu,"
"Cerita apa? Mau keluar sekolah lagi? Hah? Jangan bikin Ibu tambah susah!"
"Gak, Bu. Gajadi." Ia segera menyusuri bibir pintu kamarnya. Merebahkan tubuhnya yang lelah--mendengarkan pewarta dirinya yang makin cerewet parah. "Apa susahnya mendengar dulu?" "Kenapa rumah ini penuh jengah?" "Kenapa sulit sekali mencari telinga yang enak didengar itu, ya Tuhan?" " Ayya gak capek?" "Kalau capek, bunuh diri aja!" Setan-setan mulai membisikinya. Tapi ia tak sebodoh itu.
***
Remaja memang wajar membutuhkan orang yang tepat untuk mendengarkannya. Entah itu sedih, keluh, atau segala hal-hal kecil yang menurutnya seru diceritakan. Tapi Ayya tak mengenal itu. Jangankan hal-hal kecil yang ia temui untuk diceritakan. Seperti kucing yang tiba-tiba muncul saat ia sedang mengendarai sepeda motornya, capung yang tiba-tiba masuk ke helmnya, sekarat lalu mati seketika saat mengendarai sepeda motornya, atau bentuk awan yang amat indah pada hari itu.
Itu terlalu terlihat tidak penting di mata Ayah dan Ibunya. Entah, apa yang penting dari mereka. Ia terus mempertanyakan hal-hal itu. Sesekali terus mencari telinga mana yang enak mendengar tanpa tapi. Mencari dan mencari meski yang dicari seringkali berkebalikan. Ia sendiri yang dicari.
***
"Ayya, Aku main yah!"
Salah seorang teman sekolahnya ingin menemuinya. Curhat. Entah bagaimana rupanya, seseorang merindukan telinga yang enak didengar--tapi diminta jadi pendengar. Ayya membunuh dirinya sendiri. Lagi dan lagi.
"Aku lagi kesel banget, Ya. Gimana enggak? Masa aku curhat ke temen, tapi ia tega banget ember!"
"Sssttt, tenang dulu. Ini minum." Ayya menyodorkan jus stroberi--meski itu minuman kesukaannya sendiri.
"Makasih, Ya. Kamu emang sahabat yang baik!"
"Ah, kamu bilang gitu pas lagi butuh aja kan?" candanya.
"Beneran deh. Padahal pas aku curhat ke dia tuh, udah janji gabakal ember. Tapi malah tega ngegosipin lagi. Nambah parah deh. Aku capek banget," keluhnya.
"Kamu udah tau gitu. Kenapa masih curhat sama dia?"
"Ya aku baru tau dia kegitu, Ayya. Kirain baik. Bisa dipercaya. Nyatanya, ember!"
"Kata psikolog favoritku--mereka yang benar-benar sahabatmu itu adalah ia yang memiliki telinga yang enak didengar."
"Kamu sok tau aja, Ay. Emang seperti apa?"
"Ya seperti psikolog. Mereka akan berusaha mendengar dengan baik dulu. Sebelum mengatakan A dan B. Meski aku tak tau bagaimana mendeteksi seseorang yang memiliki telinga yang enak didengar itu."
***
Ayya masih mencari-cari. Manusia dengan telinga mana yang enak didengar. Bagaimana mendeteksinya, tanpa harus bercerita terlebih dahulu? Apakah dari matanya? Senyumnya? tapi kembali ia melihat. Mata yang tampak teduh--bukan berarti tempat teduh yang baik. Tak menjadi satu ciri utama--memiliki telinga yang enak didengar. Mereka akan pura-pura mendengar--tapi di belakang mata itu, menyimpan ranjau penuh jebakan. Ternyata matanya hampir menyerupai mata Ayah. Penuh percik api. Senyum. Senyum pun tak dapat dijadikan patokan utama--ia memiliki telinga yang enak didengar.
Kita jumpai--mereka yang tersenyum manis--tak jarang lebih berpura-pura memiliki telinga yang enak didengar. Namun tujuannya hanya agar dilihat senyumnya. Mereka penuh keinginan untuk dipuji. Dikagumi. Dikagumi bahwa mereka bisa memiliki telinga yang enak didengar. Mungkin satu kali--mereka bisa, tapi selanjutnya? Segala hal yang bukan dari ketulusan hati--akan mati seiring tujuan semunya dimiliki. Mereka bukanlah pemilik telinga yang enak didengar sejati.
"Ayya, jangan melamun! Aku masih mau cerita," rengek Nia--temannya.
Hati Ayya seperti ingin meledak. Tapi bersamanya diredam kembali segala duka. Melihat cerita temannya yang dikecewakan--barangkali memang pelipurnya. Barangkali memang lebih enak didengar--daripada ia bercerita tentang mata Ayah dan Ibunya. Padahal, cerita temannya itu--terlalu remeh dengan segala apa yang dibunuhnya dari jiwanya sendiri. Tapi ia tak peduli. Toh, masih bisa mendengarkan suara curhatan teman di sore hari, itu jauh lebih baik dari mendengar amukan api di mata Ayah. Ia tak peduli. Sungguh, tak terhitung berapa kali--ia membunuh dirinya sendiri. Sambil matanya terus mencari. Manusia mana yang memiliki telinga yang enak didengar itu, Tuhan?
***
Keesokan harinya, ia masih belum menemui telinga yang enak didengar itu. Ia kembali menjadi telinga untuk api di mata Ayah dan air mata Ibu.
"Bangsat!! Sana kamu saja yang mencangkul tanah!"
"Ibu hanya coba kasih saran," sambil merintih menahan mutiara dari ekor matanya.
"Capek nyangkul tanah! Emang kamu kerjaannya hanya nyangkul langit?!"
"Gak usah sok ngatur!!"
Ayya mendengarnya dari bilik kamarnya. Kejadian itu hanya satu dari sekian yang tak pernah alpa dari telinganya. Ada satu kerinduan darinya. Yakni mencari telinga yang enak didengar. Terus mencari. Berharap yang dicari bukan kebalikannya lagi. Tapi benar-benar yang diimpikannya saat ini. Apakah kamu pemilik telinga yang enak didengar itu?
Ayya terisak. Ia terus duduk memeluk lututnya. Sesekali mendongakkan kepala. Melihat dinding-dinding kamarnya. Yang begitu dingin karena tak pernah disapa mesra. Yang begitu panas, karena Ayah dan Ibu tak pernah melihatnya menangis. Padahal, Ayya hanya butuh telinga.
***