Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 4 - 4. Belanja Harian

Chapter 4 - 4. Belanja Harian

4. Belanja Harian

"Sayang, bikin dedek, yuk!"

Aku melenguh panjang dalam dekapan suamiku. Masih setengah sadar, kucoba untuk melirik jam dinding sembari mengucek mata.

"Ya ampun, Mas udah jam tujuh. Kamu gak bangunin aku sholat shubuh, Mas?" pekikku terlanjur kaget. Bahkan Ramdan sampai memasang ekspresi kesal karena aku berhasil terlepas dari rangkulannya.

Ia mendengus seraya merotasikan bola matanya. "Kan udah sholat bareng tadi. Kamu lupa?"

Aku mencoba mengingat kejadian tadi shubuh. Ah, iya ternyata aku sudah sholat. Hampir saja mendapat 'hukuman' dari Ramdan jika aku telat atau menolak diajak sholat shubuh. Untung diingatkan.

Aku kembali merebahkan diri di samping suamiku.

"Sayang, ayo bikin dedek!" Rengekan Ramdan semakin mengeras seiring dengan adegan kasur bergoyang. Astaga! Masih pagi tapi Ramdan sudah minta jatah.

Nasib ... nasib. Kemarin malam aku menolak ajakan mainnya karena mengantuk. Kalau dipaksa malah gak nikmat, eh!

Lagian Ramdan ada-ada saja. Makan sepotong roti minta ditemani. Udah gitu makannya lama lagi. Aku jadi tidur di meja makan sambil lihatin mas Ramdan makan.

Tapi gak masalah, sih. Hitung-hitung buat mempererat hubungan kami. Ah, gimana, sih! Tadi aja aku ngeluh, sekarang malah bersyukur. Moodku emang masih labil.

"Nanti malem aja ya, Mas. Mas hari ini kerja, kan? Ayo, siap-siap. Biar aku siapin baju Mas sama masak," balasku kemudian bangkit. Segera kucari ikat rambut yang biasa kuselipkan ke bawah bantal, lalu mengikat rambutku menjadi satu.

Ramdan tiada henti memasang ekspresi masam lantaran keinginannya terus kutolak. Sekali-kali, toh Ramdan mintanya juga sering.

"Satu ronde aja. Cuma sebentar kok, Yang. Ayolah!" Suamiku malah terus membujukku yang sudah beranjak bangkit dari kasur. Lagian ia tidak mencegahku. Aku menggunakan kesempatan ini untuk pergi menyiapkan kebutuhan suamiku di pagi hari.

"Sa—"

CUP!

Satu kecupan singkat sepertinya ampuh membungkam mulut suamiku. Berganti dengan wajah tersipu malu sembari berguling-guling di atas kasur. Kebiasaan suamiku ketika sedang bahagia, padahal aku cuma mengecupnya sekilas.

Bahagia memang sesederhana itu.

Aku terkekeh melihatnya. Dasar, Mas Ramdan.

[.]

"Masukin sini aja, Mas gak usah dikresekin. Saya bawa tas."

Aku menyerahkan tas biru muda bertuliskan "Love Yourself" ke arah penjual. Pemuda berjiwa perempuan itu lekas mengambil alih kemudian memasukkan semua belanjaanku. Siap-siap kukeluarkan selembar uang berwarna hijau untuk diserahkan kepadanya.

"Dua puluh ribu, Ce," katanya padaku.

"Pas banget. Ini, Mas."

Si penjual menerima uangku dengan senang hati. Tapi bukannya dimasukkan ke dalam tas, dia malah mengipasi wajahnya dengan beberapa lembar uang yang sudah dijejer rapi. Meski bukan uang warna merah, dia tetap bangga memamerkan hasil jerih payahnya.

"Eh, Mba Nufus. Muka Mba kok pucat? Hamil ya?"

Celutukan mulut tetanggaku berhasil membuat kepalaku menoleh. Keningku berkerut bingung. Apa katanya tadi? hamil?

Aku lekas menggeleng sebelum mereka membeberkan cerita yang tidak-tidak ke mulut tetangga.

"Aku cuma kecapekan aja. Perutku rada mules, mungkin masuk angin. Tadi malem keluar agak lama bareng ibu soalnya," jawabku pelan.

Baru saja hendak melangkah, ucapan ibu yang lain segera menyusul.

"Kalau hamil juga gak apa-apa, Bu. Malah beneran ya, kan? Mertuamu cepet diberi cucu, jadi makin disayang deh."

Aku tersenyum maklum. Meski sudah setahun lamanya berumah tangga, Tuhan belum menitipkan anak kepadaku. Baik keluargaku maupun keluarga mas Ramdan tak ada yang menyuruhku untuk cepat-cepat punya anak. Tapi aku tau jika mereka sama-sama menginginkan cucu hasil pernikahanku.

Semoga saja Tuhan segera memberiku momongan agar rumah tangga kami kian humoris.

"Semoga aja ya, Bu tapi tolong beritanya jangan disebar luasin dulu. Belum tentu saya hamil seperti dugaan Ibu. Takutnya keluarga besar saya kecewa kalau nyatanya saya belum hamil." Setelah berucap demikian, aku segera pamit undur diri.

"Buru-buru amat, santai aja kali, Ce. Mulut Ibu-ibu ini mah gak bakal beber selama ada saya di sini." Ucapan si penjual bencong menginterupsi langkahku. Bukannya pulang ke rumah, aku malah membalikkan badanku. Definisi ego dan kemuan yang gak sejalan.

Aku balas senyum canggung.

"Bener tuh, Bu Nufus. Sini atuh ngobrol-ngobrol dulu sama kita. Obrolan kita tadi dijamin aman. Paten deh," ujar ibu berambut keriting padaku. Aku mengangguk sekali.

"Ce, aku ada bahan ghibah." Harusnya dia menjajakan barang dagangannya tapi malah ikut rumpi bersama kita. Ya sudah.

"Apa?"

"Itu, bu Naya yang punya rumah gede, mobil, sama motor banyak katanya lesbi."

Naya? Nayana tetanggaku itu? batinku mulai menerka-nerka. Namun, aku tak kunjung bertanya, sibuk mendengarkan perkataan selanjutnya yang akan terlontar dari mulut tetangga.

"Gak aneh, sih soalnya dia kek gak punya napsu ke cowok." Si rambut keriting menimpali.

"Saya aja gak pernah lihat dia main atau jalan bareng cowok. Kayaknya bener deh kalau dia itu lesbi." Si wajah berdempul turut memanas-manasi topik pembicaraan mereka. Sementara aku masih setia menyimak sembari meraba permukaan tas.

"Selama hidup cuma pengin jadi wanita karir ya gitulah nasibnya. Kaya, sih iya, tapi suami kagak punya. Umur udah masuk kepala tiga. Malulah kalau ketemu keluarga, pasti bakal digunjingin kenapa belum nikah padahal udah tua."

"Kalau saya mah mending sederhana tapi punya keluarga," sela penjual sayur keliling.

"Eh, ente 'kan cowok setengah bencong. Ente mau punya laki apa bini? Umur udah tua keburu mati duluan daripada nikah." Mulut si rambut keriting emang pedes kayak cabe. Semoga saja aku tidak pernah berurusan dengannya.

Si penjual menampikkan wajah kesal lantaran gendernya diungkit-ungkit. "Terserah ane dong, Ce. Ente tinggal terima undangan aja ntar. Jangan lupa amplopnya yang banyak!"

Wanita berambut keriting membalasnya dengan cibiran. "Tergantung jodoh ente ntar."

"Ibu-ibu, saya pamit pulang, ya. Masih banyak kerjaan yang belum diberesi." Aku membungkuk hormat seraya berlalu. "Duluan, Bu."

"Iya, Ce. Hati-hati."

Akhirnya lolos. Gak tau apa kalau aku temenan baik sama mba Naya.

Segera kutaruh barang belanjaanku ke kulkas. Ramdan pergi ke kantor tadi selepas sarapan. Kubuatkan nasi goreng kesukaannya berhias telor ceplok. Masih ada sisa cukup banyak. Rencananya pagi ini aku ingin berkunjung ke rumah mba Naya buat silaturahim. Sudah lama aku tidak ke sana. Rindu mengobrol dengannya.

Kumasukkan seporsi nasi goreng ke dalam rantang besi. Isinya ada tiga tapi aku hanya memakainya satu. Yang dua aku simpan. Setelah semuanya siap, aku tinggal mandi dan berdandan.

[.]

Bangunan minimalis tingkat dua berwarna putih berdiri megah di hadapanku. Aku melongo sesaat sebelum melangkah masuk karena satpam telah membukakan gerbang untukku.

Halaman berisi rumput terpampang begitu luas. Jalan setapak yang terhubung ke samping rumah tak kalah luasnya dengan halaman depan. Berulang kali aku berdecak kagum melihat desain rumah temanku yang begitu enak dipandang mata.

TOK! TOK! TOK!

"Mba Nayaa ...."

"Sebentar!"

Aku tersenyum mendengar balasan dari dalam. Tak butuh waktu lama, Naya membukakan pintu untukku. Kami segera berpelukan sembari memekik tertahan karena senang.

"Tumben kamu datang. Biasanya sibuk rebahan di rumah. Ayo masuk dulu!"

Naya menggiringku masuk ke rumahnya. Keadaan di dalam rumah tak kalah bagusnya seperti di luar. Meski sudah beberapa kali aku berkunjung ke sini, mulutku tiada henti menggumamkan kata kagum ketika melihat hal-hal yang menurutku bagus.

"Siapa, Nay?"

Suara sopran milik pria asing segera menyapa indra pendengaranku. Atensiku beralih, terkejut melihat keberadaa orang lain terlebih pria di dalam rumah Naya. Berdua pula. Untung aku cepat datang meski jadi orang ketiga.

"Temen, Qom. Kenalan, gih! Aku ke belakang dulu ambilin kamu minum."

Naya langsung meninggalkanku berdua dengan pria asing. Aku mengulas senyum canggung kemudian duduk di sofa bekas dudukan Naya. Kuletakkan rantang berisi nasi goreng kesukaan Naya di atas meja dekat berkas-berkas penting mereka.

"Saya beresin dulu sebentar. Maaf berantakan. Kita habis rapat dan belum sempet beresin," kata Arqom sopan. Aku mengangguk membolehkan. Lagian, aku juga risih lihat barang-barang berserakan di depanku. Niatnya malah mau aku beresin tapi Arqom keburu peka.

Syukur kalau gitu.

"Ada apa, Nu?"

Aku menoleh ke sumber suara. Naya menghampiriku membawa nampan berisi minuman dingin rasa jeruk. Ia duduk di sampingku setelah menaruh gelas di hadapan masing-masing tamunya.

"Makasih, Nay. Ini buat kamu. Keknya kamu rindu sama masakanku."

Kuserahkan rantang berisi nasi goreng ke arah Naya kemudian meminum minuman dari temanku itu. Naya tampak senang menerima makanan dariku, terlebih ketika indra penciumannya menghirup aroma lezat nasi goreng dalam genggamannya. Mata lebarnya berbinar.

"Baru aja aku mau chat kamu, kapan buatin aku nasi goreng lagi eh malah udah dianterin. Kebeneran."

Aku tersenyum senang. "Syukur kalau gitu. Aku langsung pulang ya, Nay. Makasih minumannya." Aku bergegas bangkit.

"Kok buru-buru, Nu? Sini aja dulu ngobrol sama aku. Udah lama gak ngobrolin banyak hal." Naya ikut bangkit dengan wajah sedih. Rantang milikku diletakkan di atas meja.

Aku melirik Arqom sejenak. "Kalian lagi rapat. Aku ganggu kalian pasti. Selesaiin aja dulu, nanti kalau udah beres kamu chat aku aja. Kita ngobrol kapan-kapan."

Naya tersenyum haru. "Makasih banyak ya, Nu. Kamu temen yang paaling ngertiin aku. Makasih juga buat nasi gorengnya." Aku mengangguk.

"Pamit ya."

"Perlu aku antar?"

"Gak usah. Aku bisa sendiri."

Tepat ketika aku hendak membuka pintu, suara Arqom samar-samar terdengar dari ruang tengah.

"Temenmu, Nay?"

"Iya."

"Cantik. Minta nomornya dong, mau gue gebet."

"Dia udah nikah, ogeb! Gak usah lo gebet."

Aku tersenyum kemudian menutup pintu.

Dia jatuh cinta sama aku.

[.]