"Kita semua harus mentrasnfer tenaga kita ke dalam tubuhnya Yang Mulia, butuh beberapa hari karena tubuh Pangeran sangatlah lemah," jawab salah satu prajurit.
"Aku dan August-18 juga bisa menyalurkan tenaga untuknya?" Sang Raja semakin mencemaskan putranya.
"Bisa Yang Mulia, semakin banyak yang membantu akan semakin cepat terisi tenaganya dan akan cepat pula datang kesadarannya," jawab mereka.
Untuk saat ini penjagaan terhadap batu ajaib itu sangat diperketat, karena Pangeran Bara yang mampu memecahkannya, maka batu itu adalah miliknya dan menjadi milik Kerajaan, banyak pengawal dan beberapa ksatria yang ditugaskan menunggui batu itu bergantian, ini menjadi kekayaan yang berharga untuk Kerajaan Proksia yang tidak dimiliki oleh kerajaan lain.
Raja mulai berpikir bahwa putranya ini pasti memiliki keistimewaan dari Dewa, terbukti dirinyalah yang dipilih oleh Dewa untuk mengendalikan batu ajaib ini dan menyerap kekuatan yang Maha dahsyat dari batu ajaib berwarna hitam pekat itu.
Adik-adik perempuan pangeran Bara turut menyaksikan dengan sedih dan tentu menangis melihat sang kakak yang ia cintai seperti orang yang sedang koma. Mereka begitu merindukan canda tawa yang suka menggoda mereka dibanding kakak laki-lakinya yang satunya, Hikayano itu yang lebih sedikit pendiam dan lebih asyik dengan dunianya sendiri, mungkin karena usianya yang masih 17 tahun itu. Pangeran pun dipindahkan ke istana untuk dilakukan ritual selanjutnya rencananya. Semua mengikuti berduyun-duyun dibelakang rombongan kerajaan, sebagian menaiki kuda dan
pangeran Bara dinaikkan di kereta Kerajaan, anggota keluarga Kerajaan juga telah dinanti oleh kereta-kereta Kerajaan yang lainnya, dengan kuda yang gagah dan terawat sebagai penggeraknya.
Para prajurit dan juga rakyat pangeran Bara yang setia itu juga mengikuti sambil berjalan kaki serempak berbaris rapi dari belakang. Mereka dengan setia dan bersemangat untuk menuruti apapun titah sang Raja yang bijaksana selalu itu, Raja yang selalu mengutamakan rakyatnya.
"APAKAH RAKYAT TERCINTAKU MAU MEBANTUKU MENYADARKAN PUTRA MAHKOTA??" Raja berteriak diatas kudanya denga gagah sambil mengacungkan pedang panjangnya.
"SIAAAAAP YANG MULIA!" Para rakyat setia serentak menjawab keras dengan penuh semangat membara.
"Kita semua akan bersama-sama menyalurkan tenaga kita semua untuknya hari ini, di istana Proksia sekarang juga," titahnya menggelora meminta bantuan juga kepada rakyatnya yang juga hadir dalam penyambutan kedatangan Pangeran Bara yang datang dari dimensi lain.
Barisan tegas beriring-iringan rakyat setia kerajaan berada di posisi paling belakang siap menanti tugas dari pimpinan, baris depannya lagi diisi oleh para pengawal setia kerajaan, lalu berurutan ada posisi para ksatria terlatih kerajaan, sedang yang paling depan adalah anggota keluarga kerajaan yang tampak menaiki kereta-kereta kerajaan dengan rapinya. Gerakan langkah kaki yang serentak memyuarakan suara hentakan-hentakan yang mendengung di telinga. Keramaian yang ada menyita semua mata yang melihatnya. Rakyak sebagian memang ada yang tidak hadir karena tugasnya masing-masing di rumah dan ada yang bertugas bekerja untuk keperluan bidang pangan, pertanian dan perkebunan.
****
Sementara ... di dimensi lain, Terlihat Neira yang semakin putus asa. Hari demi hari membuatnya makin terpuruk. Dia merana dan hidupnya hancur sejak kehilangan lelaki dengan kehebatannya itu.
Dia sering termenung sendirian di lahan yang dimana biasa Bara berlatih atau bermeditasi, Neira akan menghabiskan waktu paginya, siangnya, sorenya untuk menyambangi kesana sambil duduk-duduk mengenang kebersamaan bersama Bara.
Neira melamun dan berdiam saja seperti orang yang sedang linglung. Dia dikagetkan kedatangan seseorang yang melangkah dari belakang.
"Neira, boleh aku duduk disini?" tanya seseorang itu padanya.
Neira hanya mengangguk pelan tanpa menoleh atau mencari tahu orang itu siapa,
"Ini, untukmu." Dia menyodorkan sebuah gelas berisi teh hangat untuk dirinya.
"Terima kasih," jawab Neira monoton. Dia menerima cangkir besar berisi teh hangat itu.
"Mau sampai kapan kamu disini? Semua sudah prepare akan kembali ke rumahnya masing-masing."
"Aku kan sebatang kara, Dok, lagi pula aku ingin menunggunya beberapa hari. Siapa tahu ada keajaiban dari Tuhan," ujarnya lagi-lagi melelehkan air matanya.
Dokter Vigian mengalihkan tangannya untuk memegang bahu Neira.
"Mau sampai kapan menunggu? Bagaimana kalau dia tak kembali lagi? Sepertinya Tuhan memang mengirimkan dia hanya untuk membantu mengatasi peperangan saja, lihatlah ... setelah perang usai, Tuhan menariknya lagi."
Neira makin tersedu-sedu sambil menangkup wajahnya sendiri, dia tanpa malu dihadapan dokter Vigian menangis dengan kerasnya.
"Kamu manusia masa kini, dia manusia jaman dahulu, bayangkan 700 tahun lalu, sudah jadi apa tubuh itu sekarang Nei? Mana mungkin bisa bersatu sama kamu? Dia sudah jadi tanah sekarang di tahun 1300-an itu, kamu menunggu apa? Jangan lagi sakiti hatimu, mungkin kamu bisa mencoba melupakan dia."
"Aku tak bisa berhenti memikirkannya, Dok! Dia selalu ada dalam pikiranku," tangisnya makin meluruh.
Dokter Vigian dengan perlahan mencoba-coba memeluk dari samping tubuh Neira dan menyandarkan di dada sebelah kirinya. Neira yang teramat sangat down itu tak bisa menolaknya karena saking butuh sandaran dan kekuatan dari orang lain.
"Kemarin itu pak Jenderal memintaku untuk membujukmu menerima lamarannya. Dia ingin menikahimu Nei. Dia sangat menyukaimu. Aku hanya harus menyampaikannya kepadamu, meskipun aku tak suka mengatakannya."
"Aku sudah menolaknya. Pak Jenderal sudah mengatakan padaku sendiri." Gadis itu mulai membuka wajahnya dari tangannya.
"Syukurlah kamu menolaknya Nei, kamu memang bukan seperti gadis kebanyakan. Dia orang yang kaya, aku senang mendengarnya."
dokter Vigian berusaha untuk mengelus kepala Neira dan Neira pun tak memberontak. Hati dokter Vigian sangat senang mempunyai moment berdua dengan Neira, memang desas-desus yang beredar sudah luas di kalangan para medis, namun dokter Vigian tak pernah memberikan klarifikasi tentang rumor itu. Apalagi situasi peperangan yang membuat suasana makin pelik hanya untuk urusan cinta.
"Jika itu semakin menyakitimu, apa tak sebaiknua lupakan dia pelan-pelan Nei, aku selalu ada bersamamu, hanya saja ... kamu tak pernah mau melihatnya. Aku sudah dari lama ingin mengatakan perasaanku padamu, karena adanya perang ini jadi membuat suasana tak memungkinkan aku untuk menyampaikan dengan jujur." Gadis itu hanya menunduk tanpa bisa membendung air matanya.
"Aku sudah lama mencintai kamu Nei, apa aku boleh membantumu menyembuhkan luka hatimu karenanya?" Dokter Vigian berbicara.
"Maafkan aku, Dok. Aku tak bisa menerima cintamu. Aku sedang hancur dan hatiku masih sakit," ujarnya melirih.
"Aku mengerti, tapi aku akan selalu sabar menantimu, kalau kau membutuhkan aku, jangan sungkan-sungkan, katakan saja."
Neira meminum teh buatan dokter Vigian itu, dia masih dan masih mengharapkan Bara hadir lagi di sisi, minimal untuk memberi penjelasan kepadanya. Apa yang bisa dia lakukan? andai kalau memang tak bisa bersatu. Dia akan memaksa diri untuk melupakannya, bukannya menghilang tanpa jejak begini, tanpa kata dan tanpa berita. Menghilang terserap oleh angin sehingga menggantungkan perasaan gadis cantik dan lembut ini.