Tiga hari berlalu ...
Dia masih dikelilingi oleh banyak orang yang mencintai dirinya, anggota keluarga Kerajaan, anggota keluarga calon permaisurinya, semua pengawal dan rakyatnya dengan setia melalui proses demi proses pemulihan tenaga sang Pangeran, tak ada yang merasa keberatan atau mengalami keluhan, mereka semua membantu mengirimkan tenaga dalam dan kekuatan dalam diri mereka semua untun diberikan kepada Pangeran Bara, dengan dipimpin oleh orang-orang sakti. Dirinya dibaringkan di atas ranjang bertenun sutra nan lembut bercahaya, ranjang berbahan kayu Bocote. Kayu termahal yang satu ini pada zamannya memiliki tampilan yang sangat menarik perhatian dengan motifnya yang seperti kuda zebra. Selain itu bocote wood adalah jenis kayu yang baik digunakan untuk furnitur, alat musik, bagian pegangan senjata, (untuk zaman kini) hingga bagian dalam kapal laut. Badan lelaki itu terasa hangat dan semilirnya angin menyapu sekujur tubuhnya. Para orang sakti menebar mantra dan doa-doa khusus yang dihaturkan kepada Dewa.
Pangeran Bara mulai mampu merasakan kedamaian di dalam jiwanya, hatinya mulai mampu berkata-kata, dia mulai di datangi oleh sukmanya yang membuatnya mulai mampu mendengar sayup-sayup doa seluruh yang hadir dalam ritual ini. Perlahan dia mulai mampu membuka matanya, pertama kali yang menatap dirinya adalah sang Ibunda tercinta.
"Neira ...." ucapnya lirih masih dalam keadaan
setengah siuman.
"Lihaaaaat!! Pangeranku telah sadar," teriak Ibunda dengan bersuka cita menampilkan tetesan air mata bahagia.
"Anakku sayang, kamu telah kembali pulang, kamu telah sadar sekarang." Sang Ratu segera memeluk putranya itu yang masih tergolek lemah di ranjang istana yang indah.
Sorak soray dan gegap gempira suasana seluruh yang ada di istana Kerajaan berdengung keras mencuat hingga mencapai ke seluruh penjuru Negeri, saking berbahagianya semua hati dan jiwa yang ada.
"Ibu, apa ini di istana? Dimana Neira?" bisiknya masih mencari sosok gadis itu.
"Siapa Neira? Ini calon Ratumu, Putri Metania telah lama menanti kembalinya dirimu, Anakku." Ratu menunjuk Putri Metania dan Putri pun segera berlari mendekati Pangeran Bara untuk menuju ke sisinya.
"Aku disini Yang Mulia. Aku sangat merindukanmu." Dia mencium tangan Pangeran Bara karena telah berminggu-minggu menahan rindu. Pangeran Bara mulai merasakan kesadarannya semakin lama semakin utuh.
"Ooh aku telah berada di istana? Ini buka Negeri 2021? Ya Dewa ... Aku telah meninggalkan masa depan, aku telah meninggalkan dirinya. Aku akan kehilangan Neira." Ia memejamkan mata dan buliran kecil terjatuh dari kelopak matanya, ia juga begitu sedih telah meninggalkan Negeri kemarin dan juga meninggalkan gadis perawat itu tanpa kata dan tanpa ucap apa.
"Aku mau beristirahat di kamarku Ibu," pinta Bara kepada Ibundanya.
Bara pun akhirnya dibantu paman dan adik lelakinya untuk berjalan perlahan menuju kamarnya.
"Akan aku temani Yang Mulia," pinta Putri Metania kepada calon suaminya itu.
"Terima kasih Tuan Putri, aku masih ingin memulihkan diri dulu. Aku ingin tenang sendiri," jawab Bara kepadanya membuat Putri cantik itu sedikit nampak guratan kekecewaan .
"Tuan Putri bersabarlah, Pangeran sedang lemah dan dia harus maksimal beristirahat, mungkin besok sudah lebih baikan," jelas adik-adik Bara, Mawa dan Mela. Putri Metania mengangguk perlahan berusaha untuk bersabar mendengar alasan Sang Pangeran.
Di kala dirinya telah dibaringkan di ranjang kamarnya, datanglah Sang Ayahanda tercinta untuk menemuinya.
"Apa yang terjadi kepadamu selama ini?" Selidik Raja.
"Aku sampai di dimensi lain Ayah, masa depan 700 tahun lagi. Mungkin karena aku menghantam batu itu tujuh kali"
"Apa yang kau lihat disana?"
"Kejam, dzalim, peperangan yang maha dahsyat Ayah, dengan peralatan perang yang luar biasa, Mereka bisa membantai tanpa menyentuh, dari jarak sekian kilometer." Bara menceritakan detail keadaan Negeri Zendonevia itu, dari bentuk bangunan-bangunannya, sampai pakaian yang di kenakan oleh penduduk pada zaman itu ia sampaikan secara detail. Dirinya juga mengaku telah berhasil memukul mundur pasukan musuh yang berjumlah ratusan ribu itu hanya dengan dirinya sendiri dan bantuan kekuatan alam yang ia sendiri kaget dengan kedahsyatannya.
"Iya, itulah kekuatan gaib yang didapatkan dari batu ajaib itu Pangeran," ungkap sang paman, Pangeran August-18.
"Tapi fisik Yang Mulia belum memadahi untuk diisi dan mengeluarkan kekuatan sedahsyat itu, karena itu Yang Mulia hampir mati sehabis menggunakannya, untung saja kami berhasil menarik Yang Mulia kesini, kalau terlambat Yang Mulia bisa mati." Pangeran August-18 menambahkan kepada Pangeran Bara, keponakannya.
"Lihatlah kecerobohanmu, kamu hampir saja meruntuhkan masa depan Kerajaan Proksia dengan menghilangnya dirimu, kamu adalah penerusku, Anakku."
"Ayah, aku ada yang belum terselesaikan disana." Pangeran Bara dengan berat dan hati-hati mengutarakannya. Ia tahu jika ingin kembali ke Negeri masa depan itu pasti akan dilarang oleh Ayahnya, namun Pangeran tetap menyampaikan keinginan hatinya bahwa ia ingin bisa kesana lagi karena ... pada dasarnya ia merasa ada yang tertinggal disana, alasan satu-satunya yang paling berharga adalah Neira ... gadis yang telah membuat dirinya bertekuk lutut dihadapan si gadis itu. Bara tak mungkin mengatakan alasan yang sesungguhnya, karena itu dia menyatakan alasan lain untuk bisa diijinkan kembali ke masa depan itu. Dia sangat ingin bertemu Neira lagi dan ingin menyampaikan sesuatu kepadanya.
"Ayah, aku hanya ingin memastikan bahwa Negara-negara kecil korban perang yang berkepanjangan itu benar-benar sudah aman Ayah, karena bantuan seranganku kemarin, tiga tahun mereka dihancurkan Negara-negara besar Ayah, darah dan kematian dimana-mana, aku tak sampai hati melihat mereka karena kami sama-sama manusia, sedangkan seranganku kemarin membuat aku takut kalau mereka menyerang dengan lebih kejam lagi karena tak terima dengan perlakuanku" ucapnya.
"Bagaimana bisa Negaranya hancur? Dimana Rajanya yang payah itu?" bantah Ayahnya.
"Disana tidak ada Raja, pemimpinnya Presiden yang juga disembunyikan agar tidak menjadi korban," terangnya lagi kepada Raja.
"Cih! Memalukan, pemimpin yang tak pantas," hina Ayah kepada Pemimpin Negara itu.
"Kau pikirkan dulu dirimu sebelum memikirkan urusan lain, kau masih lemah, lagipula mereka bukan rakyatmu, jadi bukan urusanmu, kan?" ucap Raja sedikit kesal.
"Ayah, Bara hanya ingin satu atau dua hari kesana Ayah, nanti Ayah bisa satukan lagi batu itu. Aku bisa kembali lagi kan, Ayah? Biarkan aku mengayomi dan menyelamatkan rakyat juga Ayah, meskipun bukan rakyatku. Anggap saja ini latihan untukku memimpin Karajaan. Aku sudah membantu hingga hampir kehilangan nyawaku, biarkan aku menyelesaikan sedikit lagi, aku meminta ditemani pengawal agar Ayah tak khawatir kepadaku." pungkasnya karena dirinya bersikukuh kepada pendiriannya itu.
Sang Raja nampak berfikir, ia berat hati dengan permintaan Bara, namun putranya yang sudah mulai dewasa ini mengatakan hal yang tidak salah juga, harusnya dirinya bangga dengan jiwa Ksatria yang sudah tumbuh dalam dirinya.