Bab inilah yang ditakutkan oleh Neira, dia dan semua orang. Bara yang pasti sudah sangat lemah di kejauhan sana.
Neira melihat dia yang terhuyung dan terjatuh itu berteriak dengan kencang
"TIDAAAA .... AAAAK!!!!", dia berlari dengan tergopoh-gopoh karena untuk mengetahui kondisi Bara saat ini, ia membawa kotak obat yang mungkin bisa membantu lelaki itu. Dia berlari dan berlari sambil menangisinya diikuti beberapa rekannya yang ingin segera menolong di belakang Neira.
Mata bulat berwarna coklat bercahaya yang memiliki bulu mata yang lentik dan berair ini menyaksikan lelakinya itu sedang lemah. Nafasnya juga menghembus dengan pelan. Neira segera memeriksa denyut nadi Bara, dan juga detak jantunngya menggunakan teleskopnya, sebenarnya sudah ada dokter Vigian yang berdiri di belakang Neira, namun dia membiarkan susternya itu memeriksa Bara, karena ia tahu bahwa hanya Neira lah yang dari kemarin sangat mengkhawatirkan lelaki itu. Suster Neira juga sudah berpengalaman.
"Hero, buka matamu dulu. kamu masih sadar kan? ayo! tolong minum vitamin, suplemen dan obat-obatan ini dulu, aku ingin membantumu semaksimal mungkin" Dia berusaha menggoyang-goyangkan tubuh lemah lelaki ini. Dia memaksakan diri dengan dibantu rekannya untuk membuka mulut Bara lalu satu persatu di masukkannya obat itu sambil dituangkan minum sedikit demi sedikit pada mulutnya agar ia bisa menelannya.
"Semua!, Ayo tolong bawa dia ke base camp, kita akan pasang infus untuk tubuhnya" Neira berteriak penuh kepanikan dengan air mata yang makin mengalir deras, Naya dan beberapa suster lainnya juga akhirnya turut menangis juga. Dokter Vigian terpana, seakan merasa harusnya dirinyalah yang berhak melalukan perintah kepada siapa saja, tapi pasien kali ini berbeda, ini adalah pasien dari susternya, ia merasa ingin membantunya tapi rupanya Neira sudah sangat profesional menangani situasi yang seperti ini.
Beberapa orang perawat pria mengangkat tubuh Bara dan meletakkan diatas tandu, mereka siap membawa tubuh itu masuk ke base camp untuk mendapat perawatan lebih. Papa prajurit, Jenderal dan panglima perang yang ada hanya menyaksikan saja peristiwa ini. Mereka juga tak bisa berbuat apa-apa.
Tubuh Bara dibaringkan diatas Bed pasien. Neira segera memasang infus di tangannya.
beberapa rekan Neira juga berinisiatif memijit-mijit kaki Bara.
"Hero ... kamu harus kuat ... kamu tak akan mati kan?. Aku tahu kamu manusia hebat, jadi tolong dengarkan suara hatiku ini, aku tidak ingin menunggumu tidur sepuluh tahun lamanya, jangan membuat aku tersiksa selama itu Hero" Bulu mata lentiknya tersapu air mata yang tak bisa ia hentikan. Dia terus berkata-kata dalam hati berharap Bara dengan kekuatan lainnya mendengarkannya. Mungkin seperti telepati atau sinyal tertentu.
"Hero kau tidurlah sepuluh bulan saja ya? aku akan terus menungguimu disini sampai kau bangun, seberapa liter cairan infus akan aku berikan kepadamu agar tubuhmu tetap terisi sari-sari makanan. Naya mendekat kepada sahabatnya itu, dia memeluk erat dan keduanya larut dalam tangisan merasa berat melihat keadaan Pahlawannya yang telah sangat berjasa ini tadi.
Bara tampak sedikit menggerakkan jarinya, dia menoleh perlahan ke arah Neira dan Naya.
"Suster Nei."
Neira terkaget dan segera memegang tangan kekar Bara dengan kedua tangannya, Neira tampak mengharu bercampur berbinar,
"Kamu siuman Hero?, katakan kau butuh berapa lama untuk pemulihan tenagamu saat ini?" tanya gadis itu penuh pengharapan.
"Aku juga tidak tahu, karena ini pertama kali aku mengeluarkan tenaga sedahsyat tadi, aku sendiri tak menyangka mampu mengendalikan Alam seluar biasa tadi. Aku tak pernah melihatnya juga" Penjelasannya dengan suara yang sangat lirih, karena semua diam dan hening, suara dia masih kedengaran,
"dan sekarang aku seperti orang yang lumpuh, menggerakkan tanganku saja aku tak kuat. Cobalah tunggu aku sampai sepuluh bulan, semoga aku sudah bangun dari tidurku, tapi jika aku belum bangun, apa kamu mau menunggu aku sepuluh tahun lagi?" Tambahnya membuat Neira seketika menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya, bibirnya bergetar mendengarkan ini. Air matanya bak air terjun mengucur dengan derasnya.
"Jangan tinggalkan aku" Pesan Bara selanjutnya diikuti ia memejamkan kedua matanya.
"HEROOOOO!!!" Teriak Neira keras
"PANGERAN!!!"
"YANG MULIA"
"BARA!!!"
Semua memanggilnya bersamaan dengan sebutan yang berbeda-beda,
"JANGAN tinggalkan aku selama sepuluh tahun!!, Aku tak akan sanggup ...!!!" Tangisan Neira semakin pecah dan kepalanya ia tubrukkan ke bahu Bara, ia menangis sejadinya di bahu itu. Hingga membuat baju Bara basah oleh air matanya.
"Hei, aku masih belum tidur" ucapnya sambil tersenyum, jarinya menyentuh rambut kepala Neira.
"Kamu manangisiku sampai segitunya? Apakah aku sangat berharga untukmu?" godanya kepada Neira tersenyum kecil.
"Aku memejamkan mata karena merasakan pinggang belakangku seakan patah, sakit sekali"
Hal ini menyebabkan Neira mencucut dan sedikit marah dibuatnya, dia memukul-mukul tangan dan badan Bara karena merasa ditipu.
"Hero, Kamu yang benar!, kamu beneran atau bohong sih. Kamu jahat sekali sama kami semua!" Seru Neira marah-marah
"Auw ooh, kalau badanku memang beneran sakit semua, jangan kau pukuli" tambahnya.
Neira tambah mencubit dan tetap memukul-mukul pelan lengan pemuda itu.
Semua mengeluarkan senyuman kecil tersungging diwajah. Bara bisa bergurau begini mungkin keadaannya tidak seburuk yang orang semua kira tadi.
Wajah tampan yang kelelahan itu tiba-tiba surut dari senyuman kecilnya tadi pada saat menggoda semuanya. mulutnya kian menutup rapat dan matanya mulai terpejam lagi. Neira yang tak menyadari tetap memukul manja dan kesal akan lelaki itu.
"Hei lihat, dia menutup matanya lagi" teriak seseorang.
Neira dan yang lain melihat dan memastikan keadaanya, ia pegang denyut nadi dan memeriksa detakan jantungnya. Neira menoleh pelan ke arah dokter Vigian
"Semua melemah dokter" Neira akhirnya harus mewek lagi, ternyata sekarang ia benar-benar tidur karena semua memanggil dan berusaha menggoyang-goyangkan badannya itu tak ada pergerakan sama sekali dari Bara.
dokter Vigian menyentuh kening Bara.
"Dia panas tinggi suster Nei, ambilkan thermometer, obat penurun panas dan obat anti kejang untuknya.
Tangisan dari semua pasang mata mulai terdengar lagi bersahut sahutan dengan penuh kepiluan, terutama para suster yang sangat terharu akan jasa Pahlawan satu ini.
Apalagi Neira, ia sangat hancur melihat
pemuda ini tergolek tak berdaya. Baru saja dia mendamba secerca harapan dengan senyum canda dari Hero tadi, ternyata itu tak bertahan lama, dia benar-benar melemah hingga sekarang ia kehilanangan kesadarannya.
Entah sepuluh jam, tapi tak mungkin ...
atau sepuluh hari, sepertinya kurang ...
mungkin sepuluh minggu, kira-kira belum cukup...
Bisa jadi sepuluh bulan, harapan semuanya
Ataukah pilihan terburuk selama sepuluh tahun???.
Neira tak sanggup membayangkannya. Apa yang akan ia lakukan dan habiskan waktunya selama itu hanya melihat Bara berbaring di ranjang seperti itu? Neira masih menenggelamkan wajahnya di bahu Bara, ia habiskan tangisannya disana sambil menggenggam erat jari tangan Bara.
Sementara dokter Vigian dan suster Naya mencoba memasukkan obat-obatan tadi di mulutnya dengan perlahan dipaksa terbuka, dan di akhiri dengan suapan dengan sendok air putih untuk mendorong masuk obat-obat itu kedalam kerongkongan dan segera meluncur ke perutnya. Dengan harapan bisa sedikit membantunya.